Peristiwa Banjir Kalteng, Fenomena Sisi Buruk Kurangnya Reboisasi Hutan Di Hulu Sungai Kahayan - SUARAKPK

BERITA HARI INI

Home Top Ad


Penghargaan dari Kedubes Maroko


 

21 November 2021

Peristiwa Banjir Kalteng, Fenomena Sisi Buruk Kurangnya Reboisasi Hutan Di Hulu Sungai Kahayan

FOTO : Dampak banjir meluas di Desa Penda Barania, dimana posisi jalan terlihat terbenam air, ini salah satu dampak negatif kurangnya reboisasi daerah Hulu Kahayan.


PALANGKA RAYA, suarakpk.com - Kalimantan Tengah-Peristiwa Banjir hampir di seluruh titik di kabupaten yang ada di Kalimantan Tengah, dari Save Our Borneo dikatakan bahwa masalah banjir yang melanda Pulau Kalimantan, khusunya Kalimantan Tengah akhir-akhir ini merupakan akumulasi dari pengrusakan hutan yang sudah berlangsung selama lebih dari dua dekade terakhir.


Kerusakan ini tidak hanya disebabkan oleh aktivitas ilegal orang per orang semata, namun juga diperparah oleh kebijakan pemerintah kita sendiri yang konversi hutan menjadi non hutan.

 

Dari data data yang kami kumpulkan, untuk Kalimantan Tengah saja, ada sekitar 73% dari luas Provinsi ini yang sudah diberikan konsesi, mulai dari industri perkebunan, pertambangan, dan industri kehutanan (HPH dan HTI). Belum lagi proyek strategis nasional di sektor pangan (food estate) yang memerlukan lahan hingga 1 juta hektare lebih.


Kebijakan mengkonversi hutan menjadi non hutan ini, selalu didasarkan pada alasan demi pembangunan dan ekonomi. Adapun daya dukung lingkungan yang sudan tidak memadai, seperti nya tidak dipertimbangkan oleh pemerintah kita. Begitu juga, kerusakan yang akan timbul dikemudian hari juga tidak masuk dalam hitungan pemerintah.


Padahal kita tahu bahwa di Kalimantan ini dikenal dengan sebutan "hutan hujan" ketika hutannya hilang, maka yang tersisa hanya hujannya. Oleh karenanya, banjir yang terjadi saat ini adalah akibat dari kerusakan hutan yang sudah kadung parah, dimana daya dukung lingkungan kita sudah tidak lagi memadai.


Sementara itu, biaya dibutuhkan untuk menangani bencana seperti ini jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang hendak diambil dari mengkonversi hutan tersebut.


Terpisah dikutip dari statmen keras, Ketua Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas mengatakan, dalam dua tahun ini banjir skala besar sudah terjadi dua kali. Karena itu, model pembangunan yang merusak lingkungan harus segera dihentikan, karena dampaknya dirasakan masyarakat luas.


“Sudah seharusnya pembangunan tidak mengekstraksi SDA dan berbasis lahan yang berdam-pak pada deforestasi,” katanya saat dikonfirmasi, Senin (15/11/2021) lalu.


Diungkapkannya, di Kalteng terdapat banyak perusahaan besar yang merusak hutan dan merubah landscape daerah aliran sungai (DAS). “Pemerintah juga harus melakukan evaluasi terhadap izin-izin yang sudah diberikan, jadi izin yang diberikan ini tidak bisa dilanjutkan atau ditambah lagi,” ungkapnya.


Sementara itu, dalam jangka waktu menengah atau ke depan, wilayah hutan yang rusak harus secepatnya dilakukan rehabilitasi. Sungai tidak mampu lagi menampung air karena mengecil dan juga erosi dari pembangunan-pembangunan yang mengakibatkan tanah atau lumpur mengalir ke sungai.


“Jadi tidak hanya air yang mengalir, tapi juga membawa tanah dan pasir dari pembukaan lahan,” sebutnya.


Padahal, apabila hutan terjaga, maka selain berfungsi menahan air, juga menahan erosi tanah. Kondisi erosi sungai menjadi salah satu pendorong kapasitas sungai sudah tidak memungkinkan lagi menampung air saat turun hujan yang terus-menerus.


“Solusinya jangan buka lahan lagi, wilayah hutan yang sudah rusak harus segera direhabilitasi,” katanya.


Apabila wilayah hutan tidak rusak, maka setidaknya dapat mengurangi dampak. Dengan kondisi hutan Kalteng saat ini, apabila tidak ada penanganan dari pemerintah untuk pemulihan hutan dan pembukaan lahan dibiarkan makin luas, maka bencana banjir akan makin sering terjadi.


“Jika diamati, di Kalteng ini banjir makin sering terjadi dibandingkan dahulu, intensitas hujan seharusnya akan lebih tinggi pada Desember dan Januari nanti, tapi sekarang ini malah sudah terjadi banjir," bebernya.


Pemberian bantuan oleh pemerintah kepada masyarakat terdam-pak banjir bukanlah solusi terbaik mengatasi bencana alam ini.


“Memang itu dibutuhkan masyarakat saat terjadi banjir, tetapi seberapa besar sih biaya, yang disediakan pemerintah jika akar masalah tidak bisa diatasi,” pungkasnya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HUT SUARAKPK Ke 9 (2018)