Sejarah :
Fungsi
Dalam hal ini, wartawan bukanlah profesi yang kebal
dari hukum yang berlaku. Untuk itu, wartawan dituntut untuk patuh dan tunduk
kepada hukum yang berlaku. Dalam memberitakan sesuatu wartawan juga diwajibkan
menghormati asas praduga
tak bersalah.
Pengertian
Ditinjau
dari segi bahasa, kode
etik berasal
dari dua bahasa, yaitu “kode” berasal dari bahasa Inggris
“code” yang berarti sandi, pengertian dasarnya dalah ketetuan atau petunjuk
yang sistematis. Sedangkan “etika”
berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti watak atau moral. Dari pengertian
itu, kemudian dewasa ini kode etik secara sederhana dapat diartikan sebagai
himpunan atau kumpulan etika.
Di Indonesia
terdapat banyak Kode Etik Jurnalistik. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyaknya organisasi
wartawan
di Indonesia, untuk itu kode etik juga berbagai macam, antara lain Kode Etik
Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (KEJ-PWI), Kode Etik Wartawan
Indonesia (KEWI), Kode Etik Jurnalistik Aliansi Jurnalis Independen (KEJ-AJI), Kode Etik Jurnalis
Televisi Indonesia, dan lainnya.
Sejarah Kode Etik Jurnalistik di Indonesia
Sejarah
perkembangan Kode Etik Jurnalistik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
sejarah perkembangan pers di Indonesia. Jika diurutkan, maka sejarah
pembentukan, pelaksanaan, dan pengawasan Kode Etik Jurnalistik di Indonesia
terbagi dalam lima periode. Berikut kelima periode tersebut:
1. Periode
Tanpa Kode Etik Jurnalistik
Periode ini
terjadi ketika Indonesia baru lahir sebagai bangsa yang merdeka tanggal 17 Agustus
1945. Meski
baru merdeka, di Indonesia telah lahir beberapa penerbitan pers baru. Berhubung
masih baru, pers pada saat itu masih bergulat dengan persoalan bagaimana dapat
menerbitkan atau memberikan informasi kepada masyarakat di era kemerdekaan, maka belum
terpikir soal pembuatan Kode Etik Jurnalistik. Akibatnya, pada periode ini pers
berjalan tanpa kode etik.
2. Periode
Kode Etik Jurnalistik PWI tahap 1
Pada tahun 1946, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dibentuk di Solo, tapi ketika organisasi
ini lahir pun belum memiliki kode etik. Saat itu baru
ada semacam konvensi yang ditungakan dalam satu kalimat, inti kalimat tersebut
adalah PWI
mengutamakan prinsip kebangsaan. Setahun kemudian, pada 1947, lahirlah Kode Etik PWI yang pertama.
3. Periode
Dualisme Kode Etik Jurnalistik PWI dan Non PWI
Setelah PWI lahir, kemudian muncul
berbagai organisasi
wartawan
lainnya. Walaupun dijadikan sebagai pedoman etik oleh organisasi
lain, Kode Etik Jurnalistik PWI hanya berlaku bagi anggota PWI sendiri, padahal
organisai wartawan lain juga memerlukan Kode Etik Jurnalistik. Berdasarkan
pemikiran itulah Dewan Pers membuat dan mengeluarkan pula Kode
Etik Jurnalistik. Waktu itu Dewan Pers membentuk sebuah panitia yang terdiri
dari tujuh orang, yaitu Mochtar Lubis, Nurhadi Kartaatmadja, H.G Rorimpandey , Soendoro, Wonohito, L.E Manuhua dan A. Aziz. Setelah selesai,
Kode Etik Jurnalistik tersebut ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris Dewan Pers
masing-masing Boediarjo dan T. Sjahril, dan disahkan
pada 30
September
1968. Dengan
demikian, waktu itu terjadi dualisme Kode Etik Jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik PWI berlaku untuk wartawan
yang menjadi anggota PWI,
sedangkan Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers
berlaku untuk non PWI.
4. Periode
Kode Etik Jurnalistik PWI tahap 2
Pada tahun 1969, keluar peraturan pemerintah
mengenai wartawan.
Menurut pasal 4 Peraturan Menteri Penerangan No.02/ Pers/ MENPEN/ 1969
mengenai wartawan,
ditegaskan, wartawan
Indonesia
diwajibkan menjadi anggota organisasi wartawan Indonesia yang telah disahkan pemerintah.
Namun, waktu itu belum ada organisasi wartawan yang disahkan oleh pemerintah.
Baru pada tanggal 20
Mei 1975 pemerintah
mengesahkan PWI
sebagai satu-satunya organisasi wartawan Indonesia. Sebagai konsekuensi dari pengukuhan PWI tersebut, maka secara
otomatis Kode Etik Jurnalistik yang berlaku bagi seluruh wartawan
Indonesia
adalah milik PWI.
5. Periode
Banyak Kode Etik Jurnalistik
Seiring
dengan tumbangnya rezim Orde Baru, dan berganti dengan era Reformasi,
paradigma
dan tatanan dunia pers pun ikut berubah. Pada tahun 1999, lahir Undang-Undang
No 40 tahun 1999 tentang Pers yaitu Pasal 7 ayat 1, Undang-Undang ini
membebaskan wartawan
dalam memilih organisasinya. Dengan Undang-Undang ini, munculah berbagai
organisasi wartawan baru. Akibatnya, dengan berlakunya ketentuan ini maka Kode
Etik Jurnalistik pun menjadi banyak. Pada tanggal 6 Agustus 1999, sebanyak 25 organisasi
wartawan
di Bandung
melahirkan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), yang disahkan Dewan Pers pada 20 Juni 2000. Kemudian pada 14 Maret 2006, sebanyak 29 organisasi
pers membuat Kode Etik Jurnalistik baru, yang disahkan pada 24 Maret 2006.
Fungsi
Kode Etik Jurnalistik menempati posisi yang sangat
vital bagi wartawan,
bahkan dibandingkan dengan perundang-undangan lainnya yang memiliki sanksi fisik sekalipun, Kode Etik
Jurnalistik memiliki kedudukan yang sangat istimewa bagi wartawan.
M. Alwi
Dahlan sangat menekankan betapa pentingnya Kode Etik Jurnalistik
bagi wartawan.
Menurutnya, Kode Etik setidak-tidaknya memiliki lima fungsi, yaitu:
a.
Melindungi keberadaan seseorang profesional dalam berkiprah di bidangnya;
b.
Melindungi masyarakat dari malapraktik oleh praktisi yang kurang profesional;
c. Mendorong
persaingan sehat antarpraktisi;
d. Mencegah
kecurangan antar rekan profesi;
e. Mencegah
manipulasi informasi oleh narasumber
Asas Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik
Jurnalistik yang lahir pada 14 Maret
2006, oleh
gabungan organisasi
pers dan ditetapkan sebagai Kode Etik Jurnalistik baru yang berlaku secara
nasional melalui keputusan Dewan Pers No 03/ SK-DP/ III/2006 tanggal 24
Maret 2006, misalnya, sedikitnya mengandung empat asas, yaitu:
1.
Asas Demokratis
Demokratis
berarti berita harus disiarkan secara berimbang dan independen, selain itu,
Pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi,
dan pers harus mengutamakan kepentingan publik. Asas demokratis
ini juga tercermin dari pasal 11 yang mengharuskan, Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara
proposional. Sebab, dengan adanya hak jawab dan hak koreksi ini,
pers tidak boleh menzalimi pihak manapun. Semua pihak yang terlibat harus
diberikan kesempatan untuk menyatakan pandangan dan pendapatnya, tentu secara
proposional.
2.
Asas Profesionalitas
Secara
sederhana, pengertian asas ini adalah wartawan
Indonesia
harus menguasai profesinya, baik dari segi teknis maupun filosofinya. Misalnya
Pers harus membuat, menyiarkan, dan menghasilkan berita
yang akurat dan faktual. Dengan demikian, wartawan
indonesia
terampil secara teknis, bersikap sesuai norma yang berlaku, dan paham terhadap
nilai-nilai filosofi profesinya.
Hal lain
yang ditekankan kepada wartawan dan pers dalam asas ini adalah harus menunjukkan
identitas kepada narasumber, dilarang melakukan plagiat, tidak mencampurkan
fakta dan opini, menguji informasi yang didapat, menghargai ketentuan embargo,
informasi
latar belakang , dan off the record, serta pers
harus segera mencabut, meralat dan memperbaiki berita yang tidak akurat dengan
permohonan maaf.
3.
Asas Moralitas
Sebagai
sebuah lembaga, media massa atau pers dapat memberikan dampak
sosial yang sangat luas terhadap tata nilai, kehidupan, dan penghidupan
masyarakat luas yang mengandalkan kepercayaan. Kode Etik Jurnalistik menyadari
pentingnya sebuah moral dalam menjalankan kegiatan profesi wartawan. Untuk itu,
wartawan
yang tidak dilandasi oleh moralitas tinggi, secara langsung sudah melanggar
asas Kode Etik Jurnalistik. Hal-hal yang berkaitan dengan asas moralitas antara
lain Wartawan
tidak menerima suap, Wartawan tidak menyalahgunakan profesi, tidak merendahkan
orang miskin dan orang cacat (Jiwa maupun fisik), tidak menulis dan menyiarkan
berita berdasarkan diskriminasi SARA dan gender, tidak menyebut identitas
korban kesusilaan, tidak menyebut identitas korban dan pelaku kejahatan
anak-anak, dan segera meminta maaf terhadap pembuatan dan penyiaran berita yang
tidak akurat atau keliru.
4.
Asas Supremasi Hukum
Kode Etik Jurnalistik
Secara umum,
setiap kelompok profesi selalu memiliki kode etik. Kode etik merupakan norma
atau asas yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai pedoman tingkah laku.
Kode etik berlainan dengan hukum walaupun keduanya bersifat mengatur serta
menjadi pedoman dalam bertingkah laku. Sama halnya dengan jurnalistik yang juga memiliki kode etik
jurnalistik. Sebelum kita jauh membahas mengenai kode etik
jurnalistik ada baiknya anda memperdalam bagaimana ciri dari suatu kode
etik tersebut, yaitu:
1. Kode etik
mempunyai sanksi yang bersifat moral terhadap anggota kelompok tersebut.
2. Daya
jangkauan suatu kode etik hanya tertuju kepada kelompok yang mempunyai kode
etik tersebut.
3. Kode etik
dibuat dan disusun oleh lembaga/kelompok profesi yang bersangkutan sesuai
dengan aturan organisasi itu dan bukan dari pihak luar.
Nah setelah
kita tau dan mengerti kode etik, kita lanjut pada inti dari ulasan ini yaitu
mengenai kode etik jurnalistik silahkan baca dulu pengertian pers.
Bentuk-Bentuk Kode Etik
Dalam sejarah pers Indonesia, terdapat jumlah kode etik yang
dirumuskan dan diberlakukan oleh organisasi wartawan seperti PWI, AJI, dan kode
etik yang dibuat bersama, yaitu KEWI (Kode Etik Wartawan Indonesia). Dewan pers
yang terbentuk pasca Reformasi 1998 juga merumuskan dua kode etik, yaitu kode
praktik dan kode bisnis pers. Dengan demikian, jika diklarifikasikan terdapat
tiga mode, yaitu kode etik wartawan Indonesia, kode praktik bagi media pers,
dan kode etik jurnalistik.
Apabila
seorang jurnalis melanggar kode etik jurnalistik. Dewan Kehormatan PWI
berwenang menetapkan telah terjadinya pelanggaran kode etik jurnalistik dan
sanksi terhadap pelakunya. Dewan Kehormatan PWI merupakan satu-satunya lembaga
yang berwenang menetapkan kesalahan dan sanksi bagi pelaku pelanggaran kode etik
jurnalistik di Indonesia. Keputusan Dewan Kehormatan PWI tidak dapat diganggu,
gugat. Hukuman dapat dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan PWI kepada pelaku
pelanggaran kode etik jurnalistik sebagai berikut :
1.
Peringatan biasa.
2.
Peringatan keras.
3.
Skorsing dari keanggotaan PWI untuk selama-lamanya dua
tahun.
4.
Kode Etik Wartawan Indonesia
Kemerdekaan
pers merupakan sarana pemenuhan hak asasi manusia, yaitu hak berkomunikasi dan
memperoleh informasi. Wartawan Indonesia perlu menyadari adanya tanggung jawab
sosial yang tercermin melalui pelaksanaan kode etik profesi secara jujur dan
bertanggung jawab. Kode Etik Wartawan Indonesia atau KEWI merupakan kode etik
yang disepakati semua organisasi wartawan cetak dan elektronik termasuk
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan
Himpunan Praktisi Penyiaran Indonesia (HPPI).
Kode
etik disusun 26 organisasi wartawan di Bandung tahun 1999 dengan semangat
memajukan jurnalisme di era kebebasan pers. Oleh karena itu, jika
diklarifikasi terdapat 3 kode yaitu Kode Etik Wartawan Indonesia, Kode praktik
bagi media pers, dan Kode Etik Jurnalistik.
Kode Etik Jurnalistik
1.
Kode Etik Wartawan Indonesia
Kode
Etik Wartawan Indonesia (KEWI) merupakan kode etik yang disepakati oleh semua
organisasi wartawan cetak dan elektronik termasuk PWI, AJI, dan Himpunan
Praktisi Penyiaran Indonesia (HPPI). Kode etik ini selanjutnya dikenal dengan
Kode Etik Wartawan Indonesia.
2.
Kode Etik Jurnalistik
Pasal 1:
Wartawan
Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan
tidak beritikad buruk.
Pasal 2:
Wartawan
Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas
jurnalistik
Pasal 3:
Wartawan
Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan
fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Pasal 4:
Wartawan
Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Pasal 5:
Wartawan
Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila
dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Pasal 6:
Wartawan
Indonesia menyalahgunakan profesi dan menerima suap.
Pasal 7:
Wartawan
Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia
diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo,
informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.
Pasal 8:
Wartawan
Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau
diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit,
agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah,
miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Pasal 9:
Wartawan
Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali
untuk kepentingan publik.
Pasal 10:
Wartawan
Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan
tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan
atau pemirsa.
Pasal 11:
Wartawan
Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
Pasal Demi Pasal
Pasal 1
Wartawan
Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan
tidak beritikad buruk.
Penafsiran
a.
Independen berarti memberitakan peristiwa atau
fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan
intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b.
Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan
objektif ketika peristiwa terjadi.
c.
Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan
setara.
d.
Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara
sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan
Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas
jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan
identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati
hak privasi;
c. tidak
menyuap;
d. menghasilkan
berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa
pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan
keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. menghormati
pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak
melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai
karya sendiri;
h. penggunaan
cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi
bagi kepentingan publik.
Pasal 3
Wartawan
Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak
bersalah.
Penafsiran
a. Menguji
informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang
adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak
secara proporsional.
c. Opini
yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini
interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas
praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
Wartawan
Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
a.
Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui
sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang
terjadi.
b.
Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan
secara sengaja dengan niat buruk.
c.
Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas
kasihan.
d.
Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara
erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk
membangkitkan nafsu birahi.
e.
Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip,
wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan
Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila
dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran
a.
Identitas adalah semua data dan informasi yang
menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b.
Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16
tahun dan belum menikah.
Pasal 6
Wartawan
Indonesia tidak menyalah-gunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran
a.
Menyalah-gunakan profesi adalah segala tindakan
yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas
sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b.
Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang,
benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan
Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia
diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo,
informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran
a.
Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan
identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b.
Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran
berita sesuai dengan permintaan narasumber.
c.
Informasi latar belakang adalah segala informasi
atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan
narasumbernya.
d.
“Off the record” adalah segala informasi atau data
dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8
Wartawan
Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi
terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis
kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin,
sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran
a.
Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai
sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b.
Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan
Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali
untuk kepentingan publik.
Penafsiran
a.
Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan
diri dan berhati-hati.
b.
Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan
seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan
Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak
akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau
pemirsa.
Penafsiran
a. Segera
berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada
teguran dari pihak luar.
b. Permintaan
maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11
Wartawan
Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
a.
Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok
orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta
yang merugikan nama baiknya.
b.
Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk
membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya
maupun tentang orang lain.
c.
Proporsional berarti setara dengan bagian berita
yang perlu diperbaiki.
Penilaian
akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas
pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau
perusahaan pers.
Kami atas nama organisasi wartawan dan
organisasi perusahaan pers Indonesia:
1)
Aliansi Jurnalis Independen (AJI)-Abdul Manan
2)
Aliansi Wartawan Independen (AWI)-Alex Sutejo
3)
Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)-Uni Z Lubis
4)
Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI)-OK.
Syahyan Budiwahyu
5)
Asosiasi Wartawan Kota (AWK)-Dasmir Ali Malayoe
6)
Federasi Serikat Pewarta-Masfendi
7)
Gabungan Wartawan Indonesia (GWI)-Fowa’a Hia
8)
Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI)-RE
Hermawan S
9)
Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI)-Syahril
10)
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)-Bekti Nugroho
11)
Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAB
HAMBA)-Boyke M. Nainggolan
12)
Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI)-Kasmarios SmHk
13)
Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI)-M.
Suprapto
14)
Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI)-Sakata Barus
15)
Komite Wartawan Indonesia (KWI)-Herman Sanggam
16)
Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI)-A.M.
Syarifuddin
17)
Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia
(KOWAPPI)-Hans Max Kawengian
18)
Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI)-Hasnul Amar
19)
Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI)-Ismed hasan Potro
20)
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)-Wina Armada Sukardi
21)
Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI)-Andi A.
Mallarangan
22)
Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus
(PWRCPK)-Jaja Suparja Ramli
23)
Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia
(PWIRI)-Ramses Ramona S.
24)
Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI)-Ev.
Robinson Togap Siagian-
25)
Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI)-Rusli
26)
Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat- Mahtum Mastoem
27)
Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS)-Laode
Hazirun
28)
Serikat Wartawan Indonesia (SWI)-Daniel Chandra
29)
Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII)-Gunarso
Kusumodiningrat.
30)
Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI)-Darwin Hulalata, SH.