FOTO : Ketua Setara Institute, Hendardi angkat bicara soal aksi penolakan UU Cipta Kerja.
JAKARTA, suarakpk.com – Senin 5 Oktober 2020 malam, Omnibus law
Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja resmi disahkan DPR RI menjadi
Undang-Undang (UU).
Namun,
setelah disahnya UU Cipta Kerja ini banyak mendapat respon negatif bahkan sampai
terjadinya aksi demo besar-besaran kejalanan oleh mahasiswa dan buruh di Indonesia,
serta penerapan protokel sehatan Covid-19 pun terabaikan.
Bukan
hanya menyuarakan penolakan UU Cipta Kerja saja, di lapangan pun terjadi aksi
pengrusakan fasilitas negara seperti, Kantor Kementerian ESDM dan mobil polisi
pun menjadi sasaran oknum yang tidak bertanggungjawab.
Terjadinya
aksi demo tersebut karena adanya dugaan penyebaran berita bohong atas isi UU
Cipta Kerja melalui media sosial, sehingga memancing terjadinya aksi demo dan
penolakan dan terduga pelaku sendiri pun sudah diamankan pihak kepolisian Mabes
Polri.
Adanya
aksi anarkis setiap demo, Ketua Setara Institute, Hendardi ikut angkat bicara.
Dimana ia menyampaikan ada empat poin penting yaitu :
Pertama,
unjuk rasa adalah artikulasi kebebasan berpendapat yang dijamin UUD Negara RI
1945 dan juga instrumen hak asasi
manusia. Oleh karena itu secara prinsip aksi-aksi unjuk rasa yang menolak UU
Cipta Kerja adalah sah dan harus dihormati. Akan tetapi, kebebasan itu harus
dijalankan dengan tidak melanggar pembatasan-pembatasan yang sudah ditetapkan,
seperti larangan melakukan pengrusakan, tidak menimbulkan anarki sosial, tidak
mengganggu ketertiban umum dan lain sebagainya. Jika aksi unjuk rasa berpotensi
menimbulkan anarki sosial, penegak hukum dan aparat keamanan memiliki kewajiban
untuk memastikan pencegahan serta penindakan. Tindakan-tindakan tersebut mesti
dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan.
Dua,
aksi dengan kekerasan yang terjadi dibeberapa tempat pada 5-7 Oktober 2020
semestinya memberikan pembelajaran bagi semua pihak untuk menahan diri dalam
menyampaikan aspirasinya. Peristiwa awal Oktober tersebut juga menggambarkan
bahwa aksi dalam jumlah massa yang besar hampir pasti mengundang conflict enterpreneur
untuk memanfaatkan situasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Sedangkan
untuk Ketiga, penyebaran informasi terkait rencana aksi lanjutan dengan
agenda-agenda yang melampaui dari isu UU Cipta Kerja, di tengah masyarakat
telah menimbulkan keresahan dan ketakutan. Aksi unjuk rasa dengan agenda-agenda
ekstra konstitusional harus dicegah dengan tindakan hukum yang akuntabel.
Percampuran kepentingan dan agenda aksi oleh berbagai komponen masyarakat telah
menggambarkan bahwa aksi unjuk rasa yang digelar hari ini memiliki kerentanan
lebih luas mengganggu ketertiban sosial.
“Sementara
terakhir, untuk kembali memusatkan energi penolakan terhadap UU Cipta Kerja,
elemen masyarakat dapat menggunakan mekanisme yang tersedia dalam sistem
ketatanegaraan kita, yakni menguji pasal-pasal yang kontroversial itu ke meja
Mahkamah Konstitusi. Termasuk sejumlah catatan formil yang dianggap tidak
sesuai dengan prosedur pembentukan UU juga bisa diujikan ke Mahkamah Konstiusi”.
Demikian pesan Hendardi, Selasa (13/10/2020) melalui komentar persnya. (*/nto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar