(Renungan
situasi dan mitigasi Pendemi Covid - 19)
Oleh
: @ Sofyan Mohammad
Terhitung
sejak awal bulan Maret tepatnya pada tanggal 2 Maret 2020 yaitu sejak
diumumkanya oleh Pemerintah ada Warga Negara Indonesia yang positif terpapar
Covid - 19 maka publik Indonesia mulai gegap gempita dengan pemberitaan tentang
Coronavirus, baik melalui media cetak, media elektronik maupun media online
pemberitaan sedemikian cepat dan dramatis seperti amukan banjir bandang yang
dapat memporak porandakan segala keyakinan masyarakat publik.
Dalam
jagad sosial media hinggar bingarnya jauh lebih ekstrim karena setiap detik
masyarakat penguna medos kita disuguhi dengan topik itu itu saja yaitu tentang
Covid 19, rasa rasanya tidak ada hal lain yang pantas disuguhkan kecuali
tentang Covid 19.
Para
pengguna sosmed berselancar serba bebas untuk mengubah dirinya mendadak menjadi
ahli kesehatan yang menyampaikan pendapat atau status tentang Covid -19 dalam
perspektif medis, mendadak menjadi ahli politik, mendadak menjadi ahli
inteletejen, mendadak menjadi ahli ekonomi, mendadak menjadi ahli detektif dan
semua juga mendadak menjadi jurnalis dengan mewartakan opini yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya, namun tak kurang situasi seperti itu
publik Indonesia juga sempat menikmati remah remah mendadak menjadi campursari
dengan tagline "AMBYARR" ketika sang maestro campursari Indonesia
Didi Kempot secara mendadak meninggal dunia pada tanggal 5 Mei 2020 maka saat
itu Coronavirus sedikit tergeser karena rasa duka publik atas meninggalnya
"The Lord Godfather of Brokenheart"
Memasuki
pertengahan bulan Romadhon maka segala tradisi kemapanan publik menjelang hari
raya Idul Fitri 1441 H menciptakan kegelisahan dan kecemasan luar biasa karena
segala kemapanan tradisi tersebut terancam akan tercerabut oleh Pendemi Covid
19, semua energi terkuras untuk menghindari dan mengantisipasi naiknya kurva
dan grafik atas jumlah penderita positif Covid - 19, masyarakat baik secara
pribadi maupun melalui ormas atau kesatuan entensitas tertentu dan segelintir penjabat dan
politikus yang ikut mendadak menjadi dermawan guna membantu para kaum terdampak
diakar rumput dan pada saat bersamaan berbarengan pula dengan realisasi program
stimulus yang dilakukan pemerintah terhadap warga terdampak pendemi covid - 19,
namun yang terjadi di lapangan justru tercipta kegaduhan pada masyarakat itu
sendiri dengan menyasar pada data data yang tidak sesuai dengan kondisi riil di
lapangan dengan dalih tidak berkeadilan, pilih kasih, tidak tepat sasaran dll
dan dalam situasi ini tentu yang menjadi bulan bulanan adalah para aparatur
pemerintah tingkat bawah tingkat RT
sampai kelurahan, yang pada intinya telah tergambar adanya carut marut atas
sistem distribusinya.
Dalam
literatur budaya Jawa maka kondisi yang sedang dialami oleh Dunia dan Indonesia
pada tahun 2020 disebut dengan pagebluk yang merupakan istilah dalam tradisi
Jawa untuk menggambarkan kondisi mewabahnya penyakit yang menular dan sangat
berbahaya, sehingga memiliki efek yang luar biasa karena akan memakan begitu
banyak korban jiwa, oleh orang orang tua
Jawa terdahulu menggambarkan dahsyatnya pagebluk hingga membuat narasi yang
dramatis yaitu “Isuk loro sore mati,
sore loro esuk mati” yang artinya wabah penyakit tersebut berlangsung sangat
singkat untuk memakan korban jiwa dan celakanya setting situasi dalam Pendemi Covid 19 juga hampir serupa yang
bertolak dari narasi pemberitaan media mainstream berikut opini opini di sosmed
yang rasa rasanya juga demikian sangat menakutkan dan sungguh sangat dramatis.
Pagebluk
Pendemi Covid -19 menganulir banyak berita yang beredar adalah wabah penyakit yang tidak hanya mengancam kesehatan dan
keselamatan jiwa manusia, namun lebih dari itu, ternyata pendemi ini juga
mengancam kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik bahkan menyangkut semua
aspek kehidupan.
Kebijakan
oleh otoritas pemerintah adalah membatasi semua aktifitas sosial dan keagamaan
yang melibatkan banyak orang karenanya memaksa setiap warga masyarakat untuk
tetap tinggal di rumah (stay at home), bekerja dari rumah (work from home),
belajar dari rumah (study from home) dan beribadah di rumah (pray at home).
Karena
situasi tersebut dampak yang paling terimbas adalah runtuhnya bangunan ekonomi
karena hampir terlihat sentra sentra ekonomi menjadi stagnan mengingat adanya
pembatasan aktifitas sosial maka bagi para pekerja disektor Informal tentu
tidak bisa serta merta hanya tinggal di rumah saja, kondisi itu terutama
dialami oleh mereka yang bekerja harian di sektor-sektor informal, dimana para
pekerja dengan upah harian terpaksa masih keluar rumah untuk menjemput rezeki,
dengan memaksa diri untuk tetap bekerja guna menghidupi keluarga sebagai
bagian mempertahankan eksistensi
kehidupan sehingga kebijakan yang berupa pembatasan social (social distancing)
dan pengaturan jarak fisik (physical distancing) seakan tidak berlaku bagi para
pekerja harian, sebab, yang dipertaruhkan adalah keberlangsungan hidup diri dan
keluarga.
Pada
sisi lain regulasi negara tidak bisa serta merta ditetapkan untuk dapat memaksa
para pekerja harian untuk hanya berada di rumah saja, meski berbagai program
bantuan langsung telah ditetapkan, namun mengingat kondisi pendemi yang belum
jelas kapan akan berakhir maka tentu saja pemerintah tidak cukup memiliki
anggaran yang guna menjamin kebutuhan hidup masyarakat sampai kondisi pendemi
benar benar berakhir.
Pada
situasi ini nampaknya Pemerintah mulai melonggarkan bebarapa kebijakan tentang
pembatasan aktifitas sosial dengan maksud adalah agar aktifitas ekonomi secara
pelan pelan dapat menggeliat, karena
tantangan yang pasti dihadapi jika kondisi produktifitas ekonomi stagnan adalah
paceklik atau kekurangan bahan pangan yang digambarkan sebagai situasi yang
serba sulit dan itu nampaknya adalah ancaman lain yang nyata dapat terjadi
mengiringi proses Pagebluk itu sendiri.
Melihat
situasi seperti itu maka musim paceklik menjadi sebuah keniscayaan yang apabila
paceklik benar benar terjadi maka hal yang mengawali adalah semakin tingginya
tingkat pengangguran, karena berlangsung secara massif pemutusan hubungan kerja
(PHK) sehingga produktivitas ekonomi jadi terhenti dan sisi lainnya adalah
faktor musim dan cuaca yang memang menghambat produktifitas hasil olahan
pangan.
Berkaca
pada proses pagebluk pada masa masa sebelumnya maka hal yang menyertai adalah paceklik demikian nampaknya dalam
pagebluk Covid-19 juga akan diiringi dengan musim paceklik. Musim paceklik
dalam khasanah budaya Jawa dapat dipahami sebagai kondisi yang serba sulit,
tidak tersedia kebutuhan pokok, dan kegiatan perdagangan berhenti total.
Selanjutnya
jika pagebluk ini terus berlangsung dan ternyata apabila mitigasi yang berupa
kebijakan penanganan pendemi ini tidak tuntas dan bernas maka paceklik menurut
para ahli bakal benar benar terjadi di bumi Nusantara ini.
Dalam
kondisi paceklik akan menciptakan problem yang multi efek karena segala
persoalan sosial sangat mungkin timbul secara bersamaan dan tak kurang
berdampak pada situasi chaos dan hura hura dalam pentas panggung politik.
Situasi
paceklik yang serba sulit terlebih menyangkut perut yang berarti eksistensi
kehidupan maka bisa menjadi media kebenaran atau bahkan "pembenaran"
bagi pihak pihak tertentu untuk dijadikan dasar guna melakukan huru hara atau
ontran-ontran karena logikanya orang dalam keadaan lapar dan kesulitan ekonomi
maka akan sangat mudah terbakar emosinya, terlebih jika hal tersebut diawali
dengan proses provokasi dan agitasi.
Situasi
paceklik sangat mungkin akan ditunggangi oleh para penumpang gelap untuk melakukan
huru hara dan ontran ontran bukan hanya pada bidang sosial dan ekonomi namun
juga pada panggung politik, dimana penumpang gelap tersebut akan memanfaatkan
rasa lapar dan emosi masyarakat untuk bergerak menuntut jawab atas ketidak
mampuan pemerintah didalam mengatasi
pagebluk sampai pada paceklik tersebut.
Setelah
masyarakat akar rumput terdampak Covid -19 mendapatkan bantuan langsung dari
pemerintah melalui program stimulus dan barangkali pula bertumpuk karena
mendapatkan bantuan langsung dari para dermawan non pemerintah maka ketersedian
pangan menjadi cukup untuk beberapa bulan bahkan setelah merayakan hari raya
Idul Fitri 14141 H tentu masyarakat masih melimpah makanan yang hendak disantap
dan tinggal memilih hidangan apa yang akan disantap diantara banyak pilihan
makananan yang berjejer. Pilihan menu makanan apa yang hendak disantap bisa
saja terjejer melimpah dirumah atau di warung dan restoran restoran yang masih
buka baik secara display maupun online melalui aplikasi gofood namun demikian
jika paceklik benar benar terjadi maka hal tersebut hanya lah imajinasi fiktif
belaka karena jangankan menu makanan berjejer tinggal dipilih hanya sekedar
untuk mengganjal perut yang melilit karena lapar saja tentu adalah hal yang
sangat istimewa dirasakan ketika kondisi musim paceklik.
Ketersediaan
kebutuhan pangan dan kesejahteraan masyarakat adalah tanggung jawab Pemerintah
sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945 yang secara eksplisit memberi amanat
kepada pemerintah untuk melindungi hak-hak warga negara, oleh karena itu jika
pemerintah melalaikan masalah ketersediaan bahan pokok pangan dan kesejahteraan
masyarakat maka berarti pelanggaran terhadap konstitusi. Ketersedian bahan
pokok pangan dan antisipasi paceklik adalah agenda yang menjadi suatu keharusan
bagi pemerintah.
Menurut
para ilmuwan sosial menyampaikan bahwa kelaparan karena terkorelasi dengan
kemiskinan, dimana kemiskinan itu prinsipnya
tidak lahir dengan sendirinya dan juga bukan muncul tanpa sebab, tetapi
kondisi ini banyak dipengaruhi oleh struktur sosial, ekonomi, dan politik, dari
sini dapat ditelaah keberadaan orang miskin sebagai rakyat yang tertindas yang
dalam perspektif tersebut maka pada tataran faktual, kemiskinan pada masyarakat
yang sedang berkembang ternyata tidak hanya menyebabkan penderitaan yang tak berkesudahan,
melainkan juga kematian manusia sebelum waktunya. Penindasan sistematis baik
melalui konflik bersenjata maupun karena salah arah kebijakan pemerintah maka
senyatanya juga telah memperburuk situasi mereka yang tertindas, selanjutnya
pada tataran historis-etis, penderitaan kaum miskin dan tertindas itu
disebabkan oleh struktur-struktur yang tidak adil baik di tingkat lokal maupun
global yang lebih jauh telah menghasilkan kekerasan yang melembaga
(institutionalized violence) dan korbannya pertama-tama adalah mereka yang
miskin.
Pegebluk
Covid -19 dan ancaman musim paceklik atau situasi serba sulit yang menyangkut
kebutuhan pokok pangan menjadi salah satu ancaman serius yang tentu
sangat-sangat menghantui masyarakat, mengutip Global Hunger Index 2018, maka
apabila tanpa pendemi saja Indonesia dinilai memiliki ancaman kelaparan yang
cukup serius dan menuntut perhatian lebih,
apalagi kondisi diperparah dengan situasi Pendemi maka ancaman paceklik
adalah benar benar momok yang sangat mengantui.
Apabila
kondisi normal tidak mengalami pagebluk di Indonesia menurut laporan lembaga
nirlaba Welthungerhilfe dan Concern Worldwide maka dalam hitungannya indeks
global kelaparan berdasarkan empat indikator, diantaranya adalah kasus kurang
gizi dari populasi penduduk, stunting pada anak usia di bawah 5 tahun, kematian
anak di bawah usia 5 tahun, dan anak usia di bawah 5 tahun yang tidak dirawat
dengan baik, adapun indeks kelaparan di Indonesia mendapat skor 21,9 dan berada
pada tingkat serius untuk ditangani, nah dari sini saja kita bisa berpijak jika
selanjutnya pagebluk Covid -19 benar
benar menuntut perhatian yang sangat sangat serius dari pemerintah agar
paceklik dapat dihindari yang sekurang kurangnya bisa diantisipasi, karena ancaman
itu seakan akan sudah tidak jauh dari pelupuk mata.
Sebagai
bangsa maka tentu kita memiliki sejarah tentang pegebluk dan pacekik, dahulu
ada pengalaman telah meremehkan datangnya pagebluk sehingga luput dalam
metodologi mitigasinya, ketika menyadarinya maka pagebluk itu sudah jauh
merasuk dan berbarengan dengan datangnya paceklik, lantas apakah kita sudah
berguru kepada pengalaman, atau melupakannya?
Hasil
diskusi bersama dengan sahabat sahabat GP Ansor Kabupaten Semarang di Ponpes
Baitul Qur'an Aswaja, Panjang Lor Ambarawa, 28/05/20220
@
Penulis adalah masyarakat kecil terdampak pendemi yang sehari hari tinggal di
desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar