SURABAYA, suarakpk.com - Penggunakan anggaran APBD yang seharusnya dipergunakan oleh kesejahteraan masyarakat Surabaya, namun diduga disalah gunakan oleh pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang mengatasnamakan untuk wartawan Pokja Pemkot. Hal tersebut menjadikan sorotan masyarakat Surabaya, khususnya dari kalangan pers itu sendiri, pasalnya nampak seolah para kuli tinta di Surabaya kehilangan independensinya dalam menyuarakan keluhan masyarakat surabaya.
Maraknya kabar adanya bagi-bagi BPJS kesehatan dan plesiran ke luar negeri Wartawan di Surabaya, telah diungkap oleh AJI Surabaya.
Menurut AJI terdapat tiga aspek dalam program PBI BPJS kesehatan tersebut yang perlu dikritisi dengan memberikan tanggapan dan sikap atas terbitnya surat pendaftaran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan dari kalangan wartawan.
”Walaupun Jurnalis atau Wartawan juga bagian dari masyarakat. Namun harus iingat, Wartawan telah terikat Kode Etik Jurnalis (KEJ) yang disahkan oleh Dewan Pers, bila hanya dibuat kedok guna mengambil keuntungan pribadi untuk ke luar negeri kasihan rakyat. Uang rakyat hanya dihambur-hamburkan,” Tulisnya belum berapa lama ini.
Aspek kedua, UU no 24 tahun 2011, tentang BPJS, pasal 15 ayat 2, berbunyi, “Setiap perusahaan diwajibkan untuk mendaftarkan seluruh karyawannya menjadi peserta BPJS Kesehatan tanpa kecuali.” Artinya pihak Pemkot Surabaya seharusnya tidak menanggung pembayaran iuran BPJS wartawan, yang menanggung adalah perusahaan tempat wartawan tersebut bekerja.
Terakhir aspek ketiga mengenai keprofesian Kode Etik Jurnalis diatur dalam pasal 6, yang berbunyi, ” Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Namun di Pemkot Surabaya malah sebaliknya. ”
Pemberian fasilitas ini jelas berdampak pada indepensi, profesionalitas dan integritas para wartawan. Sedangkan faktanya wartawan Pokja Pemkot memihak ke Pemkot, hampir tidak ada wartawan yang mengupas tentang keburukannya. ” Pembayaran iuran ini tidak sepatutnya diberikan kepada seorang wartawan. Sekedar mengingat, fungsi keperuntukannya anggaran ini bersumber dari Pemerintah Kota Surabaya merupakan dana APBD,” Tulisnya, Prasto Wardoyo, selaku Ketua AJI Surabaya di dalam Website.
Tak hanya menyikapi soal bagi-bagi BPJS Kesehatan. AJI Surabaya juga menyoal program plesiran wartawan ke berbagai negara. “Kami melihat, tidak ada relevansi dan urgensi uang rakyat miliaran rupiah dihamburkan untuk memberangkatkan puluhan wartawan ke luar negeri,” tulisnya.
AJI Surabaya berharap, Pemkot Surabaya ikut menjaga marwah dan kehormatan wartawan dengan tidak memberikan fasilitas yang bersumber dari APBD Kota Surabaya.
Terpisah, ketua Umum Gerakan Akal Sehat Indonesia, yang juga menjabat sebagai Pimpinan Redaksi Surat Kabar Investigasi SUARAKPK, Imam Supaat sangat menyayangkan sikap peninabobokan kalangan jurnalis di Surabaya oleh Pemkot Surabaya. Menurutnya, pokja dibentuk untuk kemitraan media dengan pemerintah kota, "Semestinya jurnalis sekarang ini bisa dalam posisi independen, bukan malah memihak pada suatu kelompok atau instansi pemerintahan, sehingga lupa akan KEJ sebagai kiblatnya profesi jurnalis." katanya.
Imam menambahkan bahwa jurnalis bukanlah profesi pemulung, seorang jurnalis adalah profesi yang dimuliakan dalam kehidupan dunia akherat. "Kita yang mengambil langkah kehidupan sebagai jurnalis merupakan profesi yang mulia dalam kehidupan selama kita jalankan sesuai norma dan aturan yang berlaku, menyuarakan keluhan masyarakat, memperjuangkan keadilan untuk masyarakat dan sebagai salah satu pilar demokrasi di negara ini, bahkan jurnalis juga merupakan salah satu altrnatif dalam pendidikan dengan ikut serta mencerdaskan masyarakat melalui pemberitaan yang independen didasarkan pada kebenaran, fakta dilapangan." jelas Imam.
Ia juga menyarankan jika Pemkot Surabaya ingin mendorong perbaikan dunia pers dengan menyadari kondisi ketenagakerjaan dalam industri pers yang masih menerima upah dibawah upah minimum kabupaten dan kota. “Lebih baik keluarkan kebijakan upah sektoral jurnalis atau menindak pemilik media yang masih membayar jurnalisnya dengan upah tak manusiawi,” cetusnya.
Persoalan pengupahan jurnalis yang tak sesuai dengan UMK itu dinilai menjadi tangung jawab pemerintah daerah di sektor perburuhan, minimnya upah yang diterima jurnalis itu akan berpengaruh suap dan budaya menerima amplop wartawan, sehingga mempengaruhi independensi dalam membuat menyajkan informasi ke publik. (Yanto/Ziwa/Adi/Deni)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar