Dugaan tersebut muncul, lantaran keluhan dari salah satu wali murid, harus membayar bahan seragam anaknya dengan harga awal Rp.1.907.800, dan saat mengambil seragam sama atribut menjadi Rp.1.648.300, untuk lembar kerja siswa (LKS) kurang lebih Rp.350.000, untuk para siswa didik baru, sehingga para wali murid merasakan keberatan dengan jumlah nominal tersebut.
Wali murid menduga, hal tersebut terjadi karena adanya kerjasama dengan pihak lain dalam memperjual belikan bahan seragam dan buku Lembaran Kerja Siswa (LKS) dengan pihak sekolah.
"Masak harga seragam SMP sama SMA mahal SMP-nya,” ucapnya. Senin (2/9/2024).
Di sisi lain, wali murid Mr, juga mengaku keberatan dengan biaya yang dinilai mahal, dirinya berharap Dinas Pendidikan Kabupaten, segera mengambil tindakan tegas terhadap Kepala Sekolah agar praktik jual beli seragam dan LKS yang dianggap memberatkan wali murid ini dihentikan.
“Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Boyolali, yang menaungi SMP.N 1 Simo, harus mencari Solusi, agar tidak ada lagi dugaan praktek jual beli yang dilakukan oknum oknum sekolah,” harapnya.
Sementara, Kepala Sekolah SMP.N 1 Simo, Istiqomah saat ditemui di kantornya Selasa (3/9/24) membenarkan adanya penjualan seragam dan buku LKS pada murid baru. Dirinya berdalih sekolahnya hanya dijadikan tempat saja dan terkait jual beli bahan seragam dan LKS bagi Penerimaan Peseta Didik Baru (PPDB) dari Perusahaan Daerah (Perusda).
“Kita hanya ketempatan, selebihnya mereka yang menggurusi,” ujarnya.
Jika ingin tahu detailnya, lanjut Istiqomah, mempersilahkan, media mengkonfirmasi langsung ke perusda Boyolali.
“Anda bisa bertanya langsung sama direkturnya, saya nggak nangani itu, sekolahkan nggak jual pakaian dan buku. saya hanya dipinjami tempat dan semua diurusi perusda, mulai dari pemesanan sampai pembayaran semua diurus perusda," dalihnya.
Istiqomah menjelaskan, bahwa terkait dengan harga yang dirasa mahal, menurutnya, harga disesuaikan dengan kualitasnya.
“Kalau masalah harga, khan ono rego ono rupo (ada harga ada rupa) dan jumlah barangnya mungkin antara sekolah satu dan yang lain, khan berbeda, tergantung jenisnya (kwalitas) mungkin itu yang buat beda antar sekolah,” jelasnya.
Lebih lanjut, Istiqomah mengungkapkan, bahwa masalah selisih harga, yang ia ketahui hanya masalah salah pesan ukuran.
“Semisal dalam satu seragam putra membutuhkan 3 meter dan setelah diukur ulang hanya 1,5 meter, makanya ada penghembalian, itu karena ada kekeliruan dalam meng hitung ukuran,” ungkapnya.
Saat di tanya harga seragam siswa laki-laki dan perempuan apa ada bedanya?
"Ya beda, khan ukuranya berbeda otomatis beda harga, semisal yang pakai kerudung dan tidak,” jawabnya.
Namun, terkesan keceplosan, Istiqomah segera seolah meralat jawabannya. Kembali dia berkilah, bahwa terkait harga yang telah ditentukan, Istiqomah mengaku tidak mengetahui.
“Kalau masalah harga pastinya, saya tidak tahu, karena saya tidak ngurusi, saya tahunya ada kesalahan ukur saja,” kilahnya.
Terpisah, Kepala Pelem, Simo, Sutarto sangat menyayangkan adanya jual beli seragam dan LKS di sekolah yang katanya wajib belajar 9 tahun dan dibiayai dari BOS (Biaya Operasional Sekolah), dirinya mengaku keberatan dengan adanya pembelian bahan seragam dan LKS
"Yang jelas, warga saya keberatan dengan penjualan sragam dari pihak sekolah yang nominalnya mencapai 1,900,000, per siswa dengan dalih aturan dari perusda,” terangnya.
Sutarto menerangkan, bahwa tidak sedikit warganya yang mengadu kepada dirinya, menurutnya, warganya keberatan terkait uang seragam, sementara desa dalam rangka untuk mencerdaskan warga desa sudah berkontribusi.
“Sebelum saya menjabat Kepala Desa, lahan SMP itu khan yang setengah tanah kas desa mas, untuk kepala desa yang dulu dimintain Rp 5 jt per tahunnya, begitu saya jadi kepala desa, saya bilang ke kepala sekolah, saya titip bu SMP ini, bisa berkontribusi untuk mencerdaskan warga saya, jadi mulai sekarang tidak tarikan lagi untuk yang Rp5jt," urainya.
Dijelaskan Sutarto, bahwa dengan tidak adanya tarikan untuk kas desa, namun dengan syarat, sekolah ini harus betul-betul memperhatikan warganya yang memang kurang mampu.
“Saya minta tolong penjabarannya, saya dikasih tahu kegunaanya uang yang Rp 5jt untuk apa, saja tapi sampai saat ini tidak ada yang memberi tahu terkait hal tersebut ke saya,” ujarnya.
Sutarto mengaku pihak sekolah tidak memperhatikan syarat yang telah disampaikan dari pemerintah desa, dikatakannya, bahwa jika selalu seperti ini terjadi, bahkan anak warganya juga tidak ada kompensasi, sehingga dipukul rata atau digebyah uyah dengan yang bukan warga desa.
“Dengan peristiwa ini, banyak usulan dari teman-teman perangkat dan warga, Pemerintah Desa diminta menarik Kembali iuran yang Rp 5jt per tahun itu, karena ini kesepakatan Bersama, karena dari pihak sekolah tidak bisa membedakan antara ini anak dari warga saya, sementara dari pihak desa sudah berkontribusi setengah dari SMP itu tanah milik kas desa,” tegasnya.
Sementara, hingga berita ini ditayangkan, suarakpk.com belum berhasil mengkonfirmasi Kepala Dinas maupun Saber Pungli Polres Boyolali maupun Kejaksaan Negeri Boyolali.
Untuk
diketahui, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 17 Tahun 2010 pasal 181 dan
198, baik pendidikan, tenaga pendidik, dewan pendidikan, maupun komite
sekolah/madrasah dilarang untuk menjual bahan atau baju seragam.
Berikut isi pasal 181 PP No 17 Tahun 2010:
Pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif,
dilarang:
a. menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian
seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan;
b. memungut biaya dalam memberikan bimbingan belajar atau les kepada peserta
didik di satuan pendidikan;
c. melakukan segala sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung yang
mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik;
d. melakukan pungutan kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak
langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berikut isi pasal 198 PP No 17 Tahun 2010:
Dewan pendidikan dan/atau komite sekolah/madrasah, baik perseorangan maupun
kolektif, dilarang:
a. menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian
seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan;
b. memungut biaya bimbingan belajar atau les dari peserta didik atau orang
tua/walinya di satuan pendidikan;
c. mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik secara langsung
atau tidak langsung;
d. mencederai integritas seleksi penerimaan peserta didik baru secara langsung
atau tidak langsung;
e. melaksanakan kegiatan lain yang mencederai integritas satuan pendidikan
secara langsung atau tidak langsung.
Lebih lanjut dalam Permendikbud No. 50 Tahun 2022 pasal 12, diatur bahwa
sekolah tidak boleh mengatur kewajiban dan/atau memberikan pembebanan kepada
orangtua atau wali peserta didik untuk membeli pakaian seragam sekolah baru.
Ketentuan ini berlaku baik setiap kenaikan kelas dan atau pada penerimaan
peserta didik baru.
Selain itu, bahwa pengadaan pakaian seragam sekolah merupakan tanggung jawab
orang tua atau wali siswa, bukan tanggung jawab sekolah atau madrasah. Aturan
ini tertuang dalam Permendikbud No 50 Tahun 2022 pasal 12 ayat 1.
Pada pasal 12 ayat 2 Permendikbud tersebut, baik pemerintah pusat, pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya, sekolah, dan masyarakat maksimal dapat
membantu pengadaan pakaian seragam sekolah dan pakaian adat bagi peserta didik.
Bantuan pengadaan pakaian seragam ini diprioritaskan bagi siswa yang kurang
mampu secara ekonomi.
Selain menjual bahan seragam, sekolah juga dilarang memperjualbelikan buku
lembaran kerja siswa (LKS) dan seragam. Jika terbukti
melanggar, sekolah akan mendapatkan sanksi administrasi hingga
pidana.
Sesuai ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (permendikbud) Nomor 45 Tahun 2014, pengadaan seragam sekolah diusahakan sendiri oleh orang tua siswa. Serta tidak boleh dikaitkan dengan penerimaan peserta didik baru (PPDB), maupun kenaikan kelas.
Jika memperhatikan adanya kewajiban pembelian seragam dan LKS dengan merujuk aturan yang telah ada, maka, SMP N 1 Simo dapat dikategorikan sebagai Pungutan Liar (Pungli). Sehingga hal tersebut dapat dikenakan sanksi administrasi hingga pidana.
Sebagaimana dijelaskan, Hukuman pidana bagi pelaku pungli bisa dijerat dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Pidana Korupsi, khususnya Pasal 12 E dengan ancaman hukuman penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun. Pelaku pungli juga bisa dijerat dengan Pasal 368 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal sembilan bulan. Pelaku pungli berstatus PNS dengan dijerat dengan Pasal 423 KUHP dengan ancaman maksimal enam tahun penjara.
Sedangkan hukuman administratif bagi pelaku pelanggaran maladministrasi termasuk bagi pelaku pungli bisa dikenakan Pasal 54 hingga Pasal 58 dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, penurunan pangkat, penurunan gaji berkala, hingga pelepasan dari jabatan.
Maka, sebenarnya, pemberantasan pungli di sekolah dapat dilakukan dengan dua cara yakni pencegahan dan penindakan. Pencegahan dapat dilakukan dengan menempuh berbagai cara seperti melakukan sosialisasi praktik-praktik pungli di sekolah dan upaya pencegahannya, menegakkan norma-norma kesusilaan di sekolah, mempraktikkan tata kelola sekolah berintegritas, menghindari penyimpangan anggaran, dan mengupayakan transparansi pengelolaan anggaran sekolah. Sedangkan Penindakan dilakukan dengan cara menjerat para pelaku pungli sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Tim/red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar