Andai ditanya adakah wartawan atau jurnalis yang spesialisasinya liputan budaya, jawabannya mudah. Nyaris tidak ada. Ini berbeda dengan wartawan yang sehari-hari spesialisasi berita ekonomi, pemerintahan ataupun spesialisasi berita kriminal atau hukum, jumlahnya berjibun. Kondisi ini imbas dari halaman budaya belum jadi prioritas di media yang ada. Berita budaya masih menjadi pemanis.
Sebagai bagian dari kebudayaan yang paling riuh, karena berurusan dengan kekuasaan dan menentukan arah pengembangan kebudayaan secara menyeluruh ke masa depan, sehingga dunia jurnalis harus menjadi prioritas dibenahi.
Jurnalis, mesti punya kemauan, kemampuan, dan keberanian melakukan perubahan dari dalam dirinya. Khasnya kesadaran untuk menerapkan budaya jurnalis yang sungguh beradab, yang menjunjung tinggi etika Jurnalistik. Pun kesadaran untuk melaksanakan salah satu tanggungjawab asasinya, melakukan pendidikan jurnalis berdimensi kebangsaan.
Dalam diskusi dengan sejumlah jurnalis, mengemuka pandangan, situasi praktik demokrasi dalam bingkai politik kebangsaan, itu sangat mungkin terjadi. Terutama karena media dan jurnalis, mampu memainkan peran fungsional dan kulturalnya secara optimum. Media dan jurnalis mengambil posisi independen dan berjarak dengan partai politik (meski aspirasi politik bisa sama dengan partai politik), dan pemerintah.
Pertarungan partai politik dan media yang menyertainya, pun jelas basisnya, ideologi politik.
Sesungguhnya, kita merindukan munculnya wartawan-wartawan yang tunak di bidang budaya. Media massa juga diharapkan memberikan ruang atau space untuk rubrik budaya.
Ide membentuk Komunitas Wartawan Berbudaya juga bagus untuk merangsang para wartawan untuk berkumpul, berdiskusi dan membedah persoalan-persoalan kebudayaan.
Apalagi, sekarang ini, issue kebudayaan nusantara merupakan salah satu hal yang menjadi perbincangan hangat di Indonesia.
Hal ini diharapkan menjadikan kegiatan jurnalistik menjadi sebuah kegiatan yang sangat penting untuk mengenalkan budaya kepada siapa saja. Peliputan budaya-budaya dengan kreatif dan pengemasan media menjadi menarik membuat para “penikmat” hasil karya jurnalistik semakin tergugah untuk mencintai budaya Indonesia.
Semangat para jurnalis berbudaya seharusnya mendapatkan dukungan dari berbagai pihak untuk menyukseskan pelestarian budaya yang ada di negeri ini.
Berbagai macam pelatihan mengenai cara mengelola karya jurnalistik sangatlah diperlukan di tengah minimnya kegiatan literasi untuk mengenal budaya. Program desa budaya yang ada di berbagai daerah mampu menjadi pengembang budaya pada masyarakat.
Selain itu, seorang Jurnalis sebaiknya lebih mengetahui industri pembuatan barang kebudayaan, sehingga pada akhirnya berbagai peninggalan budaya di Indonesia dapat terus berkembang untuk mempercepat pengembangan karakter bangsa.
Namun demikian, disayangkan, bahwa rendah atau buruknya etika media televisi dalam mesosialisasikan karakter budaya bangsa, telah berulangkali disuarakan beragam pihak, termasuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan Daerah (KPID), tapi minim perbaikan. Media televisi memang begitu perkasa (powerful), apalagi ditambah dukungan pemerintahan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 49, 50, 51 dan 52 tahun 2005 yang antara lain mengukuhkan kembali posisi mereka sebagai ”televisi nasional”.
Dan keperkasaan televisi nasional rupanya telah memancing keinginan media cetak lokal untuk ikut-ikutan menjadi perkasa. Media lokal dipacu untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan memberi porsi besar pada kepentingan ekonomi pemilik maupun pebisnis. Akibatnya, perhatian pada peran budaya sebagai saluran informasi pemberdaya publik ”dinomorduakan”.
Situasi ini menyiratkan kurang terjaminnya hak publik untuk memperoleh informasi yang benar karena pertarungan kepentingan dalam politik, ekonomi, atau budaya.
Namun upaya untuk secara konsisten menginternalisasikan etika jurnalistik di kalangan para jurnalis, semestinya, KEJ 2006 dapat dijadikan sebagai rujukan prinsip moral dan pikiran rasional para profesional media dalam memutuskan untuk tidak melanggar hukum sekaligus tidak melanggar etika (applied ethics). Etika memang merefleksikan sebuah gagasan budaya tentang benar atau salah yang hadir pada semua tingkatan kebudayaan. (oleh : Imam Supaat/Pemred Media SUARAKPK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar