suarakpk.com
- Eksploitasi kekayaan alam yang ada di Papua semakin hari semakin mengancam
masyarakat dan hutan setempat. Dari data Auriga Nusantara, terdapat 7,3 juta
hektare tanah Papua yang telah dieksplorasi secara legal. Sayangnya, tidak ada
data yang pasti luas tanah yang telah dieksploitasi secara ilegal. Sejumlah
izin, ditengarai dilakukan melalui proses yang koruptif dan cenderung
mengabaikan hak masyarakat adat.
Aktivitas
legal maupun ilegal turut mempercepat laju deforestasi di Papua. Total
deforestasi di Papua sejak tahun 2000 – 2018 seluas 587.298 hektare. Luas
deforestasi akan terus bertambah mengingat masih banyak lahan yang telah
berizin yang belum dibuka dan masih berlangsungnya aktivitas illegal di Papua.
Sayangnya,
Informasi itu jarang diungkap ke publik. Hal ini disampaikan Aryo Wisanggeni,
editor media lokal dari Papua dalam diskusi Peran Jurnalisme Warga dalam
Diseminasi Informasi Penegakan Hukum di sektor SDA yang digelar di Pusat
Edukasi Antikorupsi, beberapa waktu lalu, Selasa (28/1).
Menurut
Aryo, ada beberapa permasalahan yang menjadi penyebab sulitnya diseminasi
informasi dari Papua, seperti lokasi Papua sangat jauh dari ruang redaksi
berbagai media nasional yang terletak di Jakarta.
“Biaya
peliputan yang mahal membuat pemberitaan tentang Papua timbul tenggelam,” ujar
Aryo.
Selain
itu, Aryo juga mengatakan bahwa lokasi Papua yang jauh membuat setiap banyak
jurnalis yang belum memiliki pengalaman ketika meliput di Papua. Jurnalis itu
buta dengan kondisi geografi dan antropologi di Papua.
“Mereka
menganggap masyarakat Papua selalu sama dengan kota lain. Misalnya, mereka
tidak punya pembanding apakah benar kalau pembangunan infrastruktur akan
menyelesaikan masalah di Papua.”
Sementara
itu, jurnalis dari media lokal menurut Aryo juga menghadapi masalah yang
berbeda. Jurnalis lokal menghadapi keterbatasan dana karena tidak ada
pembiayaan yang menghidupi media itu. Sehingga media lokal tergantung dengan
iklan dari Pemerintah Daerah setempat yang bisa membuat independensi media
tersebut ‘terganggu’.
Sedangkan,
permasalahan pada jurnalisme warga menimbulkan dua kekhawatiran, pertama soal
verifikasi data. Menurut Aryo belum tentu informasi tersebut sudah memenuhi
kaidah jurnalistik. Kedua, jurnalisme warga menggunakan sosial media sebagai
media penyebarannya. Hal itu menimbulkan masalah terhadap proteksi diri pelaku
jurnalisme warga.
“Karena
belum ada mekanisme proteksi diri untuk jurnalisme warga di Indonesia,” ungkap
Aryo.
Ia
pun mengusulkan agar ada satu platform khusus sebagai wadah bagi masyarakat
sipil dan jurnalis di Papua untuk memberikan infromasi kepada media-media
nasional yang berada di pusat ibu kota. Menurutnya, cara seperti itu akan
memberikan proteksi kepada warga Papua yang memberikan informasi dan penyebaran
informasi seputar isu lingkungan di Papua dapat didengar oleh publik.
Menurut
Aryo, selama ini diseminasi informasi di Papua selalu ‘buram’ karena berbagai
permasalahan yang timbul. Padahal, upaya penyelamatan sumber daya alam di Papua
itu sangat penting, selain menjaga sumber daya alam, juga melindungi hak
masyarakat adat yang ada di Papua.
“Sistem
hidup dan nilai masyarakat Papua sangat terikat dengan alam. Sehingga, ketika
lingkungannya berubah, mereka akan kehilangan orientasi hidupnya. Dampaknya
akan sangat besar,” ucap Aryo.
Aryo
menjelaskan bahwa secara antropologi, masyarakat Papua terbagi menjadi tujuh
wilayah adat yang memiliki karakter yang berbeda satu dengan lainnya. Jika ada
aktivitas eksploitasi terhadap lingkungan mereka, maka dampaknya akan
berbeda-beda.
Sementara
itu, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Franky Samperante memaparkan
kondisi terkini di Papua. Ia bercerita bagaimana kejahatan lingkungan di Papua
telah merusak sumber kehidupan masyarakat.
“Kalau
kita lihat situasi di Papua, yang terjadi adalah perampasan hak secara berlapis
yang berawal di tahun 1960-an. Realitas tanah Papua itu milik masyarakat adat,
tetapi negara sangat kuat dan menggunakan kekuasaan untuk menguasai itu (tanah
Papua),” ungkap Franky.
Ia
mengatakan bahwa banyak oknum-oknum korup yang menggunakan narasi pembangunan
untuk menguntungkan korporasi. Selain itu, Franky juga mengungkap bahwa
cara-cara korup itu sudah menggunakan justifikasi perizinan.
“Izin
itu dikeluarkan negara secara sah, penerbitan izin-izin lingkungan banyak yang
berbau korupsi. Banyak yang tidak memenuhi syarat tapi izinnya keluar.”
Kejahatan
lingkungan di Papua menurut Franky melibatkan berbagai ‘aktor’ dari berbagai
pihak. Mulai dari jaringan akar rumput atau masyarakat, tokoh masyarkat,
lembaga adat, aparatur keamanan negara dan penegak hukum, pemerintah daerah
hingga pemerintah pusat.
Diskusi
ini merupakan inisiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Auriga untuk
mendorong aksi kolaborasi dalam penyebaran informasi seputar isu penegakan
hukum di sektor sumber daya alam di Papua. Diskusi ini turut mengundang puluhan
jurnalis dari berbagai media untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif
dan merumuskan aksi kolaborasi yang akan dilakukan di kemudian hari.
Pada
akhir diskusi, peneliti Auriga Syahrul Fitra menyampaikan rencana pembuatan
platform sebagai wadah berbagi informasi dari masyarkat sipil atau jurnalis di
Papua kepada media nasional yang berada di Jakarta.
“Teman-teman
Papua bisa menyampaikan informasi dalam tulisan, rekaman video, atau foto ke
satu platform itu,” ujar Syahrul.
Menurutnya
ini merupakan kolaborasi yang bisa dilakukan antara masyarakat sipil dan
jurnalis di Papua dengan media-media nasional yang terletak di pusat ibu kota
agar informasi mengenai isu Papua bisa muncul ke pemberitaan.
Untuk
menindaklanjuti ide ini, Syahrul mengatakan bahwa Auriga dan KPK akan
mengunjungi kantor media-media nasional dan berangkat ke Papua untuk membangun
jaringan dan membahas lebih lanjut platform ini.
“Mudah-mudahan
bulan Agustus akan kita luncurkan secara resmi.”
Sementara
itu, Kepala Pemberitaan dan Publikasi Biro Hubungan Masyarakat Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Yuyuk Andriati Iskak mengatakan bahwa selama ini
banyak yang sudah dilakukan KPK dalam sektor sumber daya alam namun belum
terpublikasikan secara luas, termasuk di Papua.
Menurutnya,
isu lingkungan di Papua merupakan isu yang penting. Karena itu, KPK setuju atas
inisiatif kolaborasi dan partisipasi masyarakat agar informasi tersebugt bisa
menyebar luas.
“Isu
penting seperti ini akan lebih baik berkolaborasi dengan media, kelompok
masyarakat, pegiat antikorupsi, dan KPK, agar bisa membuat informasi ini
semakin bermakna,” ujar Yuyuk.
(001/red - sumber
: Humas KPK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar