Purwokerto, suarakpk - Pengadilan Negeri Purwokerto menjatuhkan vonis lebih ringan daripada tuntutan jaksa terhadap pengedar obat terlarang jenis Alprazolam dan Tramadol, Ibdaul dan Lucky dalam persidangan yang digelar Rabu (30/08).
Sidang dengan agenda pembacaan putusan (vonis) ini, dipimpin Hakim Ketua Teti Sulastri , SH, M.H, dengan hakim anggota Arief Yudiarto, SH, M.H dan Deny Ikhwan, SH, M.H serta Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pranoto, SH, M.H, juga dihadiri oleh kedua terdakwa dan kuasa hukum terdakwa, Dwi Prasetyo, SH.
Dalam persidangan, majelis hakim menjatuhkan hukuman 1 tahun 4 bulan denda Rp 100 ribu subsider 1 bulan penjara kepada Lucky dan hukuman 1 tahun 4 bulan serta dendan Rp 300 ribu subsider 3 bulan penjara kepada Ibdaul.
Putusan ini lebih ringan dari tuntutan jaksa. Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut mereka 2 tahun penjara dan denda Rp 2 juta subsider 1 bulan penjara serta membayar biaya perkara sebesar Rp 2 ribu rupiah.
Dalam putusannya yang dibacakan Hakim Ketua, Teti Sulastri, SH, MH menyatakan bahwa Ibdaul dan Lucky terbukti bersalah dengan mengedarkan obat Alphazolam dan Tramadol yang merupakan obat terlarang.
“Mereka telah melanggar UU nomor 5 Tahun 1997 Pasal 60 ayat 2 tentang psikotropika. Atas hal tersebut, kami menjatuhkan hukuman 1 tahun 4 bulan dan denda sebesar Rp 100 Juta subsider 1 bulan penjara kepada Lucky,” katanya.
Dia menambahkan, untuk terdakwa Ibdaul kami menjatuhkan hukuman 1 tahun 4 bulan dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan penjara.
Atas putusan tersebut, kedua terdakwa Ibdaul dan Lucky menerima. Sementara Jaksa Penuntut Umum (JPU) pikir-pikir.
Ditemui usai sidang, JPU Pranoto, SH, M.H menyatakan, kami masih pikir-pikir, karena kerja kami adalah kerja tim, saya tidak bisa memutuskan langsung, karena nanti harus didiskusikan dengan ketua tim jaksa. Apakah itu bisa di terima apa tidak?
“Kalau saya kira, putusan tersebut sudah memenuhilah, karena itu sudah dua sepertiga dari tuntutan, dan secara ketentuan bahwa itu bisa diterima, cuma kita kejaksaan tim jadi saya pribadi tidak bisa menyikapi sendiri karena itu harus didiskusikan bersama dengan tim kejaksaan,” katanya.
Apakah itu diterima atau perlu banding, menurut Pranoto, karena ketentuanya dari ketua pimpinan juga. Walaupun terdakwa telah menerima keputusan, tinggal nanti menunggu tim kejaksaan dan penyidikan seperti apa.
Saat ditanya apakah ada pengembangan dari kasus ini? Pranoto mengatakan, selama persidangan kami belum menemukan fakta-fakta adanya pelanggaran ataupun yang menyimpang. Tapi jika nanti ditemui fakta adanya pelanggaran yang lain, saya juga belum tahu.
“Kemarin itu hanya menyatakan saja, bahwa obat memang benar-benar dari dokter tersebut, dan untuk masalah penyimpangan itu, nanti urusan penyidik dari kepolisian yang melangkah lebih lanjut untuk menindaklanjutinya, apkah itu ada,penyimpangan atau tidak, dan kita belum dapat surat (SPDP) surat penyidik dasar perkara,” jelasnya.
Sementara, Pengacara kedua terdakwa Dwi Prasetyo, SH mengatakan saya sudah berusaha semaksimal mungkin dan kedua terdakwa tidak keberatan dengan putusan hakim. Jika kami banding, maka butuh waktu, butuh proses, yang menjalani upaya hukum kan bukan saya, dan mereka sudah menerima, dan tanda tangan.
“Banding itu butuh waktu lama, karena setelah banding kemudian kasasi minimal 6 bulan sampai 1 tahun. Ya kalau vonisnya berkurang, kalau bertambah, karena yang namanya upaya hukum itu bisa bertambah bisa berkurang,” katanya.
Dia menambahkan, sebenarnya masalah ini tidak berhenti sampai disini, peran media tidak berhenti sampai putusan. Harusnya peran media mencari informasi kenapa sampai seperti ini, dan efeknya seperti ini.
“Lebih banyak anak- anak muda tujuannya menjalani rehabilitasi, namun penanganannya seperti ini. Kita tidak tahu, kenapa dari panti rehabilitasi tidak mendampingi mereka sampai dengan persidangan ini,” tandasnya.
Lebih lanjut Dwi menjelaskan, kemarin saya minta ke majelis penegak hukum, melalui jaksa, apakah sudah ada tindak lanjut? Kemarin jaksa menyampaikan ke kami, akan menyampaikan kepada penyidik, semoga ada proses kelanjutan terkait dengan pengembangan.
“Ada informasi katanya dokter hanya memberikan resep 3 strip, tapi kenapa malah kenyataanya diberi 8 strip? itu dari pihak mana yang bisa mengeluarkan resep itu,” ungkapnya.
Dokter siapa yang mengeluarkan resep, menurutnya faktanya, dua orang terdakwa ini mengambilnya dari mana? kan dari apotik, nah apotik ini kan sesuai dari resep dokter, nah apotiknya di Bumiayu mengambilnya.
“Itu kan cuma 3 strip, kenapa yang mengambil rombongan? saya pikir apa apotik berani mengeluarkan obat melebihi resepnya. Meskipun mereka terdakwa tapi salah satu terdakwa menjadi saksi mahkota bagi terdakwa yang lain mereka memberikan kesaksian, mereka di bawah sumpah,” tegasnya.
Pertanyaan saya, imbuhnya kenapa dokternya tidak datang untuk memberikan pertanyaan di bawah sumpah, harusnya dokter menerangkan, bahwa kemarin saya memberikan resep misalnya 3 x 3 atau 3 x 1 misalkan, dan kenapa mereka mengambilnya banyak.
Dwi menandaskan, kenapa dokter tidak mau datang untuk menjelaskan di dalam persidangan, jadi nanti bisa terkuak siapa yang kemarin bermain di situ, apakah ada pedagang obat lagi di luar apotik tersebut? tapi faktanya, kedua terdakwa ambil dari resep yang di peroleh dokter.
“Harusnya beliau datang di sini, dan berani disumpah. Terdakwa saja disumpah untuk memberikan keterangan. Harusnya beliau datang, dan berani di sumpah, jadi setidaknya beliau punya kekuatan hukum,” pungkasnya. (Tim)



Tidak ada komentar:
Posting Komentar