Sebelumnya, perkara ini sempat viral di media sosial dan bahkan menarik perhatian Kementerian ATR/BPN. Narasi yang berkembang selama ini menyebutkan bahwa Mbah Tupon adalah korban mafia tanah, dalam posisi rentan sebagai warga lanjut usia yang diduga buta huruf dan tidak memahami dokumen yang ditandatanganinya.
Namun, dalam sidang yang digelar Rabu (1/10/25), fakta berbeda muncul dari kesaksian sejumlah pihak yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Notaris: Mbah Tupon Bisa Menulis dan Menyimak Penjelasan Akta
Dalam perkara pidana nomor 262/Pid.B/2025/PN Btl, Notaris/PPAT Nini Jahara, S.H., memberikan kesaksian bahwa Mbah Tupon hadir secara langsung dalam proses penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) atas tanah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 24452/Bangunjiwo.
Menurut Nini, Mbah Tupon tidak menunjukkan indikasi sebagai orang yang tuli maupun buta huruf.
“Yang bersangkutan menulis sendiri namanya di akta sebagai ‘Tupon’, dan menyimak saat saya membacakan isi akta,” ujar Nini dalam persidangan.
Lebih lanjut, Nini bahkan menyatakan siap jika tanda tangan Mbah Tupon diuji keasliannya melalui Laboratorium Forensik, guna memperkuat keabsahan dokumen yang telah ditandatangani.
Kesaksian BPN Berubah, Syarat Dokumen Dipertanyakan
Dalam perkara lain, nomor 264/Pid.B/2025/PN Btl dengan terdakwa Anhar Rusli, S.H., JPU menghadirkan saksi dari Kantor Pertanahan Bantul, Hasti Susanti, A.Ptnh.
Di hadapan majelis hakim, Hasti menyatakan bahwa beberapa dokumen yang sebelumnya dianggap wajib untuk pendaftaran peralihan hak, seperti surat pernyataan jaminan keabsahan dari PPAT, sebenarnya tidak termasuk syarat utama. Pernyataan ini berbeda dengan keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
“Pernyataan jaminan keabsahan bukan syarat utama dalam proses pendaftaran,” jelasnya.
Hasti juga menyampaikan bahwa kuitansi pembayaran tidak menjadi syarat terpisah, karena substansi pembayaran telah tercakup dalam akta jual beli. Sementara itu, dokumen KTP dan KK Mbah Tupon disebut telah diverifikasi dan dinyatakan sah, termasuk informasi bahwa Tupon dan istrinya lulus sekolah dasar atau sederajat.
Meski demikian, dalam sidang sebelumnya, Mbah Tupon sempat menyatakan tidak mengenali tanda tangan pada dokumen identitas miliknya. Hal ini menimbulkan pertanyaan baru mengenai konsistensi pernyataan dan integritas dokumen.
Uang Rp10 Juta Masuk ke PPAT: Honorarium Sesuai Aturan?
Saksi lain, Dimas Adiputra, S.E. dari BSI KCP Yogyakarta, menjelaskan bahwa terdapat satu transaksi sebesar Rp10 juta dari Triyono kepada Anhar Rusli pada tanggal 1 Februari 2024. Dana tersebut masuk ke rekening pribadi Anhar di Bank BCA, sebagaimana tercantum dalam berita acara akta.
Pihak kuasa hukum Anhar Rusli menyatakan bahwa dana tersebut merupakan honorarium jasa PPAT, sebagaimana diatur dalam Pasal 36 Undang-Undang Jabatan Notaris serta Permen ATR/BPN Nomor 33 Tahun 2021.
“Akta jual beli mencantumkan nilai transaksi sebesar Rp1 miliar. Sesuai aturan, jasa PPAT adalah 1 persen, atau Rp10 juta. Jumlah itu sesuai dengan ketentuan hukum,” tegas Dr. Wilpan, kuasa hukum Anhar Rusli.
Kuasa Hukum Soroti Narasi Publik: “Ada Pembentukan Opini Sepihak”
Menanggapi perkembangan di persidangan, Dr. Wilpan menyampaikan kritik terhadap narasi yang berkembang di media dan publik terkait posisi Mbah Tupon sebagai korban mafia tanah.
“Kami menyampaikan fakta berdasarkan dokumen resmi dan kesaksian di bawah sumpah. Namun klien kami justru menjadi pesakitan atas opini yang belum tentu berdasar hukum,” ujarnya usai sidang.
Ia menilai bahwa pemberitaan yang berkembang berpotensi menciptakan pembunuhan karakter terhadap profesi PPAT, serta mendistorsi fakta-fakta hukum yang sebenarnya.
Penutup: Proses Hukum Masih Berjalan, Fakta Masih Dikupas
Perkara ini masih terus bergulir, dan persidangan lanjutan dijadwalkan dalam waktu dekat. Dengan munculnya sejumlah keterangan yang berbeda dari narasi awal, publik menantikan apakah fakta-fakta tersebut akan mengubah posisi hukum para terdakwa.
Sementara itu, penting bagi seluruh pihak untuk menunggu proses peradilan berjalan secara utuh, menghormati asas praduga tak bersalah, serta mengedepankan prinsip keadilan yang berbasis pada data dan bukti, bukan opini. (Tim/Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar