- Kalau Anak Sudah Minta Uang, Saya Hanya Bisa Menangis dan Berdoa Minta Sama Allah -
Penulis Yafruddin Yaddi
Investigator Sulawesi Tenggara
Sebuah gubuk reok dengan ukuran 2x1,5 meter yang tertata indah dan rapi dideretan pekarja buruh batu pecah yang terletak diperbatasan Desa Motewe dan Desa Parida Kecamatan Lasalepa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara,
Disitulah para ibu rumah tangga dalam kesehariannya bekerja memecahkan batu untuk dijadikan batu relatif kecil yang akan dijual sebagai campuran batu cor bangunan.
Gubuk itu tempat untuk bekerja agar terhindar dari teriknya panas matahari dan hujan. Sehingga mereka hanya fokus semata mata bekarja mencari uang untuk menafkahi anak anaknya baik untuk makan, sekolah maupun kuliah.
Meskipun bekerja keras demi masa depan anak-anak adalah kewajiban sekaligus pengorbanan orang tua, namun tidak membuat ibu ibu tersebut untuk mengeluh saat kerja memecahkan batu yang kemudian dikumpulkan agar bisa mencapai kurang lebih satu keranjang dan bisa terjual satu keranjangnya dengan harga Rp 6000
Kalau jenis batunya lebih kecil lagi itu harganya Rp 8000 satu keranjang, dan untuk mengumpulkan satu keranjang itu membutuhkan waktu hingga satu jam.
Meskipun bekerja sangat melelahkan dan hanya menghasilkan sedikit uang, para ibu tangguh ini tak pernah mengeluhkan kehidupannya.
Ibu Surianti (39) tak pernah mengeluh lelah dan bosan, meski harus merasakan paparan sinar matahari yang menyengat. Mulai dari jam 8 pagi hingga 4 sore, ibu ini tak berhenti bekerja pukul batu dari ukuran besar hingga menjadi ukuran kecil.
Dari hasil pecahan batunya, tidak menentu pendapatannya. Kadang sehari dapatnya hanya lima keranjang kecil, kadang juga hanya tiga kerajang.
Semua tergantung stock batu besar yang ada. Kalau mereka tidak menggali batu, ya mau tidak mau harus membeli. Itupun harga satu ret batunya kisaran Rp 500 ribu.
Setelah dibeli, batu batu itulah yang dipecahkan menggunakan sebuah martil hingga menjadi kecil dan kembali dikumpulkan untuk dijual.
Setelah terkumpul, kata ibu Surianti, batu batu pecah tersebut tidak langsung laku. Melainkan disimpan rapi berbentuk gunung kecil sambil menunggu pembeli yang datang.
"Soal berapa lakunya setiap hari,. Itu kita tidak bisa pastikan. Karena kadang sehari tidak laku dan bahkan sebulan juga tidak laku. Ya kita mau apa lagi kalau sudah begitu. Laku dengan tidaknya batu pecah ini tergantung kebutuhan orang. Kalaupun dia laku itupun hanya Rp 50 ribu,"katanya Ibu Surianti dengan potret wajah sedih dengan mata yang mulai berkaca kaca.
Jikalau musim proyek atau ada yang lagi membangun, Alhamdulillah itu kita bisa dapat lumayan buat makan dan buat nabung untuk biaya anak sekolah dan kuliah.
"Semua itu tergantung musim. Kalau musimnya lagi rame proyek, maka penjualan lumayan bagus. Tapi kalau lagi sepi, maka kadang lakunya sebulan sekali. Itupun hanya Rp 50 ribu,"sebutnya.
Yang kadang bikin saya terharu, kata Surianti bahwa disaat anak kuliah minta uang.
"Anak saya telepon. Inae, kirimkan saya uang dan. Saya hanya menangis dan berdoa moga Allah bukan pintu rejeki buah anak anakku. Masalah anak kuliah minta uang disaat baru pecah belum laku. Mana modal beli batu belum kembali. Itu yang bikin saya sedih. Maka saya hanya berpikir bahwa kalau memang anakku nasibnya mau jadi sarjana, pasti dia akan sarjana, yang penting saya tidak mencurikan,"ucapnya sambil berdoa minta sama Allah.
Disaat lagi sedih dan kesulitan uang untuk anak sekolah dan kuliah, tiba tiba doanya terkabulkan oleh Allah. "Setelah saya menangis dan berdoa Allah langsung kabulkan doaku..Tiba tiba saja ada orang yang datang mau beli batu pecah,"cerita Surianti dengan menyebutkan kalau anaknya ada tiga orang. Dua masih sekolah dan satu sudah kuliah di universitas di Kendari .
Ini adalah hidup sambung Surianti. Hidup itu adalah sebuah pilihan . Maka sudah kerja inilah mungkin pilihan hidup saya. Karena mama saya juga pekeja batu pecah. Bahkan mama saya sejak masih gadisnya sudah jadi buruh pekerja batu pecah.
Jadi kami anak anaknya, wajarlah kalau ada yang ikut orang tua kerja begini Tapi harapan saya adalah, sudahlah saya dan mamaku saja yang kerja kerja begini. Janganmi lagi sama anak anakku.
"Sudah cukuplah kita kita saja., Janganlahmi lagi sama anak anakku ikuti kerja kerja yang beginian. Cukuplah mereka sekolah dan kuliah biar bisa jadi orang besar,"jelasnya.
Apalagi kata Surianti bahwa kalau kerja pukul batu pecah itu kalau salah pukul batu, maka tangan yang kena. Sakit kuneee kalau sudah kena jari tangan. Hanya bisa berteriak sakit dan menangis. Mau diapa. Semua itu demi masa depan anak anak.
Usai diwawancara, ibu Surianti bertanya . Hei pak wartawan. Katanya hari ini ada bantuan sembako dari bapak polisi. Yang lain sudah dicatat namanya yang akan dapat bantuan, tapi saya tidak.
Maka hari itu juga wartawan suarakpk.com coba lakukan komunikasi sama Wakapolres Muna, KOMPOL Anggi A.P Siahaan, S.H., S.I.K., M.H, agar bagaimana caranya Surianti dan empat orang rekannya juga bisa menerima bantuan sembako.
Alhamdulillah, Wakpolres Muna langsung merespon dan bersama istrinya selaku ibu bhayangkari yang langsung menyerahkan bantuan tersebut.
Sekedar diketahui bahwa bantuan sembako tersebut Beras Lima Kilo Liter, Indomie, Gula Pasir dan Teh.
"Alhamdulillah hidup.lagi kita. Apalagi saat ini harga beras sudah mahal. Mana batu pecah jarang lakunya. Untung saja ada bantuan dari bapak polisi. Makasih banyak bapak polisi, moga jadi polisi yang berguna bagi daerah dan rakyat kecil,"pungkasnya. (Udin Yaddi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar