Tokoh budaya nusantara yang juga sentana dalem Keraton Kasunanan Surakarta, Kanjeng Pangeran (KP) Dr.H.Andi Budi Sulistyonegoro, SH,M.Ikom atau yang akrab disapa dengan nama Gus Andi, menuturkan, bahwa diakui dalam sejarah perjuangan Sultan Agung Hanyakrakusuma, meski beberapa kali gagal menyerang batavia, namun ia tak pernah gentar mengulanginya. '
Gus Andi yang juga penasehat masyarakat adat nusantara ini menceritakan, belajar dari kegagalanya menyerang batavia, Sultan Agung lantas menyatukan kalender penanggalan tahun saka dengan kalender hijriyah, dengan harapan perbedaan kalender yang dianut umat Hindu dan Islam di Nusantara dapat disatukan dengan penanggalan tahun Jawa yang diawali pada bulan Sura.
“Melalui hasil penyatuan dua kalender tersebut, Sultan Agung berharap segala perbedaan dapat disatukan, sehingga perjuanganya menggempur batavia akan berhasil. Penyatuan kalender hijriyah dengan kalender tahun saka diakui banyak sejarahwan, merupakan pengislaman terbesar kala itu, yang pernah dilakukan oleh raja Mataram Islam di tanah Jawa,” ceritanya.
Dijelaskan Gus Andi, bahwa selain berhasil menyatukan perbedaan, Sultan Agung juga menulis serat Sastra Gending, salah satu karya sastra yang berisi ajaran luhur tata cara kepemimpinan raja raja Jawa.
“Banyak jejak peninggalan Sultan Agung yang sampai saat ini masih terus dilestarikan, salah satunya adalah pajimatan Imogiri. Selain menjadi tempat peristirahatan terakhir raja raja Mataram Islam dari Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Jogjakarta, tak jauh dari lokasi makam Sultan Agung juga terdapat batu tilas lenggah dalem di Desa Giriloyo,” jelasnya.
Dikatakan Gus Andi yang juga Dewan Pembina Media SUARAKPK bahwa di sayap kanan batu tilas palenggahan dalem, terdapat makam Kiai Ageng Sentong, Kiai Ageng Giring dan makam Sultan Cirebon.
Lebih lanjut penasehat Masyarakat Adat Nusantara (MATRA) menguraikan, di sayap sebelah kiri, tertutup bangunan tembok setinggi satu setengah meter, di dalamnya terdapat makam Kanjeng Ratu Pembayun, istri Amangkurat 1. Makam Kanjeng Ratu Mas Hadi, ibunda Sultan Agung, yang berada di posisi tanah paling tinggi. Makam Panembahan Sujinah, paman Sultan Agung dan makam para kerabat kerabatnya.
“Di sisi bagian luar bangunan sayap sebelah kiri terdapat makam Wiroguna, Raden Ayu Nerang Kusuma, Kyai Juru Wiroprobo, Tumenggung Hanggobahu dan makam para prajurit Mataram,” urainya.
Diungkapkan Gus Andi, bahwa terdapat kisah menyoal awal mula keberadaan makam Giriloyo.
Di kisahkannya, bahwa konon pada saat Sultan Agung melakukan ibadah haji di tanah suci, Sultan Agung meminta kepada ulama mekah, kelak nantinya jika dia wafat, jasadnya diminta dimakamkan di mekah. Namun, oleh ulama mekah diterangkan, bahwa tempat tinggalnya bukan di mekah, tetapi di tanah jawa. Usai berkata kepada Sultan Agung, ulama Mekah tersebut lantas mengambil sebuah batu dan melemparkanya ke angkasa.
“Kelak di mana batu tersebut jatuh, di tempat itulah kamu di makamkan. Tempat dimana batu tersebut jatuh sama halnya dimakamkan di makah, ucap sang ulama,” terang Gus Andi.
Batu yang di lempar ke angkasa oleh ulama mekah, lanjut Gus Andi, rupanya jatuh di daerah Giriloyo. Tak jauh dari lokasi jatuhnya batu, Sultan Cirebon yang saat itu tengah bersemedi, melihat cahaya batu dan berniat memiliki keinginan yang sama seperti Sultan Agung, jika wafat jasadnya ingin di makamkan di dekat jatuhnya batu.
“Berawal kisah batu dari mekah tersebut, di komplek makam Giriloyo terdapat makam Sultan Cirebon yang lokasinya tak jauh dari batu tilas palenggahan dalem,” tambahnya.
Untuk diketahui, bahwa Sultan Agung Hanyakrakusumo adalah Raja Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Sultan Agung memiliki nama kecil Raden Mas Rangsang. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan besar di Jawa dan Nusantara. Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Sulta Agung merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati.
Ayahnya adalah raja kedua Mataram setelah Panembahan Senopati. Ibunya putri Pangeran Benawa raja Pajang. Pada awal pemerintahannya, Mas Rangsang bergelar Panembahan Agung. Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624, dia mengganti gelarnya menjadi Susuhunan Agung atau disingkat Sunan Agung.
Pada 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram, yang diperolehnya dari pemimpin Ka'bah di Makkah. Sultan Agung naik takhta pada tahun 1613 di usia 20 tahun. Pada tahun 1614 VOC mengirim duta mengajak Sultan Agung bekerja sama tetapi dengan tegas ditolak mentah-mentah.
Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC. Menyadari kekuatan Belanda, Sultan Agung mulai berpikir memanfaatkan VOC dalam persaingan, menghadapi Surabaya dan Banten. Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC.
Kedua pihak saling mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang Surabaya. Sultan Agung pantang menyerah menghadapi penjajah yang sangat kuat. Dia mencoba menjalin hubungan dengan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC-Belanda. Namun hubungannya kemudian putus di tahun 1635 karena menyadari posisi Portugis saat itu sudah lemah.
Hingga akhirnya seluruh tanah Jawa berada dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC-Belanda. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.
“Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar, tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian,” pungkas Gus Andi menceritakan sejarah keheroikan Sultan Agung Hanyakrakusuma. (rio/red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar