SALATIGA, suarakpk.com - Surat dari Kepala
Kejaksaan Negeri Gunungkidul yang ditanda tangani oleh Kepala Seksi Pidana
Umum, Ari Hani Saputri,SH, yang ditujukan kepada Pimpinan Redaksi SUARAKPK belum
berapa lama ini, Sabtu (22/2/2020) telah diterima langsung oleh Pimpinan
Redaksi SUARAKPK, Imam Supaat.
Surat Kejari Gunungkidul yang ditembuskan kepada Kementerian Komunikasi
dan Informatika Republik Indonesia, Dewan Pers dan Kapolres Gunungkidul, tertanggal
21 Februari 2020, dengan nomor : B-314/M.4.13.3/Es.2/02/2020 tentang Penyampain
Hak Jawab Jaksa Penuntut Umum dan Somasi sebagai tindaklanjut atas pemberitaan
di media online dan cetak SUARAKPK yang terbit pada hari sabtu 15 Februari
2020, dengan judul “Demi Kades Bendung
Yang Bermasalah, Diduga JPU Wonosari Kongkalikong Kriminalisasi Wartawan”,
Hari Senin 17 Februari 2020, dengan judul : “Diduga JPU Wonosari Kongkalikong Penjarakan Wartawan” dan “Tuntutan Seorang Jaksa Diduga Bisa Ditukar
Dengan DOMPET”.
Dalam surat tersebut, disertai lampiran
Hak Jawab dan Somasi dari Jaksa Penuntut Umum, Siti Junaidah,SH (Jaksa Muda) yang
ditanda tangani pada tanggal 20 Februari 2020.
Dalam Hak Jawabnya, sehubungan dengan pemberitaan
di media online dan cetak suarakpk yang terbit pada hari sabtu 15 Februari
2020, dengan judul “Demi Kades Bendung Yang Bermasalah, Diduga JPU Wonosari
Kongkalikong Kriminalisasi Wartawan”, Hari Senin 17 Februari 2020, dengan judul
: “Diduga JPU Wonosari Kongkalikong Penjarakan Wartawan” dan “Tuntutan Seorang
Jaksa Diduga Bisa Ditukar Dengan DOMPET” dituturkan oleh Jaksa Penuntut Umum,
Siti Jnaidah,SH, bahwa judul berita tersebut sudah merupakan Fitnah melanggar
UU ITE.
“Bahwa berita tersebut sebelum
ditayangkan tidak pernah dikonfirmasikan atau diklarifikasikan kepada kami
terlebih dahulu, tidak melakukna Cover Both Side dan bersifat opini sepihak
dari wartawan, sehingga melanggar kode etik jurnalistik,” tutur Siti dalam
surat hak jawabnya.
Dikatakan Siti, bahwa setelah sidang pembacaan
tuntutan tidak ada satupun wartawan dari media online dan cetak suarakpk yang
menghubunginya.
“Jaksa Penuntut Umum setelah membacakan
surat tuntutan tidak langsung meninggalkan ruang sidang atau Pengadilan Negeri
Wonosari, karena masih ada agenda sidang perkara lainnya lagi,” kata Siti.
Menanggapi pernyataan Imam Supaat selaku
Pimpinan Redaksi yang menilai Jaksa Penuntut Umum tidak mempertimbangkan
fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan tidak ada satupun saksi-saksi
yang diajukan Jaksa Penuntut Umum, tidak ada satupun yang melihat dan
mengetahui secara pasti pemerasan yang dilakukan oleh terdakwa Anton Nurcahyono
alias ceprot sebagai wartawan kepada Kepala Desa Bendung, Didik Rubiyanto.
“Imam Supaat dalam perkara tersebut
adalah salah satu saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum yang
pemeriksaannya dilakukan dalam agenda persidangan selanjutnya setelah
saksi-saksi yang lain diperiksa di persidangan,” ucap Siti.
Lebih lanjut, Siti menjelaskan bahwa Imam
Supaat tidak pernah mengikuti jalannya persidangan sebelum yang bersangkutan
dijadikan saksi atau memberikan keterangan di persidangan.
“Sehingga yang bersangkutan (Imam
Supaat) tidak mengetahui secara langsung bagaimana jalannya persidangan dengan
mendengarkan keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum”
ucapnya.
Oleh karena itu, lanjut Siti, penilaian Imam
Supaat tidak ada dasarnya atau mengada-ada dan hanya akan membangun opini publik
untuk mengaburkan fakta perbuatan terdakwa.
“Imam Supaat dalam perkara ini hanya
berkedudukan sebagai saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, dan Imam
Supaat baik secara pribadi maupun pimpinan Redaksi suarakpk tidak mempunyai
kewenangan sama sekali untuk menentukan terdakwa Anton Nurcayono alias ceprot
bersalah atau tidak sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum,” tandasnya.
Selain itu, Siti juga menilai, pernyatan
Imam Supaat selaku Pimpinan Redaksi suarakpk dalam berita tersebut sudah keluar
dari kontek perkara yang didakwakan kepada terdakwa Anton Nurcahyono alias
ceprot.
Terkait dengan pernyataan Jaksa Penuntut
Umum keberatan untuk membuka bukti percakapan di HP terdakwa dan Kepala Desa,
Siti meluruskan, bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan tidak pernah memberikan
keberatan untuk membuka percakapan HP milik terdakwa Anton Nurcahyono alias
ceprot.
Dirinya menjelaskan, dalam proses
persidangan Majelis Hakim yang memimpin dan mengendalikan jalannya persidangan,
sehingga yang menentukan perlu tidaknya diajukan suatu alat bukti dalam
persidangan adalah merupakan kewenangan hakim.
“Sekalipun Jaksa Penuntut Umum
keberatan, jika Majelis Hakim memandang untuk mengungkap kebenaran perlunya
diajukan alat bukti dalam persidangan, maka alat bukti tersebut tetap akan
diajukan dalam persidangan, termasuk, percakapan dalam HP terdakwa Anton
Nurcahyono alias ceprot dengan saudara Didik Rubiyanto,” terang Siti.
Diungkapkannya, bahwa proses persidangan
perkara atas nama terdakwa Anton Nurcahyono alias ceprot sudah dilakukan sesuai
dengan Hukum Acara Pidana.
“Dimana kedua belah pihak, baik Jaksa
Penuntut Umum maupun terdakwa Anton Nurcahyono alias ceprot sudah diberi hak
yang sama untuk mengajukan saksi-saksinya,” ungkapnya.
Dan terdakwa Anton Nurcahyono alias
ceprot, tambah Siti, dalam proses persidangan sebelum dilakukan pemeriksaan
terhadap diri terdakwa sudah diberikan kesempatan untuk mengajukan saksi yang
meringankan/menguntungkan baginya sebagaimana diatur dalam pasal 65 KUHAP.
“Tetapi terdakwa Antonn Nurcahyono alias
ceprot tidak menggunakan kesempatan tersebut,” tambah Siti.
Ditandaskannya, bahwa dalam proses
persidangan dengan agenda pemeriksaan terdakwa Anton Nurcahyono alias ceprot
hari Selasa 4 Februari 2020, Jaksa Penuntut Umum telah meminta terdakwa Anton
Nurcahyono alias ceprot untuk membuka barang bukti Handphone milik terdakwa
Anton Nurcahyono alias ceprot.
“Tetapi terdakwa Anton Nurcahyono alias
Ceprot tidak bersedia dan hanya diam saja,” tandas Siti.
Siti kembali menjelaskan, bahwa untuk
menentukan apakah perbuatan terdakwa Anton Nurcahyono alias ceprot tersebut
merupakan perbuatan pidana atau bukan, sebagaimana yang didakwakan Jaksa
Penuntut Umum adalah merupakan kewenangan Majelis Hakim sepenuhnya yang akan
dituangkan dalam amar putusan yang dibacakan dalam persidangan yang terbuka
untuk umum.
“Dengan mempertimbangkan fakta-fakta
hukum yang muncul dalam persidangan, berupa keterangan saksi-saksi yang
dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan di persidangan, petunjuk dan
keterangan terdakwa Anton Nurcahyono alias ceprot sendiri,” jelas siti.
Sementara mengenai Jaksa Penutut Umum
yang berpesan kepada saudara Anton Nurcahyono alias ceprot, agar Anton
Nurcahyono alias ceprot kooperatif dan tidak menggunakan pengacara, Siti
menegaskan bahwa mengenai hal itu tidak benar.
“Dan perlu kami luruskan, bahwa dalam
perkara ini, terdakwa Anton Nurcahyono alias ceprot, tidak dilakukan penahanan
mengingat ancaman hukumannya kurang dari 5 tahun,,” lurus Siti.
Maka, lanjut Siti, Jaksa Penuntut Umum meminta terhadap terdakwa
untuk kooperatif dengan menghadiri setiap persidangan yang telah ditentukan
oleh Majelis Hakim dan jangan mempersulit jalannya persidangan dengan mangkir
dari jadwal persidangan sehingga harus menggunakan upaya paksa.
Bahwa pada saat tahap II, yaitu tahap
penyerahan tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada Jaksa Penuntut Umum,
terdakwa Anton Nurcahyono alias ceprot mengatakan membawa pengacara. “Tetapi
saat Jaksa Penuntut Umum meminta surat kuasanya, terdakwa Anton Nurcahyono
alias ceprot mengatakan belum ada, maka kami menolak dan saat itu pun beberapa
orang yang katanyasaudara Anton Nurcahyono alias ceprot sebagai pengacaranya
juga tidak menemui kami,” tulis Siti.
Selanjutnya dalam kesempatan itu, Siti
menjelaskan bagaimana proses persidangan yang menggunakan pengacara yang
diikuti dengan esepsi, tanggapan dan putusan sela dan yang tidak menggunakan
pengacara.
“Jika tidak menggunakan pengacara dan
terdakwa tidak mengajukan eksepsi, maka setelah pembacaan dakwaan bisa langsung
diagendakan pembuktian dengan pemeriksaan saksi-saksi dan barang bukti, berarti
acaranya sidang lebih singkat daripada menggunakan pengacara,” jelasnya.
Dan semua itu, lanjut Siti, mengembalikan
kepada terdakwa Anton Nurcahyono alias ceprot akan menggunakan atau tidak. Dan
saat itu terdakwa Anton Nurcahyono alias ceprot mengatakan dan memastikan
kembali saat pernyerahan surat dakwaan dari jaksa penuntut Umum, terdakwa Anton
Nurcahyono alias ceprot tidak akan menggunakan pengacara.
“Sehingga tidak benar jika kami melarang
terdakwa Anton Nurcahyono alias ceprot untuk menggunakan pengacara,” tegas Siti.
Sementara terkait dengan pernyataan Imam
Supaat dalam kolom berita berjudul “Tuntutan Seorang Jaksa Diduga Bisa Ditukar Dengan
Dompet”, merupakan upaya pembunuhan karakter seorang jaksa dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya di bidang penuntutan dan bersifat fitnah melanggar UU ITE.
“Bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam
melakukan penuntutan terhadap terdakwa Anton Nurcahyono alias ceprot diduga
menerima sesuatu dari Saudara Didik Rubiyanto adalah merupakan tuduhan yang
sangat serius tanpa didukung dengan bukti-bukti dan saksi-saksi,” ungkap Siti.
Dikatakan Siti, tuduhan tersebut dapat
merusak citra dan nama baik dirinya secara pribadi maupun sebagai seorang jaksa
khususnya, serta citra dan nama baik institusi Kejaksaan Agung Republik
Indonesia (Korps Adhyaksa) pada umumnya.
“Bahwa Imam Supaat yang tanpa didasari
dengan bukti-bukti dan saksi-saksi dalam kolom berita tersebut sangat
menyesatkan public dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap proses penegakan
hukum di Indonesia serta melanggar Kode Etik Jurnalistik, karena memuat berita
yang tidak berimbang,” ujar Siti.
Menurutnya, berita tersebut tidak dapat
dipercaya sumber dan datanya, yang hanya mendasarkan pada asumsi-asumsi pribadi
semata, dan hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan hukum yang sangat
serius.
“Bahwa Penuntut umum dalam melakukan
penuntutan tentu dengan memperhatikan dan mempertimbangkan fakta-fakta yang
terungkap dalam persidangan,” tegas Siti.
Selanjutnya, dianalisa secara yuridis
berdasarkan alat bukti-alat bukti yang ada berdasarkan kententuan hukum yang
belaku.
“Bukan berdasarkan sesuatu imbalan
apapun dan dari pihak manapun,” tambahnya.
Di akhir surat tersebut, Siti Junaidah,SH,
meminta kepada Pimpinan redaksi suarakpk untuk memuat tanggapannya atau hak jawabnya
di media yang dipimpin dan mengoreksi isi berita yang telah
ditayangkan/terbitkan pada Sabtu tanggal 15 Februari 2020, dengan judul “Demi
Kades Bendung Yang Bermasalah, Diduga JPU Wonosari Kongkalikong Kriminalisasi
Wartawan”, Hari Senin 17 Februari 2020, dengan judul : “Diduga JPU Wonosari
Kongkalikong Penjarakan Wartawan” dan “Tuntutan Seorang Jaksa Diduga Bisa
Ditukar Dengan DOMPET”, tersebut dan meminta maaf atas penerbitan berita-berita
tersebut, dan jika tidak, “Maka kami akan melakukan tindakan sesuai hukum”,
pungkas Siti dalam akhir surat hak jawab dan somasi yang Ia Tanda tangani pada
tanggal 20 Februari 2020. (red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar