JAKARTA, suarakpk.com - Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) membeberkan kemana aliran dana korupsi mantan
Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi. Asisten pribadi mantan
Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi, Miftahul Ulum,
bersama Imam disebut menerima gratifikasi dengan total sekitar Rp 8,648 miliar
dari sejumlah pihak.
Gratifikasi ini kemudian digunakan dalam
berbagai hal dan bentuk, termasuk buka puasa bersama hingga
nonton F1.
Jaksa KPK pun
membeberkan sejumlah rincian penggunaan gratifikasi tersebut oleh Ulum dan
Imam. Mulai dari pembayaran desain rumah hingga pembayaran pembelian pakaian
untuk Imam.
"Sejumlah Rp
2 miliar sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono
Architecs dari Lina Nurhasanah (mantan Bendahara Pengeluaran Pembantu Program
Indonesia Emas Kemenpora) yang bersumber dari uang anggaran Satlak Prima,"
kata jaksa KPK Titto Jaelani di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (30/1/2020).
Satlak Prima
merupakan singkatan dari anggaran Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas.
Menurut jaksa,
saat itu pihak konsultan mempresentasikan rencana pembuatan desain rumah milik
Imam di wilayah Cipayung, yang selanjutnya disetujui oleh istrinya, Shohibah
Rohmah.
Pada saat itu
dijalin kontrak antara pihak konsultan dan Shohibah dengan nilai Rp 700 juta.
Seiring beberapa
waktu, Ulum, Imam, Shohibah melakukan pertemuan dengan pihak konsultan di rumah
dinas Imam.
Dalam pertemuan
itu, Shohibah minta dibuatkan desain interior butik dan kafe di kawasan Kemang,
Jakarta Selatan. Menurut jaksa,
rencana anggaran yang dibutuhkan untuk renovasi butik dan kafe itu sebesar Rp
300 juta. Sedangkan biaya
jasa desain interior sebesar Rp 90 juta.
"Pada sekitar
bulan Oktober 2016, Terdakwa menghubungi Lina Nurhasanah.
Dalam pembicaraan
tersebut, Terdakwa meminta uang sejumlah Rp 2 miliar untuk membayar 'Omah
Bapak', maksudnya yaitu rumah milik Imam Nahrawi," kata jaksa.
Uang tersebut
diambil dari dana akomodasi atlet pada anggaran Satlak Prima. Membayar keperluan
pribadi Imam selain Rp 2
miliar, Ulum juga menerima gratifikasi sebesar Rp 4,948 miliar dari Lina
Nurhasanah. Uang itu juga
diambil dari anggaran Satlak Prima. Ulum menerima uang tersebut sebanyak 38
tahap.
Uang itu digunakan
untuk berbagai macam keperluan, seperti membayar
acara buka puasa bersama di rumah dinas Imam; membeli pakaian
Imam; membayar tiket masuk F1 untuk rombongan Kemenpora pada 19-20 Maret 2016;
hingga membayar tagihan kartu kredit atas nama Ulum sendiri.
Tak ada tanda
terima resmi
Selanjutnya, Ulum
menerima gratifikasi sebesar Rp 400 juta dari Supriyono selaku Bendahara
Pengeluaran Pembantu (BPP) Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON)
periode tahun 2017 sampai tahun 2018.
"Imam Nahrawi
meminta uang honor untuk kegiatan Satlak Prima kepada Mulyana (mantan Deputi IV
Kemenpora), padahal Satlak Prima telah resmi dibubarkan pada bulan Oktober
2017," kata jaksa.
Atas permintaan
itu, Mulyana bertemu PPK Satlak Prima Tahun 2017 Chandra Bakti dan Supriyono.
Dalam pembahasan
tersebut disepakati memberikan uang Rp 400 juta kepada Imam.
Selanjutnya, uang
tersebut diserahkan Supriyono ke Ulum di dekat masjid yang terletak di sekitar
areal parkir Kemenpora.
"Tanpa adanya
tanda terima yang sah dengan disaksikan oleh Mulyana. Beberapa hari kemudian
Mulyana menyampaikan kepada Imam Nahrawi bahwa uang untuknya
telah diserahkan melalui Terdakwa,
selanjutnya Imam Nahrawi mengatakan 'terima kasih'," kata
jaksa.
Terima dari mantan
Sekjen KONI
Terakhir, Ulum
menerima gratifikasi Rp 300 juta dari mantan Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy.
Pada tahun 2015, Ulum menemui mantan Sekretaris Kemenpora Alfitra Salam.
Ulum meminta
Alfitra menyiapkan uang Rp 5 miliar untuk Imam.
"Dengan mengatakan,
'Pak Ses mau lanjut enggak? Kalau mau, siapkan uang Rp 5 M secepatnya”.
Atas permintaan
Terdakwa tersebut, Alfitra Salam belum memenuhinya," kata jaksa.
Selanjutnya, pada
awal bulan Agustus tahun 2015, Ulum kembali menemui Alfitra di ruang kerjanya.
Dalam kesempatan itu Ulum menyampaikan bahwa Imam akan ada kegiatan Muktamar
Nahdlatul Ulama di Jombang.
"Kemudian
karena ada permintaan lagi dari Imam Nahrawi melalui Terdakwa
tersebut, lalu Alfitra Salam menghubungi Ending Fuad Hamidy selaku Sekjen KONI
terkait permintaan itu dan Ending Fuad Hamidy sepakat memberikan uang Rp 300
juta untuk Imam Nahrawi," lanjut jaksa.
Uang tersebut
sempat dititipkan ke Lina Nurhasanah di kantor Kemenpora. Tanggal 6 Agustus
2015, Alfitra dan Ending berangkat ke Surabaya.
Sesampainya di
sana, keduanya bertemu Lina Nurhasanah bersama stafnya Alverino Kurnia di
sebuah restoran di Bandara Juanda, Surabaya.
"Dalam
pertemuan itu Lina Nurhasanah menyerahkan tas jinjing yang berisi uang sejumlah
Rp 300 juta kepada Ending Fuad Hamidy dan Alfitra Salam," ujar jaksa.
Selanjutnya,
Ending dan Alfitra berangkat ke sebuah rumah di Jombang yang sedang ditempati
oleh Imam, beberapa ajudannya dan Ulum.
"Selanjutnya
Alfitra Salam menyerahkan tas jinjing yang berisi uang sejumlah Rp 300 juta
tersebut kepada terdakwa (Ulum) di hadapan Imam Nahrawi," kata
jaksa.
Menurut jaksa,
sejak Imam Nahrawi menerima gratifikasi-gratifikasi tersebut
melalui Ulum,
Imam Nahrawi tidak
pernah melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai dengan batas waktu
30 hari.
"Dengan
mengatakan, 'Pak Ses mau lanjut enggak? Kalau mau, siapkan uang Rp 5 M
secepatnya”.
Atas permintaan
Terdakwa tersebut, Alfitra Salam belum memenuhinya," kata jaksa.
Selanjutnya, pada
awal bulan Agustus tahun 2015, Ulum kembali menemui Alfitra di ruang kerjanya.
Dalam kesempatan
itu Ulum menyampaikan bahwa Imam akan ada kegiatan Muktamar Nahdlatul Ulama di
Jombang.
"Kemudian
karena ada permintaan lagi dari Imam Nahrawi melalui Terdakwa
tersebut, lalu Alfitra Salam menghubungi Ending Fuad Hamidy selaku Sekjen KONI
terkait permintaan itu dan Ending Fuad Hamidy sepakat memberikan uang Rp 300
juta untuk Imam Nahrawi," lanjut jaksa.
Uang tersebut
sempat dititipkan ke Lina Nurhasanah di kantor Kemenpora. Tanggal 6 Agustus
2015, Alfitra dan Ending berangkat ke Surabaya.
Sesampainya di
sana, keduanya bertemu Lina Nurhasanah bersama stafnya Alverino Kurnia di
sebuah restoran di Bandara Juanda, Surabaya.
"Dalam
pertemuan itu Lina Nurhasanah menyerahkan tas jinjing yang berisi uang sejumlah
Rp 300 juta kepada Ending Fuad Hamidy dan Alfitra Salam," ujar jaksa.
Selanjutnya,
Ending dan Alfitra berangkat ke sebuah rumah di Jombang yang sedang ditempati
oleh Imam, beberapa ajudannya dan Ulum.
"Selanjutnya
Alfitra Salam menyerahkan tas jinjing yang berisi uang sejumlah Rp 300 juta
tersebut kepada terdakwa (Ulum) di hadapan Imam Nahrawi," kata
jaksa.
Menurut jaksa,
sejak Imam Nahrawi menerima gratifikasi-gratifikasi tersebut
melalui Ulum,
Imam Nahrawi tidak
pernah melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai dengan batas
waktu 30 hari.
Atas perbuatannya,
Ulum didakwa melanggar Pasal 12B Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto
Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Gratifikasi Rp 8,64 Miliar Imam Nahrawi Dipakai untuk Beli Tiket F1, Baju, hingga Bangun Rumah Pribadi",
Tidak ada komentar:
Posting Komentar