MENOLAK REVISI UNDANG-UNDANG KPK - SUARAKPK

BERITA HARI INI

Home Top Ad


Iklan BUMN



Penghargaan dari Kedubes Maroko


 

11 September 2019

MENOLAK REVISI UNDANG-UNDANG KPK


PALANGKA RAYA, suarakpk.com - Pada 5 September 2019, tersebar berita bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) telah menyusun revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Menurut saya bahwa revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukanlah suatu hal yang krusial untuk saat ini, mengingat kinerja lembaga ini yang sudah memberikan hasil yang nyata terhadap pengungkapan berbagai kasus korupsi tanpa tebang pilih.
Tindak pidana korupsi merupakan ancaman yang sangat serius terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Hal ini tentunya merugikan pembangunan guna mencapai kesejahteraan setiap Warga Negara Indonesia, sebagaimana dimaksud pada prinsip Sila Ke-5 Pancasila yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Kemunduran Penegakan Hukum Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Rancangan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ini, akan melemahkan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berakibat fatal terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Dalam rancangan revisi undang-undang tersebut, pada Pasal 3 kedudukan KPK tidak lagi menjadi lembaga yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, namun telah menjadi lembaga Pemerintah Pusat yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang  melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersifat independen. Hal ini berarti kedudukan KPK akan dibawah pengaruh kekuasaan Pemerintah Pusat. Sehingga KPK tidak lagi menjadi lembaga yang independen dalam penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ketentuan lain yang melemahkan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah adanya Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR RI. Hal ini tentunya akan menghambat upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, karena beberapa ketentuan pelaksanaan harus berdasarkan persetujuan Dewan Pengawas KPK. Sehingga secara tidak langsung terdapat pengaruh kekuasaan dari DPR RI, yang mengancam Independensi lembaga tersebut. Ketentuan tersebut seperti penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.

Dalam rancangan revisi undang-undang tersebut di atas pada Pasal 43 dan 45, juga memuat ketentuan pembatasan sumber penyelidik dan penyidik, yang mana penyelidik hanya bersumber dari Kepolisian Republik Indonesia, sedangkan penyidik bersumber dari Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang. Hal ini tentunya bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-XIII/2015, karena KPK tidak lagi memiliki wewenang mengangkat Penyelidik dan Penyidik sendiri. Maka secara otomatis penindakan terhadap tindak pidana korupsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang berada pada lingkup lembaga tersebut akan berpengaruh. Di beberapa negara, lembaga tindak pidana korupsi memperbolehkan mengangkat penyidik dari non-kepolisian seperti Sigapura (Corrupt Practices Investigation Bureau), Hongkong (Independent Commission Against Corruption), Malaysia (Malaysia Anti Corruption Commission), Timor Leste (Anti Corruption Commission), dan Sierra Lone.
Selain itu, dalam rancangan revisi undang-undang  tersebut, pada Pasal 11 huruf b, kasus yang jadi perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria penaganan kasus korupsi. Hal ini tentunya akan melemahkan KPK, sehingga kekacauan akan terjadi karena polemik penyelesaian kasus tindak pidana korupsi yang meresahkan masyarakat tidak sejalan dengan kewenangan KPK, yang akan mengakibatkan KPK sebagai lembaga yang lumpuh.

Ketentuan lainnya yang dimuat dalam rancangan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang akan melemahkan kinerja KPK adalah pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dilakukan di Instansi/lembaga masing-masing, sehingga KPK hanya dapat melakukan koordinasi dan supervisi. Hal ini akan mempersulit dalam pengawasan dan penindakan ketidakpatuhan LHKPN.  Selain itu penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung yang akan memeperlambat penanganan perkara tindak pidana korupsi.

Maka berdasarkan uraian tersebut di atas tentang  rancangan revisi Undang-Undang KPK, menurut saya merupakan suatu kemunduran penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang harus di tolak oleh seluruh lapisan masyarakat yang peduli terhadap nasib bangsa ini kedepannya. Apabila tidak ada tindakan tegas Pemerintah Pusat untuk menolak revisi rancangan undang-undang tersebut, maka dapat dipastikan akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah Pusat, dan kesejahteraan bagi seluruh Rakyat Indonesia hanya akan menjadi kalimat manis yang berkumandang di telinga masyarakat(ahn).

Kandoni Siringoringo Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HUT SUARAKPK Ke 9 (2018)