Wilson Lalengke : Pernyataan Provokatif Ketua Dewan Pers Bukan Hal Baru - SUARAKPK

BERITA HARI INI

Home Top Ad


Penghargaan dari Kedubes Maroko


 

12 Agustus 2019

Wilson Lalengke : Pernyataan Provokatif Ketua Dewan Pers Bukan Hal Baru

Ket.Gambar : Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (Ketum PPWI), Wilson Lalengke, S,Pd, M.Sc, MA,

JAKARTA, suarakpk.com - Pernyataan Ketua Dewan Pers Prof. Dr. Mohammad Nuh, DEA yang beredar di berbagai media online bahwa perusahaan pers yang telah memiliki legalitas hukum seperti akta  pendirian (PT) dan SIUP dianggap belum cukup sehingga harus mendapat izin dari Dewan Pers. M.Nuh menganalogi Perusahaan Pers dengan pengembang perumahan meski sudah mengantongi izin tetapi harus juga mendapatkan pula Izin Mendirikan Bangunan atau IMB (dari Dewan Pers). Hal tersebut disampaikan oleh M.Nuh pada saat melakukan verifikasi faktual pada beberapa media yang ada di Makasar belum lama ini. Selain itu, M.Nuh juga mengibaratkan, perusahaan pers sebagai keluarga sehingga yang belum mendaftar harus segera mendaftar agar menjadi bagian dalam keluarga. Karena menurutnya, kalau ada anak yang di luar nikah maka harus didaftar agar dapat warisan.
Pernyataan mantan Mendiknas M.Nuh yang saat ini menjabat sebagai Ketua DP tersebut langsung menyulut reaksi keras dari beberapa pengelola media dan organisasi pers tanah air, pasalnya, M.Nuh dianggap telah memberikan pernyataan yang bersifat menghasut pemerintah, baik pusat maupun daerah agar tidak melakukan kerjasama dengan pengelola media yang belum terverifikasi DP.
Seperti yang disampaikan oleh Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (Ketum PPWI), Wilson Lalengke, S,Pd, M.Sc, MA kepada media, sebagai respon atas kisruh pernyataan Ketua DP M. Nuh terkait keharusan pemerintah menolak bekerja sama dengan media-media yang tidak terverifikasi DP.
Bagi Wilson, ucapan provokatif seperti yang dilontarkan M. Nuh bukanlah hal baru dan luar biasa. Dia melihatnya sebagai hal yang biasa saja, dan tidak perlu ditanggapi serius.
"Sebagai ketua sebuah lembaga penampung para komprador yang kehilangan harga diri di tingkat nasional, wajar saja dia cari panggung pemberitaan. Jadi, itu biasa saja," ungkap lulusan PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu, Senin, 12 Agustus 2019.
Menurut trainer jurnalisme warga bagi ribuan anggota TNI, Polri, guru, dosen, PNS, mahasiswa, wartawan, ormas, dan masyarakat umum itu, DP sedang mengalami delusi akut sebagai pejantan tangguh. Untuk itu, jebolan pascasarjana Global Ethics dari Birmingham University Inggris itu menghimbau kepada rekan-rekan media dan organisasi pers yang ada, agar tidak reaktif atas pernyataan sang Ketua DP itu.
"Biasa sajalah. Semua orang tahu, apa sih prestasi M. Nuh saat jadi Mendiknas di bawah SBY lalu? Pendidikan di negeri ini makin bobrok. Bisa dibayangkan dunia pers kita akan makin rusak yàa," kata Wilson.
Kepada kawan-kawan pengelola media, alumni penerima beasiswa Ford Foundation dan Erasmus Mundus ini menghimbau agar tidak berkecil hati atas kelakuan para pengurus DP bersama jaringan oknum organisasi pers partisannya itu.
"Saya menghimbau kawan-kawan pengelola media, jangan sekali-sekali mengemis ke pemerintah, jangan biarkan idealisme Anda tergerus oleh rupiah, jangan tiru perilaku partisan kawan-kawan di dua-tiga organisasi pers anu itu yàa. Kita harus mandiri, melalui kerja gotong-royong saling mendukung satu dengan lainnya," imbuh Wilson lagi.
Untuk menyiasati pembiayaan pengelolaan media, kata lelaki kelahiran Kasingoli, Morowali Utara, Sulteng itu, setiap pewarta jangan menggantungkan hidup-mati medianya dari bantuan atau kerjasama dengan pemerintah.
"Media dan organisasi pers harus mengembangkan jiwa entrepreneurship anggotanya. Jangan gantungkan nasibmu dari kerja-kerja jurnalistik belaka, tapi manfaatkan jaringan dan aktivitas jurnalisme untuk mendapatkan peluang usaha maupun bisnis lainnya," jelas Wilson yang merupakan salah satu pendiri SMAN Plus Provinsi Riau dan SMK Kansai Pekanbaru belasan tahun lalu.
Sementara itu, Wilson juga menitipkan pesan ke aparat pemerintah, terutama pemerintah daerah, agar tidak terkecoh dan ikut genit-genitan bersama DP dan beberapa oknum organisasi pers konstituen DP itu.
"Pemda harus sadar, para wartawan itu adalah bagian tak terpisahkan dari rakyat di daerah Anda masing-masing. Siapa lagi yang akan mengayomi dan memberdayakan mereka jika bukan pemerintah daerahnya? Anda bertanggung-jawab dunia akhirat atas rakyat yang ada di wilayah masing-masing, termasuk ribuan wartawan bersama keluarganya itu. Jangan ikutan genit bersama si bandot birahi itu," pungkas Wilson yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Keluarga Alumni Program Persahabatan Indonesia Jepang Abad 21 (Kappija-21) itu.
Ket.Gambar : Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia Hence Mandagi

Senada dengan Wilson, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia Hence Mandagi juga menyesalkan pernyataan M.Nuh yang dinilai tidak memahami sejarah dan tujuan dibentuk dan disahkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Pernyataan Ketua Dewan Pers itu sama saja mengkhianati perjuangan para tokoh pers nasional yang dulu susah payah menuntut Departemen Penerangan dan Dewan Pers dibubarkan karena selama puluhan tahun dianggap telah memasung kemerdekaan pers,” urai Mandagie melalui siaran pers yang dikirim ke  redaksi, Sabtu, 10 Agustus 2019.
Tujuan dibubarkannya Departemen Penerangan RI dan Dewan Pers ketika itu, menurut Mandagi, salah satu alasannya adalah untuk menghapuskan syarat pendirian perusahaan pers dari kewajiban mengantongi Surat ijin Usaha Penerbitan atau SIUP karena dianggap terlalu berbelit-belit dan memakan waktu lama. Sulitnya mengurus SIUP di Departemen Peneangan RI ketika itu membuat pers Indonesia sulit berkembang.
“Kewajiban memiliki SIUP sengaja ditiadakan oleh pemerintah pada era itu agar tidak terjadi lagi pembredelan terhadap media massa, sehingga kemerdekaan pers yang diperjuangkan para tokoh pers akhirnya bisa tertuang dalam Undang-Undang Pers yang baru yakni UU Nomor 40 Tahun 1999,” ulas Mandagi.
Mandagi juga menambahkan, pemerintah bersama seluruh insan pers ketika itu sepakat menyederhanakan pendirian perusahaan pers agar tidak perlu ada lagi ijin berupa SIUP demi tujuan menjamin kebebasan pers dari ancaman pembredelan media massa.
“Peniadaan Ijin usaha penerbitan, pembubaran Departemen Penerangan dan Dewan pers pada masa itu adalah sejarah perjuangan kemerdekaan pers yang saat ini tergerus atau terlupakan oleh kebijakan Dewan Pers,” ujar Mandagi.
Jika sekarang ini muncul upaya Dewan Pers menjadikan lembaganya sebagai regulator yang mengeluarkan ijin bagi perusahaan pers, menurut Mandagi, akan sangat berbahaya bagi kebebasan pers.
“Itu sama saja dengan pengkhianatan terhadap perjuangan kemerdekaan pers,” tegasnya.
Mandagi juga meminta kepada seluruh anggota Dewan Pers yang ada agar tidak mengganggu dan merusak kemerdekaan pers yang dijamin UU Pers.
“Beginilah jadinya jika anggota Dewan Pers yang ada sekarang dipenuhi orang-orang yang tidak mengerti sejarah dan inti dari UU Pers itu sendiri,” ucapnya.
Mandagi menandaskan, pengawasan dan penertiban terhadap penyalahgunaan praktek jurnalistik oleh pengelola media massa atau perusahaan pers tidak boleh serta merta membuat kebijakan sepihak yang justru merusak kemerdekaan pers dan hak azasi manusia.
“Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak azasi warga negara diatur dalam pasal 4 UU Pers, serta setiap warga memiliki hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak juga diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 7,” urai Mandagi seraya meminta Dewan Pers memahami hal itu agar tidak ada lagi perusahaan pers dituding illegal atau tidak sah karena belum diverifikasi. 

Untuk diketahui, bahwa Kebebasan pers di Indonesia lahir setelah Orde Baru tumbang pada 1998  dan munculnya pasal 28 F UUD 1945, melalui amandemen kedua, yang berbunyi, ”setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan mengungkapkan segala jenis saluran yang tersedia.”
Kendati Indonesia menyatakan negara demokrasi, kenyataannya selama rezim Orde Baru, kebebasan pers sebagai salah satu ciri demokrasi  justru mengalami kekangan. Media yang dinilai melanggar  peraturan dan mengeritik penguasa bisa dikenakan pembredelan. Mekanisme penerbitan media massa dikontrol melalui ”rezim SIUPP” (Surat Izin Usaha  Penerbitan Pers).
Pascareformasi,  pemerintah  mencabut sejumlah peraturan yang dianggap mengekang kehidupan pers. Peraturan tersebut antara lain:  Peraturan Menteri Penerangan  Nomor 1 tahun 1984 tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), Permenpen Nomor 2 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Wartawan, Surat Keputusan (SK) Menpen  Nomor 214 Tentang Prosedur dan Persyaratan untuk Mendapatkan SIUPP, dan SK Menpen Nomor 47 Tahun 1975 tentang Pengukuhan PWI dan Serikat Pekerja Surat Kabar Sebagai Satu-Satunya Organisasi Wartawan  dan Organisasi Penerbit Pers Indonesia. 
Kebebasan  pers ini kemudian ditegaskan lagi lewat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
UU No. 40 /1999 menggantikan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 mengenai Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, yang ditambah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967, dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982. UU No. 40/1999 menegaskan tidak ada sensor dan pembredelan terhadap pers.
Pasal-pasal yang menegaskan kemerdekaan, fungsi dan pentingnya pers dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 adalah Pasal 2 : Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pasal 3 ayat (1): Pers  nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Pasal 6 :  Pers nasional melaksanakan peranannya:
  1. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
  2. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinnekaan
  3. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar
  4. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan
  5. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Ada pun Kemerdekaan pers diatur dalam:
Pasal 4  ayat (1) :  Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara,
Pasal 4 ayat (2) :  Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran
Pasal 4 ayat (3) :  Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Undang-Undang tentang Pers  memberi sanksi kepada mereka yang menghalang-halangi kerja wartawan. Pasal 18 Undang-Undang tentang Pers menyatakan, "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta."
Walau undang-undang menjamin kebebasan pers, tapi bukan berarti kebebasan pers di Indonesia menempati peringkat tinggi dibanding negara lain. Pada 2017, misalnya indeks kebebasan pers di Indonesia berada pada urutan 124 dari180 negara. Menurut lembaga international Reporter Sans Frontiers (RSF) kebebasan pers di Indonesia jauh di bawah negara Asia, seperti Hongkong, Jepang, dan Timor Leste.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, terdapat 61 kasus kekerasan terhadap wartawan sepanjang 2017. Diantaranya, 30 mengalami kekerasan fisik dan 13 kasus pengusiran dan pelarangan liputan. (001/red)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HUT SUARAKPK Ke 9 (2018)