JAKARTA, suarakpk.com - Dikabarkan, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia
di akhir kuartal I tercatat US$ 358,7 miliar atau setara dengan Rp5.021 triliun
(kurs Rp14.000), ULN dimaksud merupakan gabungan utang pemerintah dan swasta,
demikian informasi yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI) hari ini pada kuartal
I 2018. Dijelaskan dalam rilisnya, bahwa Jumlah utang tersebut terdiri dari
utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 184,7 miliar atau sekitar Rp2.585
triliun. Kemudian untuk utang swasta tercatat US$ 174 miliar atau sebesar Rp2.436
triliun. Selain itu, BI juga menyebutkan jika jumlah ULN saat ini melambat 8,7%
dibandingkan dengan pertumbuhan kuartal sebelumnya 10,4%.
"Perlambatan ini disebabkan oleh ULN pemerintah dan
swasta yang lebih rendah dibanding kuartal sebelumnya," tulis keterangan
resmi BI dikutip, Selasa, (15/5/2018).
Di sisi lain, Bank sentral juga menyebutkan bahwa perkembangan
ULN di Indonesie masih tetap terkendali dengan struktur yang sehat. Hal tersbeut
dapat terlihat dari rasio ULN terhadap produk domestik bruto (PDB) pada kuartal
I 2018 yang tercatat di kisaran 34%. Berdasarkan jangka waktu, ULN Indonesia
akhir kuartal I 2018 tetap didominasi ULN jangka panjang yang memiliki pangsa
86,1% dari total ULN.
"BI bersama pemerintah terus memantau perkembangan ULN dari waktu ke waktu untuk mengoptimalkan peran ULN untuk mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian," ungkap BI dalam rilisnya tersebut.
Dijelaskannya, bahwa melambatnya pertumbuhan ULN swasta terjadi akibat sektor industri penglolahan dan sektor pengadaan listrik, gas dan uap air panas. Pertumbuhan ULN sektor industri penglolahan pada kuartal I 2018 tercatat 4,4% dan 19,3% lebih rendah dibanding kuartal sebelumnya. Sementara itu untuk pertumbuhan ULN sektor pertambangan meningkat dan pertumbuhan ULN sektor keuangan relatif stabil dibandingkan dengan pertumbuhan kuartal sebelumnya. Hingga akhir kuartal I 2018, ULN pemerintah tercatat sebesar US$ 181,1 miliar yang terdiri dari SBN (SUN dan SBSN/Sukuk Negara) yang dimiliki oleh non-residen sebesar US$ 124,8 miliar dan pinjaman kreditur asing sebesar US$ 56,3 miliar.
"BI bersama pemerintah terus memantau perkembangan ULN dari waktu ke waktu untuk mengoptimalkan peran ULN untuk mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian," ungkap BI dalam rilisnya tersebut.
Dijelaskannya, bahwa melambatnya pertumbuhan ULN swasta terjadi akibat sektor industri penglolahan dan sektor pengadaan listrik, gas dan uap air panas. Pertumbuhan ULN sektor industri penglolahan pada kuartal I 2018 tercatat 4,4% dan 19,3% lebih rendah dibanding kuartal sebelumnya. Sementara itu untuk pertumbuhan ULN sektor pertambangan meningkat dan pertumbuhan ULN sektor keuangan relatif stabil dibandingkan dengan pertumbuhan kuartal sebelumnya. Hingga akhir kuartal I 2018, ULN pemerintah tercatat sebesar US$ 181,1 miliar yang terdiri dari SBN (SUN dan SBSN/Sukuk Negara) yang dimiliki oleh non-residen sebesar US$ 124,8 miliar dan pinjaman kreditur asing sebesar US$ 56,3 miliar.
“ULN Pemerintah pada akhir triwulan I 2018 meningkat US$ 3,8
miliar dari kuartal sebelumnya. Peningkatan tersebut terutama bersumber dari
penerbitan Global Sukuk sebesar US$ 3 miliar, yang di dalamnya termasuk dalam
bentuk Green Bond atau Green Sukuk Framework senilai US$ 1,25 miliar sejalan
dengan komitmen pendanaan hijau yang ramah lingkungan.” jelasnya.
Sementara di sisi SBN, investor asing masih mencatat net buy SBN pada kuartal I 2018. “Perkembangan ini tidak terlepas dari kepercayaan investor asing atas SBN domestik yang masih tinggi, antara lain ditopang peningkatan peringkat utang Indonesia oleh lembaga pemeringkat Rating and Investment (R&I) pada tanggal 7 Maret 2018.” akhir rilisnya. (Tim/ekobis/red)
Sementara di sisi SBN, investor asing masih mencatat net buy SBN pada kuartal I 2018. “Perkembangan ini tidak terlepas dari kepercayaan investor asing atas SBN domestik yang masih tinggi, antara lain ditopang peningkatan peringkat utang Indonesia oleh lembaga pemeringkat Rating and Investment (R&I) pada tanggal 7 Maret 2018.” akhir rilisnya. (Tim/ekobis/red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar