SEMARANG, suarakpk.com - Anak merupakan masa depan sebuah
generasi, masa depan sebuah bangsa dan masa depan sebuah keluarga. Seringkali
anak menjadi sasaran para pelaku kejahatan, karena ketidaktahuan, kepolosan dan
keluguan mereka. Anak-anak yang dengan kepolosan dan keluguan mereka menjadi
sangat rentan terhadap para pelaku kejahatan atau bahkan menjadi bahan
eksploitasi bagi sebagian kalangan orang-orang dewasa dalam mewujudkan ambisi
dan keinginannya demikian dikatakan oleh Sekretaris Komnas Perlindungan Anak
Provinsi Jawa Tengah, Imam Supaat kemarin Kamis (6/9) di Pendopo Rumah Dinas
Bupati Semarang saat usai pelantikan pengurus Komnas Perlindungan Anak Provinsi
Jawa Tengah dan Pengurus Komnas Perlindungan Anak Kota/Kabupaten Se Jawa Tengah
oleh Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait.
Dikatakan Imam, bahwa UU Perlindungan anak sudah
mengalami beberapa kali perubahan. Semua dilakukan tidak lain dan tidak bukan
hanyalah untuk melindungi dan memberikan jaminan kepada anak atas hak mereka
sebagai anak dan untuk tumbuh dilingkungan yang baik serta sehat.
“UU Perlindungan anak Nomor 35 tahun 2014 yang
merupakan perubahan atas UU perlindungan anak no 23 tahun 2002, semakin
mempertegas sanksi yang dijatuhkan kepada para pelaku kejahatan terhadap anak,
serta lebih memberikan jaminan perlindungan terhadap anak.” tutur Imam.
Menurutnya, dengan adanya UU Perlindungan Anak dan
beberapa perubahannya diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap anak,
memberikan hukuman yang jelas berupa sanksi dan denda yang berat terhadap
pelaku kejahatan terhadap anak, terutama kejahatan seksual dan
kejahatan-kejahatan lainnya yang kerap terjadi pada anak-anak.
“Walaupun UU perlindungan anak ini telah memberikan
sanksi tegas dan berat terhadap pelaku kejahatan terhadap anak, akan tetapi
tidak begitu dapat memberikan efek jera yang signifikan begi para pelaku
kejahatan tersebut, dan karena itu, pemerintah pun mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2016.” ujarnya.
Ditambahkan Imam, bahwa Perppu tersebut telah disahkan
menjadi UU Perlindungan anak terbaru yakni UU Nomor 17 tahun 2016 oleh DPR RI,
yang mana dalam Perppu tersebut lebih mempertegas sanksi terhadap para pelaku
kejahatan seksual terhadap anak seperti hukuman, kebiri, mati, serta
pemasangan chip elektronik bagi pelaku.
“Yang diharapkan dengan adanya
perppu no 1 tahun 2016 ini akan memberikan efek jera terhadap para pelaku
kejahatan seksual terhadap anak. Selain tentang hukuman sanksi pidana terhadap pelaku
kejahatan terhadap anak, UU Perlindungan anak juga menyebutkan bahwa, setiap
anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan aktivitas
politik, yakni dalam pasal 15 Undang Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak.” ucapnya.
Lebih lanjut, Imam mengatakan, untuk
itu, menghadapi tahun politik sekarang ini, tahun pesta demokrasi menghadapi
pemilu 2019 nanti, kita menjadi lebih aktif lagi dalam hal melindungi dan
menjaga anak-anak kita. Dengan cara tidak mengikutkan mereka dalam aktivitas
politik, kampanye dan lain sebagainya. Walaupun disebutkan secara eksplisit, UU perlindungan
anak ini jelas melarang siapa saja, baik itu perorangan ataupun kelompok dan
partai politik untuk melibatkan anak dalam aktivitas politik mereka, seperti
misalnya kampanye, demo, dan lain sebagainya. Sedangkan didalam Pasal 76 H UU
Perlindungan Anak No 35 tahun 2014 menyebutkan, "setiap orang dilarang
merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan atau lainnya dan
membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa".
“Selain untuk melindungi anak dari kejahatan seksual,
aktivitas politik, UU perlindungan anak juga diharapkan menjadi dasar hukum
dalam menegakkan hak anak, serta melindungi mereka dari kekerasan yang terjadi
kepada mereka. Seperti halnya dalam dunia pendidikan kita, sering kali kita
mendengar, seorang anak menjadi korban kekerasan dari guru atau orang tua anak
itu sendiri.” lanjunya.
Oleh karena itu, seorang guru harus tahu bahwa di
Indonesia memiliki UU Perlindungan Anak, serta mengetahui tata cara
pembelajaran yang sehat serta ramah moral, sehingga diharapkan perilaku
kekerasan fisik maupun verbal dan psikologis terhadap anak tidak akan terjadi
lagi.
“Atau sebaliknya, tindak kejahatan yang dilakukan oleh
seorang anak pun tidak boleh diperlakukan sebagaimana tindak kejahatan yang
dilakukan oleh orang dewasa.” ungkapnya.
Ditambahkan
Imam, bahwa selama ini kasus kekerasan seksual terhadap anak terlambat
diketahui. Ini karena ketika korban mengungkapkan dirinya mengalami kekerasan
seksual dari pelaku yang masih keluarga, sering kali orangtua atau keluarga
korban tak bisa menerima hal itu. Dalam hal ini, perhatian orangtua adalah
kuncinya. Pengungkapan kasus terlambat justru karena sikap orangtua yang
menganggap cerita anaknya berlebihan atau mereka tak memercayai cerita sang
anak.
“Orangtua
juga harus memberikan pendidikan seksualitas terhadap anak-anak yang
disesuaikan dengan usia anak. Berulangnya kekerasan seksual terhadap anak tidak
terlepas dari lemahnya penegakan hukum. Apalagi, perhatian publik hanya pada
saat kasus tersebut diungkap.” pinta Imam.
Selanjutnya,
nyaris tidak ada yang mengikuti kasusnya sampai tuntas. Lemahnya pengawasan
masyarakat membuat penegakan hukum berjalan setengah hati. Banyak kasus
berhenti di tengah jalan. Ironisnya, ada oknum penegak hukum yang justru
menawarkan mediasi antara pelaku seksual dan korban.
“Pengamatan Komnas Perlindungan Anak, sejumlah
proses hukum kasus kekerasan seksual terhadap anak berhenti dan tidak sampai ke
pengadilan karena kasusnya dicabut oleh para korban. Lemahnya pengawasan
membuat para korban dan keluarga tak berdaya menghadapi tekanan, apalagi jika
pelakunya memiliki kekuatan ekonomi dan kekuasaan. Untuk itu, Komnas Perlindungan Anak Jawa Tengah, akan membantu bersinergi dengan penegak hukum dan pemerintah untuk memerangi para predator seksual dan eksploitasi terhadap anak” pungkasnya.
(101/red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar