KULONPROGO, suarakpk.com – Warga Desa Palihan,
Kecamatan Temon, Kabupaten Kulonprogo, DIY, kemarin selasa (5/12) dikagetkan
kedatangan pasukan Kepolisian secara mendadak, kedatangan pasukan polisi
langsung menuju ke rumah - rumah warga, polisi meminta kepada seluruh jaringan
solidaritas yang tidak berizin keluar dari rumah. Pasalnya Polisi menganggap
jaringan solidaritas dan warga adalah provokasi.
Namun warga enggan
mengikuti perintah kepolisian yang terkesan semena-mena dan merasa kedatangan
pasukan kepolisian tidak dihiraukan oleh warga, sekitar pukul 10.20 WIB polisi kembali
datang lagi bersama dengan aparat desa mereka meminta identitas warga dan
jaringan soidaritas.
Pantauan
suarakpk.com di lapangan, Pukul. 10.31 terjadi
dorong-dorongan antara warga kampung dengan aparat kepolisian, akhirnya
kepolisian mengamankan 12 orang yang diduga merupakan anggota Jaringan
Solidaritas Anti Penggusuran, yang menjadi aneh oleh warga seusai penangkapan
12 orang terduga terlebih dulu dibawa ke kantor PT.PP yang kemudian dibawa ke
Polres.
Dari kejadian
tersebut dikabarkan ada tiga korban luka bocor di kepala dan adanya tindakkan
yang tidak manusia kepada salah satu warga dengan diseret oleh kepolisian.
“Tiga warga
(Fajar, Agus, dan Hermanto) terluka akibat diseret aparat dan terkena lemparan
batu, fajar yang mempunyai rumah di desa palihan diseret aparat. Jalan depan
mesjid dibego sehingga tidak ada akses untuk lewat dan pohon ditumbangkan
persis depan posko warga.” Ungkap salah satu warga yang enggan disebutkan
namanya.
Menanggapi
kejadian tersebut, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta
angkat bicara dengan membuat pernyataan Sikap.
AJI meminta Aparat
untuk bisa usut tuntas pelaku kekerasan terhadap warga dan solidaritas anti
penggusuran di Kulonprogo, selain itu AJI juga meminta untuk Kapolri bisa
memberikan hukuman kepada anggota polisi pengekang kebebasan berekspresi pers
mahasiswa.
“Hari ini, 5
Desember 2017, aparat kepolisian melakukan aksi sewenang-wenang terhadap warga
dan anggota Jaringan Solidaritas Anti Penggusuran di Palihan, Temon,
Kulonprogo. Tiga warga terluka, 15 orang anggota jaringan solidaritas ditangkap
dan dipukuli dalam peristiwa itu.” kata Anang Zakaria, yang juga Ketua AJI
Yogyakarta melalui pernyataan sikapnya.
Lebih lanjut Anang
menjelaskan bahwa kekerasan itu terjadi pada 10.15 WIB. Bermula ketika ratusan
polisi, tentara, dan perangkat desa mendatangi rumah-rumah warga penolak
penggusuran. “Mereka menyisir warga dan meminta anggota identintas anggota
jaringan.
Aparat berdalih
keberadaan anggota jaringan solidaritas tak berizin. Mereka menuding anggota
jaringan, yang terdiri dari relawan dan mahasiswa, sebagai bagian upaya
memprovokasi warga agar menolak pembangunan bandara.” terang Anang.
Dari kejadian
tersebut, 12 orang relawan dan mahasiswa digelandang ke kantor PT. Pembangunan
Perumahan dan akhirnya ditahan di markas Polres Kulonproprogo. Mereka adalah
Andre; Imam dan Rimba (UNY); Muslih (FKNSDA), Rifai (Univ. Mercubuana); Mamat,
Kafabi, Wahyu, dan Fahri (UIN); Samsul dan Chandra (LFSY); dan Yogi (UNS).
Pada sore hari,
polisi menangkap tiga mahasiswa lagi. Khoirul Muttakim, Abdul Majid Zaelani,
dan Syarif Hidayat. Mereka merupakan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Laporan terakhir,
ke-15 orang tersebut telah dibebaskan tadi malam.
Sementara, Koordinator
Bidang Advokasi AJI Yogyakarta Tommy Apriando, yang berada di lokasi,
melaporkan tiga dari 12 orang anggota solidaritas adalah anggota pers
mahasiswa. AS Rimba dan Imam Ghozali dari LPM Ekspresi UNY, serta Fahri dari
LPM Rethor UIN Sunan Kalijaga.
“Saat peristiwa
terjadi, mereka berada di Masjid Al Hidayah dan berusaha mendokumentasikan
peristiwa kekerasan aparat terhadap warga dan anggota solidaritas.
Rimba, lanjut
Tommy, sempat merekam upaya negosiasi warga terhadap aparat. Upaya negosiasi
gagal, warga terdesak aparat dan alat berat hingga ke sebuah kandang sapi di
belakang masjid.” Jelas Tommy.
Lebih lajut
dirinya mengungkapkan, bahwa Rimba, yang berada di tengah massa dan aparat,
terkena tendangan aparat dan tersungkur ke tanah. Melihat buruannya jatuh,
aparat segera meringkus dan menginjak-injak sekujur tubuh Rimba. Telepon
genggam miliknya dirampas.
Berikutnya, ia
digelandang ke kantor PT. Pembangunan Perumahan bersama anggota solidaritas
yang lain.
“Dua anggota pers
mahasiswa lain, Imam dan Fahri, juga menjadi bagian dari 12 orang yang akhirnya
ditahan di markas Polres Kulonprogo. Telepon genggam mereka disita. Belakangan
mereka tahu data-data liputan yang tersimpan di dalamnya terhapus. Kuat dugaan,
penghapusan data itu dilakukan oleh aparat yang meringkus mereka.” kata Tommy
Tak hanya itu,
salah seorang wartawan televisi bahkan nyaris dihajar polisi lantaran
mendokumentasikan penggusuran di Kulonprogo.
“Cara-cara arogan
aparat kepolisian ini bertentangan dengan Undang-undang Pers yang dengan tegas
melindungi kebebasan wartawan memperoleh, mendokumentasikan dan menyebarkan
berita. Aparat kepolisian hendaknya belajar lebih banyak dan membaca lagi
Undang-Undang Pers agar tak semena-mena terhadap jurnalis.” ujar Tommy
Berdasarkan keterangan
itu, Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta menyatakan tindakan aparat keamanan
itu adalah kesewenang-wenangan.
Terpisah, Komisi
Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), melalui pernyataan
sikap yang diterbitkan kemarin malam, senin (5/12), menyebut sebagai
pelanggaran hukum dan hak asasi manusia.
“Polisi telah
melanggar Pasal 100 Undang - Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Pasal 351 Kita Undang - Undang Hukum Pidana tentang tindakan
Penganiayaan. Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip
dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaran Tugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2010 tentang Tata Cara
Lintas Ganti dan Cara Bertindak dalam Penanggulangan Huru-Hara.” tutur Tommy
Dia menegaskan
bahwa tuduhan polisi tentang keberadaan anggota solidaritas merupakan aksi
provokasi tidak benar. Sebaliknya, aksi kekerasan yang dilakukan polisi itulah
yang menjadi bagian upaya provokasi.
Kegiatan pers
mahasiswa dalam memperoleh dan menyebarkan informasi adalah bagian dari
kebebasan berekspresi. Kebebasan itu dilindungi melalui pasal 19 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia PBB dan Pasal 28-F Undang-Undang Dasar 1945. Setiap
orang bebas berpendapat, menganut pendapat tanpa gangguan, mencari dan
menyampaikan informasi.
Aktivitas pers
mahasiswa dalam mencari, mengelola, dan menyampaikan informasi juga lekat
dengan kerja jurnalistik. Dan, kebebasan pers hanya omong kosong tanpa ada
kebebasan berekspresi.
“Bertolak dari
kondisi di atas, Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta menuntut kepolisian :
1. Usut tuntas
pelaku kekerasan terhadap warga. 2. Hukum anggota polisi yang bertindak
sewenang-wenang mengekang kebebasan berekspresi pers mahasiswa. 3. Hentikan
cara-cara biadap kepolisian hanya untuk mempermulus proyek Bandara Kulonprogo.”
Tegasnya. (zahrowi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar