MALAM DI TEPIAN PANTAI WIDURI - SUARAKPK

BERITA HARI INI

Home Top Ad


Penghargaan dari Kedubes Maroko


 

01 Oktober 2021

MALAM DI TEPIAN PANTAI WIDURI


Oleh : Sofyan Mohammad


Jika kita berada di pantai maka waktu terasa berhenti, deburan ombak memecah buih menghantam karang adalah pintu menuju pengembaraan batin dalam satu waktu sekaligus mengabadikan kematian waktu.

Genangan ombak menghuyung butiran pasir ketepian pantai diantara tapal cakrawala berarak, sementara air laut mengantarkan angin yang menimbulkan siulan telah menelisik ruang batin dalam penggalan kisah kisah kehidupan yang tertoreh

Pengembaraan batin ketika dipantai telah mengantarkan kita pada lorong gelap semantara akal kita liar mencari celah cahaya, semakin kita melangkah semakin jauh kita meninggalkan cahaya diantara labirin itu maka akal kita tidak  akan dapat menyadari bahwa kita sebenarnya adalah gerun pada kegelapan.

Wadah jasad kita dalam diorama akal sudah terlanjur mapan dengan cahaya terang, sehingga ketika kita berada dalam kegelapan jiwa, hati menjadi gelisah sebab akan muncul sekebat dosa yang telah mengakumulasi titik-titik hitam menjadi ketidaknyamanan jiwa.

Dipantai diantara deburan ombak dan hempasan angin maka disitu merupakan salah satu pintu menuju cahaya Ilahi sebagaimana terurai dalam Kalam Allah yang berbunyi ”Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan -perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” nukilan Firman- Nya terdapat dalam Alquran, Surah An Nur Ayat 35.

Ketika kita membiarkan pengembaraan batin diantara deburan ombak maka labirin batin akan tertuju pada dua celah cahaya yaitu cahaya jasmaniah dan cahaya rohaniah, yang mana  cahaya jasmaniah akan memunculkan keindahan fisik semantara cahaya rohaniah akan memantulkan keindahan jiwa hingga menembus pada keindahan fisik.

Dua celah cahaya itu adalah mikrokosmos dan makrokosmos yang dapat dikaitkan dengan teori keindahan Al-Ghazali puncak dari cahaya itu adalah cahaya illahi dalam puncak pencapaian itu maka semua isi semesta adalah asma Ilahi, karena apapun perbuatan yang kita lakukan berorientasi kepada keagungan Ilahi dan menekuk diri di pantai adalah salah satu langkah untuk memetik cahaya Ilahi tersebut.

Membebaskan sayap batin kita mengembara diantara genangan air laut dipantai maka akan membawa kita pada awan berarak yang menggambarkan tentang wadah ornamen kehidupan kita bahwa tidak semua tawa itu ada dalam bahagia, tidak setiap air mata ada dalam duka karena semua tawa tak selamanya bahagia hal ini akan mengingatkan Firman Allah yang berbunyi "dalam kesulitan selalu ada bersama kemudahan" Itu seperti janji Allah pada hambanya.

Menikmati malam di Pantai Widuri yaitu pantai yang terletak di Desa Widuri Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang, Jawa tengah atau oleh masyarakat sekitar pantai ini juga disebut dengan pantai tlincing, maka adalah oase dalam laku pengembaraan batin menapaki anak tangga cahaya yang dalam salah satu anak tangga mengingatkan cerita tentang potret sosok kepribadian wanita Jawa masa lalu yaitu Endang Widuri dalam kisah cerita bersambung Nagasasra dan Sabuk Inten Jilid 29 dari 29 karya Singgih Hadi Mintardja.

Dalam salah satu sekuel kisah maka Endang Widuri digambarkan sebagai sosok wanita ideal baik dalam cahaya fisik maupun ruhaninya, sosok wanita yang mampu menjala ekspresi kebebasan dalam laku diri namun tetap menjaga segala kefitrahanya sebagai seorang wanita.

Cerita tentang hilangnya Endang Widuri telah benar-benar menggoncangkan perasaan Mahesa Jenar, bagaimana ia akan dapat menikmati hari-hari seterusnya, orang-orang yang selama ini berada di dalam suatu lingkungan yang seakan- akan mengalami semua nasib, suka dan duka, manis pahit bersama-sama. Apakah kini ia mampu menutup perasaannya, dan beristirahat dengan tenang sambil menunggu hari-hari yang berbahagia itu? Sedangkan Kebo Kanigara, Arya Salaka, Gajah Sora dan orang-orang lain di Banyubiru sedang berprihatin. Timbullah kemudian persoalan tersendiri di dalam hati Mahesa Jenar. Persoalan yang amat rumit. Kedatangannya di Gunungkidul merupakan permulaan dan hari-hari yang cerah bagi Rara Wilis sebagai seorang gadis yang merindukan hidup tentram dan wajar. Tiba-tiba kini mereka dikejar lagi oleh suatu persoalan yang tak pernah mereka sangka-sangka akan terjadi, tiba-tiba Mahesa Jenar itu pun bertanya kepada Bantaran, “Bantaran, apakah setiap orang di Banyubiru yakin bahwa Widuri benar-benar hilang?” “Ya....semua orang menganggap demikian,” sahut Bantaran. “Apakah Widuri tidak sedang merajuk, karena ia tidak diperbolehkan ikut ke Gunungkidul?” bertanya Mahesa Jenar lagi. “Ada juga dugaan demikian,” jawab Bantaran. “Tetapi ternyata tidak. 

Seorang gadis melihat Widuri berkelahi, dan seorang laki- laki yang tak dikenal telah menculiknya di belumbang selagi Widuri sedang hendak mencuci pakaiannya.” “Bukan main,” desis Mahesa Jenar. “Widuri adalah seorang gadis yang kuat. Kalau seseorang berhasil menculiknya, maka orang itu pun pasti orang yang lebih kuat pula.”

Kisah Endang Widuri itu hanyut bersama deburan ombak pantai Widuri yang bersahut dengan lelehan cerita run temurun tentang legenda pantai Widuri, lagi lagi menampilkan tajali tentang kisah ideal wanita Jawa tempo dulu yang inspiratif untuk dapat diteguk keteladanannya bagi para wanita era kekinian yang mulai nyaris coreng moreng kebabalasan memaknai teori emansipasi ala barat, kisah legenda Widuri di Pantai Widuri ini tercermin dari segala kesetiaanya menjaga marwah dan martabatnya sebagai seorang wanita.

Menurut cerita run temurun maka nama Pantai Widuri diambil dari legenda Nyi Widuri seorang wanita yang cantik jelita yang hidup di desa tersebut yang diceritakan seorang wanita yang mau berjanji setia kepada suaminya yang sedang pergi berperang. Nyi Widuri berjanji tidak akan menerima seorang tamu laki - laki demi menjaga kehormatan dirinya sebagai seorang wanita, namun ternyata, pada suatu hari Nyi Widuri bertemu laki - laki yang terluka dan diperutnya tertancap keris, karena rasa kemanusiaan maka Nyi Widuri merawatnya hingga sembuh, namun setelah laki - laki itu pergi, ia meninggalkan keris yang sebelumnya tertancap diperutnya.

Ketika sang suami kembali dari perang maka ia terkejut melihat gelas bekas diminum seseorang, kemudian sang suami bertanya dan Nyi Widuri beralasan bahwa yang meminumnya adalah seorang nelayan. Sang suami tak percaya dengan alasan Nyi Widuri, pada akhirnya Nyi Widuri memberanikan diri menusukan keris ke tubuhnya sebagai lambang kesetiaan kepada sang suami, sebelumnya Ia berkata jika darah yang keluar berwarna merah, maka ia telah menepati janjinya, tetapi jika darah yang keluar berwarna biru, maka ia telah mengingkari janjinya.

Ketika itu darah yang keluar dari tubuh Nyi Widuri berwarna biru dan darah tersebut membasahi kembang widuri yang berada di meja, akhirnya Nyi Widuri tewas bersimba darah biru yang juga mengenai bunga tersebut, sejak saat itu maka wilayah tersebut dinamai pantai Widuri.

Sosok wanita Widuri juga menjadi inspirasi bagi pencipta lagu "Widuri"yaitu lagu yang banyak disukai penggemar pop Indonesia sejak tahun 70-an hingga kini, lagu yang diciptakan oleh seseorang yang bernama 

Adriadie seorang lulusan STM (Sekolah Teknologi Menengah) di Semarang pada tahun 1970an yang ternyata lagu tersebut populer setelah dinyanyikan oleh Bob Tutupoly dengan lirik yang sangat familier bagi khalayak sejak tahun 70an dengan lirik sebagai berikut 

Di suatu senja di musim yang lalu

Ketika itu hujan rintik

Terpukau aku menatap wajahmu

Di remang cahaya sinar pelangi

Lalu engkau tersenyum

Ku menyesali diri

Tak tahu apakah arti senyummu

Dengan mengusap titik airmata

Engkau bisikkan deritamu

Tersentuh hati dalam keharuan

Setelah tahu apa yang terjadi

Sekian lamanya engkau

Hidup seorang diri

Ku ingin membalut luka hatimu

Widuri

Elok bagai rembulan, sayang

Widuri

Indah bagai lukisan

Widuri

Bukalah pintu hati untukku

Widuri

Ku akan menyayangi

Lalu engkau tersenyum

Ku menyesali diri

Tak tahu apakah arti senyummu

Dengan mengusap titik air mata

Engkau bisikkan deritamu

Tersentuh hati dalam keharuan

Setelah tau apa yang terjadi

Sekian lamanya daku hidup seorang diri

Kau ingin engkau membalut luka hatiku

Widuri

Elok bagai rembulan sayang

Widuri

Indah bagai lukisan

Widuri

Bukalah pintu hati untukku

Widuri

Ku akan menyayangi

Widuri, Oh Widuri

Widuri

Duduk menekur diri di Pantai Widuri diantara cakrawala berarak maka adalah pengembaraan batin yang menampar kesadaran tentang kita sebagai manusia, kita sebagai tajali semesta, karena kita sebagai manusia di dalamnya punya citra-citra ilahiah yang imajinasi dan daya kreatifitasnya adalah ilahiyah, sehingga dengan citra ini manusia membawa cahaya Tuhan kemanapun melangkah, dan dengan cahaya Tuhan di jiwanya maka manusia dapat menjadi rahmat bagi semesta alam. 

Malam di Pantai Widuri aku lupa cara tertawa.

-------------------------------------------------------------------------

* Catatan dalam ketermenungan malam di Pantai Widuri, Pemalang, Jawa Tengah. 30 September 2021. 04.00 WIB.


*Referensi Nagasasra dan Sabuk Inten Jilid 29 dari 29 karya Singgih Hadi Mintardja.

*Wikipedia.


** Penulis adalah pemerhati budaya dan sejarah sehari hari tinggal di desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HUT SUARAKPK Ke 9 (2018)