BANTUL, suarakpk.com – Setiap tahunnya pada musim pendaftaran siswa baru (PPDB) orangtua harus menyiapkan sejumlah uang untuk pendaftaran anaknya dan pembelian atribut sekolah. Setiap sekolah jumlah uang yang harus disetorkan bervariasi, ada yang bersifat wajib, uang sumbangan ataupun kesepakatan.
Padahal sudah sangat jelas pengaturan hukumnya bahwa penyelenggaraan sekolah negeri menjadi tanggungjawab sepenuhnya pemerintah meskipun memberikan ruang partisipasi masyarakat. Maraknya pungutan di sekolah yang dibebankan pada orangtua murid sudah menjadi rahasia umum sepanjang masa studi anaknya.
Kebanyakan orangtua tidak memahami pungutan-pungutan tersebut dan cenderung menuruti saja, bagi bekemampuan ekonomi cukup tidak akan mempersoalkannya, tetapi menjadi persoalan bagi keluarga yang kurang/tidak mampu pungutan-pungutan itu sangat membebani. Seandainyapun ada orangtua merasa tidak nyaman atas pungutan itu, tetapi tidak berani mempertanyakan, karena takut anaknya akan mendapat masalah nanti disekolah. Ada juga yang harus terpaksa menurutinya karena sudah diputuskan dalam rapat pihak sekolah, komite dan orangtua.
Pintar-pintarnya pihak sekolah dan komite menggiring jalannya rapat mengadopsi konsep demokrasi langsung, untuk membuat keputusan dengan persetujuan mayoritas orangtua murid, sementara keberatan orangtua lainnya yang tidak setuju diabaikan begitu saja. Prinsip musyawarah untuk mufakat sebagai jati diri bangsa dalam kehidupan kebangsaan sudah tergerus dan makin pudar di sekolah sekalipun.
Mengacu pada Pungutan-pungutan di sekolah selalu melibatkan komite sekolah, pihak sekolah menjadikan komite sekolah sebagai regulator pungutan tersebut. Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah menegaskan, bahwa Komite Sekolah dilarang melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya. Jadi istilah uang komite sekolah yang ditarik dari orangtua siswa seharusnya tidak ada dan dapat digolongkan sebagai pungutan liar alias pungli.
Bahkan dalam pasal 12 disebutkan bawah Komite Sekolah, baik perseorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di Sekolah.
Sementara dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 17 tahun 2010 yang juga menegaskan bahwa pemerintah tidak dibolehkan menjual pakaian seragam ataupun bahan seragam.
Namun semua peraturan tersebut di atas, diduga telah diabaikan oleh Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 3 Pandak, Kabupaten Bantul, DIY.
Sebagaimana informasi yang berhasil dihimpun di lapangan, Senin (16-08-2021), diduga SMPN 3 Pandak mewajibkan peserta didik membeli seragam sekolah senilai Rp.1.300.000 pada wali murid barunya.
Sebagaimana dituturkan salah satu Orangtua Murid, Ns (36) saat dikonfirmasi di rumahnya, Selasa (17-08-2021), mengaku keberatan dengan adanya kewajiban membeli seragam senilai Rp 1.300.000, dia mengatakan jika pembayaran dan pengambilan seragam dikoordinir oleh oknum guru di sekolahan tersebut, namun pengambilnya di salah satu kios penjahit yang notabene milik oknum guru tersebut.
Ns mengungkapkan, bahwa dirinya sangat terbebani, pasalnya, saat musim pandemi dengan diberlakukannya PPKM ini, suaminya diberhentikan dari kerjanya dan sekarang kerja serabutan.
"Saya sangat berat saat membayar uang seragam Rp.1.300.000, untuk hidup saja pas pasan, jadi harus cari pinjaman kanan kiri untuk bisa mendapatkan uang segitu, sedangkan suami masih belum tentu kerjanya," tutur Ns.
Terpisah, saat awak media mencoba mendatangi kios yang disebut untuk pembagian seragam, diperoleh informasi, kios dimaksudkan membenarkan apa yang diungkapkan Ns, pemilik kios jahit berdalih, bhawa kios tersebut hanya dipinjam tempatnya, semua yang atur oknum guru SMPN 3 Pandak bernama Yuni.
Dikatakannya, bahwa kios yang ia tempati benar milik Yuni, namun sudah di kontrakan pada dirinya.
"Maaf kami tidak tahu menahu terkait seragam, kios ini cuma dipinjam untuk bagi seragam oleh bu Yuni, memang kios ini miliknya, namun saat ini kami kontrak, terkait seragam semua yang atur bu Yuni," jelas penjahit di kios tersebut.
Saat media akan mengkonfirmasi, oknum guru SMPN 3 Pandak bernama Yuni, dikabarkan, dirinya belum dapat ditemui untuk memberikan konfirmasi, sebab Yuni bersama keluarga sedang isolasi mandiri karena salah satu keluarga ada yang terpapar covid.
Disisi lain, Koordinator Bidang Kurikulum SMPN 3 Pandak, Reni Febinawati M.Pd saat dikonfirmasi di ruang kepala sekolah, Rabu (18/8/2021), berdalih bahwa dirinya tidak tahu secara detail terkait proses pengadaan seragam.
Dikatakan Reni, bahwa pengadaan seragam di SMPN 3 Pandak sudah ada pokja sendiri yang mengatur, dan pokja tersebut berkomposisi dari guru, komite dan wali murid.
"Saya kurang begitu faham, namun terkait pengadaan seragam sudah diatur oleh pokjanya, ini kebetulan untuk yang bersangkutan sedang off dan Kepala Sekolah juga belum datang, saya tidak bisa memberi informasi lebih, nanti kami komunikasikan dengan yang bersangkutan," dalih Reni.
Terpisah, Plt Kepala Sekolah SMPN 3 Pandak, Sugiyanto M.Pd dalam acara audensi atau tanya jawab dengan awak media di gedung aula sekolah, Kamis (19-08-2021), mengatakan, bahwa dirinya tidak ikut campur dalam proses pengadaan seragam.
“Semua sudah sesuai dengan intruksi Kadis Dikpora Bantul, dan itu juga sudah disampaikan pada seluruh guru di sekolah tersebut,” katanya.
Sementara, Ketua Komite Sekolah SMPN 3 Pandak, Tri Heriyanto dalam acara tersebut mengaku, bahwa komite hanya sebagai jembatan antara wali murid dan pihak sekolah, namun terkait pengadaan seragam, dirinya mengungkapkan, bahwa semua sesuai hasil musyawarah mufakat serta tidak ada paksaan untuk walimurid membeli.
“Namun untuk sosialisasi memang dilakukan di lingkup sekolah, dan dalam sosialisasi sudah di putuskan ada perwakilan wali murid yang mengurusnya,” ungkap Tri Heriyanto juga seorang Kepala Sekolah di salah satu SMPN di Banguntapan Bantul.
Di kesempatan yang sama, 2 perwakilan wali murid menyampaikan pernyataan yang kontradiktif dengan keterangan pemilik kios, menurut mereka segala sesuatu terkait pengadaan seragam mereka semua yang menghandel.
Sementara muncul pernyataan lain dari Hasan yang mengaku sebagai guru yang mengurusi bidang kesiswaan, bahwa terkait pengadaan seragam pihak sekolah sudah sesuai aturan, bahkan dirinya justru berusaha mengadu domba awak media suarakpk.com dan Djogja news cakra dengan media Kedaulatan Rakyat, seolah pengadaan seragam yang memberatkan orangtua murid dibackup oleh oknum media yang disebutkan Hasan. Bahkan Hasan terkesan merendahkan martabat media lain di luar media KR. Dirinya menilai hanya media selain KR hanya media abal-abal semata.
Hingga berita ini ditayangkan, surakpk.com belum berhasil mengkonfirmasi oknum wartawan yang disebutkan Hasan. Selain itu, surakpk.com juga belum berhasil menkonfirmasi Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bantul. Tunggu hasil penelusuran selanjutnya. (Tim/Sgt/red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar