![]() |
| Ilustrasi penyandang disabilitas/ Doc. Wirausaha Brilian (BRI) |
Oleh: Echisaputritama Tanduk Langi
Suarakpk.com,
OPINI- Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat menjadi
sarana bagi masyarakat untuk mempermudah setiap kegiatan yang dilakukan.
Kepentingan atau fasilitas publik merupakan hal yang paling mendasar dalam satu
negara. Pemerintah harus memfasilitasi akses dan infrastruktur untuk menunjang
mobilitas bagi seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali penyandang
disabilitas.
Kebijakan
teknologi yang menjadi solusi bagi publik dapat dilihat dari pengembangan smart
city, yang hadir untuk memenuhi identitas kota yang layak huni, aman, maju
dalam segala bidang yang berbasis teknologi dan IT (Ambarwati, Syadikah &
Kusumawiranti, 2020). Tujuan implementasi Smart City untuk mempermudah
akses publik. Undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
menyatakan penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensori dalam jangka waktu
lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan
kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara
lainnya berdasarkan kesamaan hak (Prestianta, Mardjanto & Ignatius, 2018).
Peraturan negara
menyebutkan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan
masyarakat yang normal, termasuk dalam akses teknologi transportasi maupun
komunikasi. Mereka juga memiliki hak yang dijamin oleh hukum, sudah selayaknya
pemerintah memberikan akses khusus yang lebih baik untuk kelompok disabilitas.
Akses yang
dimaksudkan seperti transportasi atau alat-alat yang ditujukan untuk publik
tetapi ramah terhadap penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas di
Indonesia tercatat sebanyak 150.000 orang atau 15% dari populasi penduduk
(Syafi’ie, 2014). Akses bagi penyandang disabilitas, Indonesia telah memiliki
regulasi nasional, diantaranya Permen PU No. 30 Tahun 2006 (Syafi’ie, 2014).
Penyandang disabilitas kerap kali mengalami diskriminasi karena keterbatasan
fisiknya, namun dari kasus tersebut masyarakat normal seharusnya memberikan
ruang lebih bagi mereka, harus menerima perlakuan khusus (Karim, 2017).
Makassar merupakan
salah satu daerah yang memiliki kebijakan dalam bentuk Perda yang mengatur
tentang hak penyandang disabilitas. Pemerintah Makassar mengeluarkan Peraturan
Daerah No. 6 Tahun 2013 tentang Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas di
kota Makassar yang menjamin kesamaan dan kesempatan dalam bidang pendidikan,
kesehatan, olahraga, seni budaya, ketenagakerjaan, pelayanan umum, politik,
bantuan hukum dan informasi (Karim, 2017). Pemerintah juga memberikan fasilitas
penunjang lainnya, seperti pada sarana transportasi dan ruang publik yang
sesuai dengan penyandang disabilitas.
Tahun 2017
penyandang disabilitas di Kota Makassar tercatat sebanyak 1.715 orang, yang
kebanyakan menggantungkan hidup dengan menjadi pengemis dan pedagang kaki lima
(Karim, 2017).
“Kemajuan teknologi harus menjadi sarana untuk mendapatkan fasilitas yang menunjang aktivitas mereka, namun hampir di seluruh daerah Indonesia masyarakat belum menyadari betapa pentingnya akses bagi penyandang disabilitas”.
Pemerintah sudah
memberikan fasilitas khusus seperti kursi prioritas bagi penyandang disabilitas
di beberapa transportasi publik, atau jalan yang sesuai dengan tuna netra
melalui guiding block. Masalah
lain yang timbul adalah terkadang pembangunan fasilitas tersebut tidak sesuai
dengan aturan yang berlaku atau sekedar mengikuti perintah menyediakan akses
penyandang disabilitas saja. Hal tersebut menyebabkan akses tidak dapat
digunakan meskipun telah tersedia.
Anggota DPRD Kota
Makassar Shinta Mashita Molina, menyebutkan bahwa fasilitas publik yang ada di
Makassar yang dianggap belum ramah terhadap penyandang disabilitas (Muin,
2018). Artikel jurnal juga menuliskan salah satu fasilitas publik di Makassar
merupakan tempat ibadah, namun fasilitas yang ada belum ramah bagi penyandang
difabel, tidak adanya penyediaan fasilitas tempat wudhu, kamar mandi/wc, dan
kelengkapan lainnya (Rahayu, 2018).
Pemerintah telah
memberikan beberapa akses khusus bagi penyandang disabilitas, tetapi meskipun
kota sudah menjalankan konsep smart city, masyarakatnya belum menjadi smart
people.
“Masyarakat belum menyadari betapa pentingnya akses tersebut bagi kelompok minoritas, sehingga terkadang di tempat publik hak mereka tidak diperhatikan. Contohnya saja menggunakan kursi-kursi prioritas dalam transportasi publik, berjualan disepanjang trotoar yang memiliki guiding block”.
Echisaputritama Tanduk Langi | Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta



Tidak ada komentar:
Posting Komentar