SIRAH MAQOSIDANA (Sambung Ruh Ulama Nusantara) KH. MAHFUDH SALAM
Diantara gugusan 5 gunung yaitu Gunung Merbabu, Gunung Andong, Gunung Telomoyo dan Gunung Ungaran serta cekungan berbentuk danau alami nan menawan Rowo pening sebagai bentangan alam yang mengelilingi maka banyak sekali terserak kisah kisah patriotik di bumi Ambarawa.
Ambarawa yang kini masuk wilayah kabupaten Semarang sejak dahulu sudah menjadi sangat melegenda karena di Ambarawa dahulu telah berlangsung kisah kisah patriotik melawan penjajahan, tercatat mulai tanggal pada 11 - 15 Desember 1945 telah terjadi pertempuran sengit antara para Pejuang dengan tentara sekutu yang diboncengi oleh Belanda, yang diawali pada tanggal 20 Oktober 1945 tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell justru mempersenjatai para tawanan yang dibebaskan, hal inilah yang kemudian memicu pertempuran sengit selama empat hari berturut turut yang dimenangkan oleh para pejuang dibawah pimpinan Panglima besar Jendral Sudirman, hal tersebut kemudian diabadikan dalam Monumen Palagan Ambarawa.
Konon di Ambarawa pada 21 Mei 1873 dibangun stasiun kereta api yang bernama stasiun Williem yang jejaknya hingga kini masih tersisa melalui adanya museum Kereta Api dan tidak jauh dari lokasi ini maka terdapat bangunan benteng peninggalan kolonial Belanda yang bernama Benteng Wiliem I atau oleh masyarakat sekitar disebut Benteng Pendem.
Dalam catatan sejarah maka benteng ini dibangun pada tahun 1834 ini yang pembangunannya tidak bisa dipisahkan dengan pembangunan stasiun kereta api dengan nama yang sama. Konon diceritakan jika benteng ini pernah menjadi markas dan gudang logistik Belanda terbesar di Jawa Tengah dan sewaktu Jepang datang benteng ini sempat diambil alih juga sebagai kamp militer yang dikisahkan jika Ambarawa merupakan lokasi penguburan bagi lebih 15.000 orang eropa telah dilakukan oleh kamp militer Jepang.
Dari berbagai catatan ini maka kemudian akan sampai pada terbukanya cakrawala kisah tentang salah satu Pahlawan yang berasal dari geniun jaringan pesantren, ulama dan santri, dimana kisah ini nyaris tak tertulis dalam catatan sejarah mainstream.
Kisah patriotisme itu bertolak dari sisi luar tembok Benteng Pendem yang terdapat makam pahlawan sekaligus Ulama yaitu KH. Mahfudh Salam. Makam yang terletak di bagian belakang Benteng Willem I baru beberapa tahun terakhir ini diketahui, karena sebelumnya hanya semacam gundukan tanah kecil diantara genangan air sawah yang ditumbuhi tanaman padi dan rerumputan liar.
Benteng Willem I pada saat ini merupakan situs bangunan yang berdiri diatas tanah milik Negara melalui penguasaan otoritas militer Kodam Diponegoro, disekeliling Benteng adalah bangunan barak militer dan sebagain bangunan dipergunakan untuk Lembaga Pemasyarakatan Masyarakat (LP) kelas 1 A Ambarawa, selebihnya tanah disekeliling merupakan tanah persawahan, sehingga tidak heran jika kemudian Makam Pahlawan Ulama KH. Mahfudh Salam hanya berupa gundukan tanah diantara air persawahan.
Untuk memasuki lokasi makam KH. Mahfudh Salam maka bisa melalui pintu gerbang komplek Batalyon Kavaleri atau lewat salah satu sudut jalan dibelakang Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ambarawa, yang secara persis lokasi ini beralamat di Benteng Pendem Desa Lodoyong, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang.
Lokasi makam tepat dibelakang tembok benteng Willem 1 sebelah utara diantara pintu benteng belakang menuju jalan ke RSUD Ambarawa, kondisi makam pada saat ini melalui seijin dan sepengetahuan dari otoritas militer Kodam Diponegoro dan Dzuriah KH. Mahfudh Salam, maka telah terbangun dengan bangunan cungkup semi permanen diantara jejeran tanaman bunga dengan taman kecil nan asri yang mengelilingi area seluas kurang lebih 7 x 10 meter persegi.
Pemugaran makam KH. Mahfudh Salam ini dilakukan oleh Bapak H. Djundan Setiawan mantan Kepala Kelurahan Lodoyong, Kec. Ambarawa yang juga merupakan bendahara MWCNU Ambarawa yang dibantu tenaga oleh sahabat sahabat Ansor - Banser PAC. Ambarawa dan sekitarnya.
Diantara keangkuhan tembok tebal benteng Willem I maka tersirat keulamaan dan kepahlawanan KH. Mahfudh Salam semasa hidup yang dikisahkan beliau meninggal dunia sebagai tahanan Belanda yang diambil alih Jepang pada Jumat tanggal 4 Robi'ul Awwal tahun 1364 H yang bertepatan dengan tanggal 17 Febuari 1945 M atau 4 bulan sebelum proklamasi dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1954, KH. Mahfudh Salam adalah ulama dan Pahlawan yang meninggal dunia dalam usia yang relatif muda yaitu sekitar 45 tahun dan dimakamkan dengan keadaan yang seadanya di balik tembok tebal benteng Willem I Ambarawa.
Dikisahkan KH. Mahfudh Salam ditahan di Penjara dalam Benteng Willem I oleh opsir Belanda karena menyerahkan diri setelah berlangsung serangkaian kisah dramatis tentang kelicikan Belanda yang telah menangkap, menahan, menyandera dan menyiksa tiga orang ulama besar dari Kajen, Pati yaitu KH. Abdussalam, KH. Nawawi dan KH. Muhtar, ketiga ulama ini konon diceritakan telah disiksa sangat keji oleh Belanda di dalam Tahanan di Pati dimana ketiganya setiap hari dijemur dibawah terik matahari dengan posisi terlentang beralaskan seng dengan posisi menghadap matahari selain juga dibiarkan dengan kondisi kelaparan tanpa cakupan makanan yang layak.
KH. Abdussalam adalah ayah kandung dari pada KH. Mahfudh Salam, sedangkan KH. Nawawi dan KH. Muhtar juga merupakan saudara yang ketiga tiganya merupakan guru sekaligus para ulama yang sangat dihormati oleh Masyarakat Pati dan sekitarnya waktu itu, demi mendengar berita ketiga ulama tersebut ditangkap, ditahan, disiksa sekaligus dijadikan sandera maka kemudian memunculkan sikap Ksatria dalam diri KH. Mahfudh Salam untuk menyerahkan diri sebagai pengganti ketiga Ulama tersebut.
Diceritakan jika KH. Mahfudh Salam menjadi buronan Belanda selama beberapa tahun sebelumnya karena berbagai tindakannya yang telah membuat kewalahan otoritas kolonial penjajah, yang dikisahkan KH. Mahfudh Salam sebagai seorang Kyai dengan dasar keagamaan telah melebur dengan sikap nasionalisme yang kuat, maka beliau konsisten melakukan gerakan melawan pemerintahan kolonial Belanda.
Sejak tahun 1940an Pemerintahanan kolonial Belanda sudah mulai melemah yang seiring dengan masuknya militer Jepang, Kajen Pati pada waktu itu dikenal sebagai salah satu basis perlawanan yang dimotori oleh para ulama dan KH. Mahfud Salam sebagai ulama muda merupakan salah satu tokoh diantaranya yang selalu diawasi setiap gerak geriknya, karena beliau adalah salah satu penggerak perlawanan sekaligus komando di lapangan.
Menjelang kekalahan kolonial Belanda atas Jepang maka situasi politik dan keamanan wilayah semakin tidak menentu, situasi ini dimanfaatkan oleh KH. Mahfudh Salam yaitu pada tahun 1942 melakukan gerakan perlawanan dengan cara memobilisasi rakyat untuk membakar Rumah Sakit Kristen (RSK) Tayu, yang oleh Belanda rumah sakit tersebut juga difungsikan sebagai simbol kekuatan kolonialisme disatu sisi dan simbol misi zending disisi lain, sehingga cukup beralasan jika Rumah Sakit tersebut menjadi sasaran pertama untuk dibakar.
Dengan tehnik gerilya maka KH. Mahfudh Salam masih melanjutkan perjuangan dan setelah berhasil membakar simbol kekuatan Belanda, maka kemudian beliau merebut kantor pengadaian
yang dikuasai Belanda di Desa Bulu Manis lantas membagi bagikan seluruh harta benda hasil jarahannya tersebut kepada rakyat sekitar hal ini didasari karena sebelumnya beliau sudah memprediksi jika Jepang masuk maka pasti akan menjarah harta dan kekayaan rakyat dan prediksi itu benar yaitu ketika Jepang masuk maka nyatanya justru merampok harta benda rakyat.
Setelah berhasil menguasai Pengadaian maka KH. Mahfudh Salam beserta jaringanya berencana membakar Rumah Sakit Kristen yang berada di Keling Jepara, namun aksi itu gagal karena kalah dalam persenjataan sehingga dapat dengan mudah dipatahkan Belanda.
Sejak insiden insiden tersebut maka KH. Mahfudh Salam benar benar menjadi buronan tentara Belanda dan dicap sebagai ekstrimis yang berbahaya, merasa menjadi orang paling dicari Belanda maka beliau mengungsi untuk bersembunyi bersama ketiga santrinya di daerah Sendang Senori Bojonegoro, Jawa Timur tempat ini dipilih sebab masyarakatnya kuat, militan, solid dan bertanggung jawab serta dikenal sebagai kawasan yang brutal sehingga dirasa sebagai tempat yang cukup aman untuk bersembunyi sekaligus terlindungi yang dikisahkan kemanapun beliau pergi maka akan
selalu dikawal.
Untuk beberapa lama Belanda yang kesulitan menangkap KH.Mahfudh Salam hingga akhirnya Belanda bersiasat licik dengan menangkap, menahan, menyiksa dan menyandera orang tua, guru sekaligus tokoh Ulama Kajen yang membuat KH. Mahfudh Salam harus menyerahkan diri sebagaima penjelasan tersebut diatas.
Syahdan dikisahkan dalam upaya penyerahan diri maka sebelum sampai di Pati, tepatnya di stasiun Bangilan, KH. Mahfudh Salam ditangkap serdadu Belanda yang waktu itu sedang beroperasi yang diawali dengan insiden perlawanan yaitu kedua sahabat sekaligus Santri beliau secara gagah berani melawan serdadu Belanda untuk melindungi KH. Mahfudh Salam yang dikisahkan Kyai Abdul Jabbar dan Kyai Musthofa saling berebut menjadi tameng atas berondongan peluru peluru tajam yang dilesakkan dari senapan senapan serdadu Belanda, namun dari sekian banyak berondongan peluru peluru tersebut tidak membuat roboh kedua Kyai setia pengawal KH. Maghfud Salam selain kemudian Kyai Musthofa Sahid roboh bersimbah darah dan Sahid sebagai syuhada Bangsa setelah rentetan panjang timah panas menembus kulitnya, sedangkan Kyai Abdul Jabar hanya terluka dan baru beberapa lama kemudian menyusul meninggal Sahid karena sakit.
Kisah kedigdayaan pengawal setia KH. Mahfudh Salam menjadi pengalaman yang menakutkan bagi serdadu Belanda, karenanya selama didalam tahanan KH. Mahfudh Salam benar benar mendapatkan pengawalan dan pengawasan yang sangat ketat, namun demikian selama di penjara selama kurang lebih 3 tahun beliau dikisahkan memiliki murid murid yang berasal dari sesama tahanan yang dari sana selain mengajarkan ilmu agama beliau juga mengobarkan semangat nasionalisme hal inilah yang memicu adanya penyiksaan terhadap beliau hingga pada akhirnya meninggal secara Syahid sebagai Pahlawan Kusuma Bangsa didalam penjara.
Dari berbagai sumber terhimpun kisah jika sebelum KH. Mahfudd Salam dipenjara didalam Benteng Willem I Ambarawa juga ada tahanan lain yang berasal dari jejaring Pesantren Kyai, Santri yang ditangkap serdadu Belanda dari beberapa daerah di sepanjang pantura mulai dari Tuban, Rembang, Pati, Kudus maupun Jepara bahkan kisah tragis dan pilu diceritakan jika ada beberapa tahanan tersebut diseret menggunakan mobil untuk dibawa menuju Penjara Benteng Ambarawa dan rata rata mereka tetap sehat untuk menjalani kehidupan sebagai tahanan meskipun beberapa diantaranya kalau tidak meninggal didalam penjara maka dipisahkan untuk dikirim ke rutan di Nusakambangan sebuah pulau kecil di Samudra Hindia (Segoro Kidul) yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.
Bertolak dari berbagai kisah tersebut maka dalam kajian dengan metodologi bathiniyah dengan pendekatan Biosilogisme maka beberapa Kyai dari Salatiga dengan memohon pertolongan dari Allah SWT Yang Maha Tahu menemukan analisa dengan menduga jika di sekitar area makam KH. Mahfudh Salam atau sekurang kurangnya di balik tembok kokoh luar Benteng Willem I masih terdapat makbaroh para ulama patriotisme yang belum secara kasat mata terbuka identitas maupun presisi letak makbarohnya. Bahkan melalui medium spritual seorang Kyai menyampaikan jika diarea tersebut terdapat makbaroh Waliullah yang memiliki keistimewaan yang diduga dahulu merupakan tahanan yang berasal dari wilayah antara berasal dari Tuban, Rembang dan Pati, Wallahu a'lam bishawab semoga dengan pertolongan Allah SWT dapat selekasnya menunjukan bila sudah waktunya.
Menurut catatan dari Dzuriah maka KH. Mahfudh Salam lahir di Kajen kira-kira pada tahun 1319 H/1899 M yang merupakan anak kandung dari KH. Abdussalam dan Nyai Hj. Sumirah dan merupakan saudara kandung dari Nyai Hj. Aisyah (istri KH Kholil Mansur Lasem), KH. Abdullah Zen Salam dan KH. Ali Mukhtar.
Diruntut nasabnya sampai keatas maka KH. Mahfudh Salam adalah keturunan Syech Ahmad Mutamakin yang dapat terlacak secara berurutan nasab dari jalur ayah, yaitu KH. Mahfudh Salam bin KH. Abdussalam bin KH.Abdullah bin Nyai Mutiroh binti KH. Bunyamin bin Nyai Toyyibah binti Kyai Muhammad Hedro Kusumo bin Syech KH. Ahmad Mutamakkin.
Adapun Syech Ahmad Mutamakkin atau Ki Sumohadiwijaya merupakan putra Pangeran Benawa II (Raden Sumohadinegoro) bin Pangeran Benawa I (Raden Hadiningrat) bin Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Ki Ageng Pengging bin Ratu Pembayun binti Prabu Brawijaya V.
Dengan demikian secara nasab KH. Mahfudh Salam bergaris nasab Bangsawan sekaligus Ulama, karenanya tak heran jika kemudian semasa hidup beliau sangat mencintai negeri ini dengan melakukan perlawanan nyata terhadap kedzaliman kolonial penjajah, sikap patriotisme beliau memang cukup beralasan jika ditinjau dari sanad keilmuan yang beliau miliki, dikisahkan sejak kecil beliau diasuh dan dididik secara langsung oleh ayahandanya yaitu KH. Abdussalam, memasuki usia remaja kemudian hijrah untuk belajar di Mekkah hingga berlangsung antara 4-7 tahun beliau berguru dengan ulama-ulama terkemuka, diantaranya adalah Sayyid Alawi al-Maliki dan K.H. M. Subakir bin Nur berasal dari Jogyakarta yang telah mukim di kota Mekkah sebagaimana ulama-ulama
Nusantara lainnya.
Sekitar tahun 1343 H/1925 M tepat sebelum revolusi politik di Arab bergejolak hingga membawa pemerintahan Arab Saudi menjadi pemerintahan yang dikuasai kelompok Wahabi sampai sekarang, maka KH. Mahfudh Salam muda memutuskan untuk kembali ke tanah air dan langsung dinikahkan dengan NyaiBadi’ah dan baru beberapa hari menikah ternyata KH. Mahfudh Salam melanjutkan pengembaraan mencari ilmu dan meninggalkan istrinya untuk nyantri di Ponpes Tebu Ireng yang pada waktu itu diasuh oleh ulama besar dan terkemuka, yaitu Hadratusyech Hasyim Asy’ari untuk memperdalam ilmu hadist dan fiqih mengembangkan ilmu yang didapat dari KH. M. Subakir bin Nur.
Tidak berselang lama belajar beliau justru diberi amanah untuk mengajar diantara murid-murid beliau adalah KH. Suyuti Guyangan dan KH. Fatah Hasyim yang kemudian menjadi mertua KH.Sahal Mahfudh yang merupakan anak kandung KH. Mahfudh Salam.
Diriwayatkan setelah di Tebu Ireng maka KH. Mahfudh Salam melanjutkan pengembaraan ilmu dengan berguru pada KH. Ma'sum(penulis kitab Tasrifan dan ilmu shorof) di Kwaron Jombang Jawa Timur selama kurang lebih tiga tahun dan dari sinilah pada tahun 1928 M beliau mengakhiri
perjalanan panjangnya mencari ilmu sebelum menetap dan hidup bersama istrinya di desa Kajen Pati dan memiliki 2 orang anak yang kemudian dikenal sebagai KH. Hasyim Maghfud dan KH.Sahal Mahgfud, di Kajen Pati beliau mengabdikan ilmunya dengan mengembangkan Madrasah Mathali’ul Falah peninggalan ayahandanya dan disela-sela kesibukannya mengajar di Pondok Pesanten, beliau sempat mengarang beberapa kitab, yaitu Qowa’idul I’rob, Nadhom Mukhtar Fi al-Ilmi al-Lughoh, Mandhumatu al-Waraqat dan Faroid al-I’rob Fi Ma’anil al-Ahraf, namun kitab kitab tersebut pada waktu itu tidak terhimpun secara utuh sehingga saat ini tidak terdokumentasi secara baik sebagai sebuah karya yang berharga.
Dikisahkan KH. Mahfudh Salam selama dalam penjara di Balik tembok kokoh Benteng Willem I Ambarawa maka beliau sempat menulis surat wasiat kepada dua orang saudara sekaligus muridnya, yaitu KH. Abdullah Zen Salam dan KH. Muhammadun Abdul Hadi yang pada intinya beliau menitipkan putra-putranya, yaitu KH. Hasyim Maghfud dan KH.Sahal Mahgfud agar dibimbing, namun sayangnya beberapa tahun kemudian KH. Hasyim mati syahid tertembak oleh Belanda di Sukolilo Pati.
Berdasarkan secuil kisah kisah terserak yang nyaris terkubur rapat diantara genangan air sawah dan rerumputan liar sehingga tidak ditemukan dalam penulisan sejarah mainstream tersebut diatas maka kita bisa banyak belajar dengan mengambil hikmah sedalam dalamnya atas jasa jasa para syuhada yang sepanjang hidupnya berkhidmad untuk kemaslahatan umat, agama, bangsa dan negara yang meskipun titian partriotisme mereka telah terkubur bersama dengan jasad yang yang terkandung diantara Muqarobah berupa gundukan gundukan tanah yang menyembul diantara aliran air sawah dan rerumputan liar dibalik arogansi tembok kokoh Benteng Willem I Ambarawa yang menyimpan misteri yang lindap bersama ruh para syahid yang nyaris dilupakan oleh generasi sekarang dalam catatan sejarah.
........................................
Malam beringsut dengan tata warna terang bulan yang menyinari lumut lumut tertoreh bersama tanaman liar yang tumbuh disepanjang tembok kokoh nan arogan Benteng Willem I Ambarawa. Bunyi jangkrik dan kodok saling bersahutan menciptakan harmoni alam diantara desing lantunan dzikir, tahmid dan tahlil yang mengalun konstan diantara rongga rongga menimbulkan energi dalam pengembaraan spritual mencari Ridlo Sang Pencipta dengan unggingan doa tercurah semoga Sang Maha Khalik mengangjar para Aulia Kusuma Bangsa yang terkubur dibalik Tembok Benteng diberi tempat yang jauh lebih layak dari pada kenikmatan apapun di dunia ini.
Malam semakin larut bintang gumintang bergemerlapan bersama alunan doa yang diurai KH. Sonwasi Ridwan (Rois Syuriah PCNU Salatiga) mengiris qolbu dengan menyisakan haraf tak berkesudahan dalam satu waktu.
........................................
"..siapa, wahai
bikin kubur bagi segala cinta mengubah negeri
jadi mata air airmata
“cinta,” katamu, “yang kautumpas dari Jiwa!”
........................................
" Kuburan menjadi referensi yang dianggap penting untuk menggerakan hati manusia dalam mengingat firman-firman Allah khususnya kematian "**
........................................
Lahul Fatihah
Semoga bermanfaat
Wallahu a'lam bish-shawabi
Allah Mahatahu yang benar/yang sebenarnya.
Disari dari berbagai sumber dan Biografi maupun informasi berasal dari Dzuriah KH. Mahfudh Salam
Puisi ditulis M. Faizi yang berjudul “Suatu Malam Melintasi Kuburan”
@.Penulis adalah Ketua LPBHNU Kota Salatiga.
Oleh : @ Sofyan Mohammad
Diantara gugusan 5 gunung yaitu Gunung Merbabu, Gunung Andong, Gunung Telomoyo dan Gunung Ungaran serta cekungan berbentuk danau alami nan menawan Rowo pening sebagai bentangan alam yang mengelilingi maka banyak sekali terserak kisah kisah patriotik di bumi Ambarawa.
Ambarawa yang kini masuk wilayah kabupaten Semarang sejak dahulu sudah menjadi sangat melegenda karena di Ambarawa dahulu telah berlangsung kisah kisah patriotik melawan penjajahan, tercatat mulai tanggal pada 11 - 15 Desember 1945 telah terjadi pertempuran sengit antara para Pejuang dengan tentara sekutu yang diboncengi oleh Belanda, yang diawali pada tanggal 20 Oktober 1945 tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell justru mempersenjatai para tawanan yang dibebaskan, hal inilah yang kemudian memicu pertempuran sengit selama empat hari berturut turut yang dimenangkan oleh para pejuang dibawah pimpinan Panglima besar Jendral Sudirman, hal tersebut kemudian diabadikan dalam Monumen Palagan Ambarawa.
Konon di Ambarawa pada 21 Mei 1873 dibangun stasiun kereta api yang bernama stasiun Williem yang jejaknya hingga kini masih tersisa melalui adanya museum Kereta Api dan tidak jauh dari lokasi ini maka terdapat bangunan benteng peninggalan kolonial Belanda yang bernama Benteng Wiliem I atau oleh masyarakat sekitar disebut Benteng Pendem.
Dalam catatan sejarah maka benteng ini dibangun pada tahun 1834 ini yang pembangunannya tidak bisa dipisahkan dengan pembangunan stasiun kereta api dengan nama yang sama. Konon diceritakan jika benteng ini pernah menjadi markas dan gudang logistik Belanda terbesar di Jawa Tengah dan sewaktu Jepang datang benteng ini sempat diambil alih juga sebagai kamp militer yang dikisahkan jika Ambarawa merupakan lokasi penguburan bagi lebih 15.000 orang eropa telah dilakukan oleh kamp militer Jepang.
Dari berbagai catatan ini maka kemudian akan sampai pada terbukanya cakrawala kisah tentang salah satu Pahlawan yang berasal dari geniun jaringan pesantren, ulama dan santri, dimana kisah ini nyaris tak tertulis dalam catatan sejarah mainstream.
Kisah patriotisme itu bertolak dari sisi luar tembok Benteng Pendem yang terdapat makam pahlawan sekaligus Ulama yaitu KH. Mahfudh Salam. Makam yang terletak di bagian belakang Benteng Willem I baru beberapa tahun terakhir ini diketahui, karena sebelumnya hanya semacam gundukan tanah kecil diantara genangan air sawah yang ditumbuhi tanaman padi dan rerumputan liar.
Benteng Willem I pada saat ini merupakan situs bangunan yang berdiri diatas tanah milik Negara melalui penguasaan otoritas militer Kodam Diponegoro, disekeliling Benteng adalah bangunan barak militer dan sebagain bangunan dipergunakan untuk Lembaga Pemasyarakatan Masyarakat (LP) kelas 1 A Ambarawa, selebihnya tanah disekeliling merupakan tanah persawahan, sehingga tidak heran jika kemudian Makam Pahlawan Ulama KH. Mahfudh Salam hanya berupa gundukan tanah diantara air persawahan.
Untuk memasuki lokasi makam KH. Mahfudh Salam maka bisa melalui pintu gerbang komplek Batalyon Kavaleri atau lewat salah satu sudut jalan dibelakang Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ambarawa, yang secara persis lokasi ini beralamat di Benteng Pendem Desa Lodoyong, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang.
Lokasi makam tepat dibelakang tembok benteng Willem 1 sebelah utara diantara pintu benteng belakang menuju jalan ke RSUD Ambarawa, kondisi makam pada saat ini melalui seijin dan sepengetahuan dari otoritas militer Kodam Diponegoro dan Dzuriah KH. Mahfudh Salam, maka telah terbangun dengan bangunan cungkup semi permanen diantara jejeran tanaman bunga dengan taman kecil nan asri yang mengelilingi area seluas kurang lebih 7 x 10 meter persegi.
Pemugaran makam KH. Mahfudh Salam ini dilakukan oleh Bapak H. Djundan Setiawan mantan Kepala Kelurahan Lodoyong, Kec. Ambarawa yang juga merupakan bendahara MWCNU Ambarawa yang dibantu tenaga oleh sahabat sahabat Ansor - Banser PAC. Ambarawa dan sekitarnya.
Diantara keangkuhan tembok tebal benteng Willem I maka tersirat keulamaan dan kepahlawanan KH. Mahfudh Salam semasa hidup yang dikisahkan beliau meninggal dunia sebagai tahanan Belanda yang diambil alih Jepang pada Jumat tanggal 4 Robi'ul Awwal tahun 1364 H yang bertepatan dengan tanggal 17 Febuari 1945 M atau 4 bulan sebelum proklamasi dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1954, KH. Mahfudh Salam adalah ulama dan Pahlawan yang meninggal dunia dalam usia yang relatif muda yaitu sekitar 45 tahun dan dimakamkan dengan keadaan yang seadanya di balik tembok tebal benteng Willem I Ambarawa.
Dikisahkan KH. Mahfudh Salam ditahan di Penjara dalam Benteng Willem I oleh opsir Belanda karena menyerahkan diri setelah berlangsung serangkaian kisah dramatis tentang kelicikan Belanda yang telah menangkap, menahan, menyandera dan menyiksa tiga orang ulama besar dari Kajen, Pati yaitu KH. Abdussalam, KH. Nawawi dan KH. Muhtar, ketiga ulama ini konon diceritakan telah disiksa sangat keji oleh Belanda di dalam Tahanan di Pati dimana ketiganya setiap hari dijemur dibawah terik matahari dengan posisi terlentang beralaskan seng dengan posisi menghadap matahari selain juga dibiarkan dengan kondisi kelaparan tanpa cakupan makanan yang layak.
KH. Abdussalam adalah ayah kandung dari pada KH. Mahfudh Salam, sedangkan KH. Nawawi dan KH. Muhtar juga merupakan saudara yang ketiga tiganya merupakan guru sekaligus para ulama yang sangat dihormati oleh Masyarakat Pati dan sekitarnya waktu itu, demi mendengar berita ketiga ulama tersebut ditangkap, ditahan, disiksa sekaligus dijadikan sandera maka kemudian memunculkan sikap Ksatria dalam diri KH. Mahfudh Salam untuk menyerahkan diri sebagai pengganti ketiga Ulama tersebut.
Diceritakan jika KH. Mahfudh Salam menjadi buronan Belanda selama beberapa tahun sebelumnya karena berbagai tindakannya yang telah membuat kewalahan otoritas kolonial penjajah, yang dikisahkan KH. Mahfudh Salam sebagai seorang Kyai dengan dasar keagamaan telah melebur dengan sikap nasionalisme yang kuat, maka beliau konsisten melakukan gerakan melawan pemerintahan kolonial Belanda.
Sejak tahun 1940an Pemerintahanan kolonial Belanda sudah mulai melemah yang seiring dengan masuknya militer Jepang, Kajen Pati pada waktu itu dikenal sebagai salah satu basis perlawanan yang dimotori oleh para ulama dan KH. Mahfud Salam sebagai ulama muda merupakan salah satu tokoh diantaranya yang selalu diawasi setiap gerak geriknya, karena beliau adalah salah satu penggerak perlawanan sekaligus komando di lapangan.
Menjelang kekalahan kolonial Belanda atas Jepang maka situasi politik dan keamanan wilayah semakin tidak menentu, situasi ini dimanfaatkan oleh KH. Mahfudh Salam yaitu pada tahun 1942 melakukan gerakan perlawanan dengan cara memobilisasi rakyat untuk membakar Rumah Sakit Kristen (RSK) Tayu, yang oleh Belanda rumah sakit tersebut juga difungsikan sebagai simbol kekuatan kolonialisme disatu sisi dan simbol misi zending disisi lain, sehingga cukup beralasan jika Rumah Sakit tersebut menjadi sasaran pertama untuk dibakar.
Dengan tehnik gerilya maka KH. Mahfudh Salam masih melanjutkan perjuangan dan setelah berhasil membakar simbol kekuatan Belanda, maka kemudian beliau merebut kantor pengadaian
yang dikuasai Belanda di Desa Bulu Manis lantas membagi bagikan seluruh harta benda hasil jarahannya tersebut kepada rakyat sekitar hal ini didasari karena sebelumnya beliau sudah memprediksi jika Jepang masuk maka pasti akan menjarah harta dan kekayaan rakyat dan prediksi itu benar yaitu ketika Jepang masuk maka nyatanya justru merampok harta benda rakyat.
Setelah berhasil menguasai Pengadaian maka KH. Mahfudh Salam beserta jaringanya berencana membakar Rumah Sakit Kristen yang berada di Keling Jepara, namun aksi itu gagal karena kalah dalam persenjataan sehingga dapat dengan mudah dipatahkan Belanda.
Sejak insiden insiden tersebut maka KH. Mahfudh Salam benar benar menjadi buronan tentara Belanda dan dicap sebagai ekstrimis yang berbahaya, merasa menjadi orang paling dicari Belanda maka beliau mengungsi untuk bersembunyi bersama ketiga santrinya di daerah Sendang Senori Bojonegoro, Jawa Timur tempat ini dipilih sebab masyarakatnya kuat, militan, solid dan bertanggung jawab serta dikenal sebagai kawasan yang brutal sehingga dirasa sebagai tempat yang cukup aman untuk bersembunyi sekaligus terlindungi yang dikisahkan kemanapun beliau pergi maka akan
selalu dikawal.
Untuk beberapa lama Belanda yang kesulitan menangkap KH.Mahfudh Salam hingga akhirnya Belanda bersiasat licik dengan menangkap, menahan, menyiksa dan menyandera orang tua, guru sekaligus tokoh Ulama Kajen yang membuat KH. Mahfudh Salam harus menyerahkan diri sebagaima penjelasan tersebut diatas.
Syahdan dikisahkan dalam upaya penyerahan diri maka sebelum sampai di Pati, tepatnya di stasiun Bangilan, KH. Mahfudh Salam ditangkap serdadu Belanda yang waktu itu sedang beroperasi yang diawali dengan insiden perlawanan yaitu kedua sahabat sekaligus Santri beliau secara gagah berani melawan serdadu Belanda untuk melindungi KH. Mahfudh Salam yang dikisahkan Kyai Abdul Jabbar dan Kyai Musthofa saling berebut menjadi tameng atas berondongan peluru peluru tajam yang dilesakkan dari senapan senapan serdadu Belanda, namun dari sekian banyak berondongan peluru peluru tersebut tidak membuat roboh kedua Kyai setia pengawal KH. Maghfud Salam selain kemudian Kyai Musthofa Sahid roboh bersimbah darah dan Sahid sebagai syuhada Bangsa setelah rentetan panjang timah panas menembus kulitnya, sedangkan Kyai Abdul Jabar hanya terluka dan baru beberapa lama kemudian menyusul meninggal Sahid karena sakit.
Kisah kedigdayaan pengawal setia KH. Mahfudh Salam menjadi pengalaman yang menakutkan bagi serdadu Belanda, karenanya selama didalam tahanan KH. Mahfudh Salam benar benar mendapatkan pengawalan dan pengawasan yang sangat ketat, namun demikian selama di penjara selama kurang lebih 3 tahun beliau dikisahkan memiliki murid murid yang berasal dari sesama tahanan yang dari sana selain mengajarkan ilmu agama beliau juga mengobarkan semangat nasionalisme hal inilah yang memicu adanya penyiksaan terhadap beliau hingga pada akhirnya meninggal secara Syahid sebagai Pahlawan Kusuma Bangsa didalam penjara.
Dari berbagai sumber terhimpun kisah jika sebelum KH. Mahfudd Salam dipenjara didalam Benteng Willem I Ambarawa juga ada tahanan lain yang berasal dari jejaring Pesantren Kyai, Santri yang ditangkap serdadu Belanda dari beberapa daerah di sepanjang pantura mulai dari Tuban, Rembang, Pati, Kudus maupun Jepara bahkan kisah tragis dan pilu diceritakan jika ada beberapa tahanan tersebut diseret menggunakan mobil untuk dibawa menuju Penjara Benteng Ambarawa dan rata rata mereka tetap sehat untuk menjalani kehidupan sebagai tahanan meskipun beberapa diantaranya kalau tidak meninggal didalam penjara maka dipisahkan untuk dikirim ke rutan di Nusakambangan sebuah pulau kecil di Samudra Hindia (Segoro Kidul) yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.
Bertolak dari berbagai kisah tersebut maka dalam kajian dengan metodologi bathiniyah dengan pendekatan Biosilogisme maka beberapa Kyai dari Salatiga dengan memohon pertolongan dari Allah SWT Yang Maha Tahu menemukan analisa dengan menduga jika di sekitar area makam KH. Mahfudh Salam atau sekurang kurangnya di balik tembok kokoh luar Benteng Willem I masih terdapat makbaroh para ulama patriotisme yang belum secara kasat mata terbuka identitas maupun presisi letak makbarohnya. Bahkan melalui medium spritual seorang Kyai menyampaikan jika diarea tersebut terdapat makbaroh Waliullah yang memiliki keistimewaan yang diduga dahulu merupakan tahanan yang berasal dari wilayah antara berasal dari Tuban, Rembang dan Pati, Wallahu a'lam bishawab semoga dengan pertolongan Allah SWT dapat selekasnya menunjukan bila sudah waktunya.
Menurut catatan dari Dzuriah maka KH. Mahfudh Salam lahir di Kajen kira-kira pada tahun 1319 H/1899 M yang merupakan anak kandung dari KH. Abdussalam dan Nyai Hj. Sumirah dan merupakan saudara kandung dari Nyai Hj. Aisyah (istri KH Kholil Mansur Lasem), KH. Abdullah Zen Salam dan KH. Ali Mukhtar.
Diruntut nasabnya sampai keatas maka KH. Mahfudh Salam adalah keturunan Syech Ahmad Mutamakin yang dapat terlacak secara berurutan nasab dari jalur ayah, yaitu KH. Mahfudh Salam bin KH. Abdussalam bin KH.Abdullah bin Nyai Mutiroh binti KH. Bunyamin bin Nyai Toyyibah binti Kyai Muhammad Hedro Kusumo bin Syech KH. Ahmad Mutamakkin.
Adapun Syech Ahmad Mutamakkin atau Ki Sumohadiwijaya merupakan putra Pangeran Benawa II (Raden Sumohadinegoro) bin Pangeran Benawa I (Raden Hadiningrat) bin Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Ki Ageng Pengging bin Ratu Pembayun binti Prabu Brawijaya V.
Dengan demikian secara nasab KH. Mahfudh Salam bergaris nasab Bangsawan sekaligus Ulama, karenanya tak heran jika kemudian semasa hidup beliau sangat mencintai negeri ini dengan melakukan perlawanan nyata terhadap kedzaliman kolonial penjajah, sikap patriotisme beliau memang cukup beralasan jika ditinjau dari sanad keilmuan yang beliau miliki, dikisahkan sejak kecil beliau diasuh dan dididik secara langsung oleh ayahandanya yaitu KH. Abdussalam, memasuki usia remaja kemudian hijrah untuk belajar di Mekkah hingga berlangsung antara 4-7 tahun beliau berguru dengan ulama-ulama terkemuka, diantaranya adalah Sayyid Alawi al-Maliki dan K.H. M. Subakir bin Nur berasal dari Jogyakarta yang telah mukim di kota Mekkah sebagaimana ulama-ulama
Nusantara lainnya.
Sekitar tahun 1343 H/1925 M tepat sebelum revolusi politik di Arab bergejolak hingga membawa pemerintahan Arab Saudi menjadi pemerintahan yang dikuasai kelompok Wahabi sampai sekarang, maka KH. Mahfudh Salam muda memutuskan untuk kembali ke tanah air dan langsung dinikahkan dengan NyaiBadi’ah dan baru beberapa hari menikah ternyata KH. Mahfudh Salam melanjutkan pengembaraan mencari ilmu dan meninggalkan istrinya untuk nyantri di Ponpes Tebu Ireng yang pada waktu itu diasuh oleh ulama besar dan terkemuka, yaitu Hadratusyech Hasyim Asy’ari untuk memperdalam ilmu hadist dan fiqih mengembangkan ilmu yang didapat dari KH. M. Subakir bin Nur.
Tidak berselang lama belajar beliau justru diberi amanah untuk mengajar diantara murid-murid beliau adalah KH. Suyuti Guyangan dan KH. Fatah Hasyim yang kemudian menjadi mertua KH.Sahal Mahfudh yang merupakan anak kandung KH. Mahfudh Salam.
Diriwayatkan setelah di Tebu Ireng maka KH. Mahfudh Salam melanjutkan pengembaraan ilmu dengan berguru pada KH. Ma'sum(penulis kitab Tasrifan dan ilmu shorof) di Kwaron Jombang Jawa Timur selama kurang lebih tiga tahun dan dari sinilah pada tahun 1928 M beliau mengakhiri
perjalanan panjangnya mencari ilmu sebelum menetap dan hidup bersama istrinya di desa Kajen Pati dan memiliki 2 orang anak yang kemudian dikenal sebagai KH. Hasyim Maghfud dan KH.Sahal Mahgfud, di Kajen Pati beliau mengabdikan ilmunya dengan mengembangkan Madrasah Mathali’ul Falah peninggalan ayahandanya dan disela-sela kesibukannya mengajar di Pondok Pesanten, beliau sempat mengarang beberapa kitab, yaitu Qowa’idul I’rob, Nadhom Mukhtar Fi al-Ilmi al-Lughoh, Mandhumatu al-Waraqat dan Faroid al-I’rob Fi Ma’anil al-Ahraf, namun kitab kitab tersebut pada waktu itu tidak terhimpun secara utuh sehingga saat ini tidak terdokumentasi secara baik sebagai sebuah karya yang berharga.
Dikisahkan KH. Mahfudh Salam selama dalam penjara di Balik tembok kokoh Benteng Willem I Ambarawa maka beliau sempat menulis surat wasiat kepada dua orang saudara sekaligus muridnya, yaitu KH. Abdullah Zen Salam dan KH. Muhammadun Abdul Hadi yang pada intinya beliau menitipkan putra-putranya, yaitu KH. Hasyim Maghfud dan KH.Sahal Mahgfud agar dibimbing, namun sayangnya beberapa tahun kemudian KH. Hasyim mati syahid tertembak oleh Belanda di Sukolilo Pati.
Berdasarkan secuil kisah kisah terserak yang nyaris terkubur rapat diantara genangan air sawah dan rerumputan liar sehingga tidak ditemukan dalam penulisan sejarah mainstream tersebut diatas maka kita bisa banyak belajar dengan mengambil hikmah sedalam dalamnya atas jasa jasa para syuhada yang sepanjang hidupnya berkhidmad untuk kemaslahatan umat, agama, bangsa dan negara yang meskipun titian partriotisme mereka telah terkubur bersama dengan jasad yang yang terkandung diantara Muqarobah berupa gundukan gundukan tanah yang menyembul diantara aliran air sawah dan rerumputan liar dibalik arogansi tembok kokoh Benteng Willem I Ambarawa yang menyimpan misteri yang lindap bersama ruh para syahid yang nyaris dilupakan oleh generasi sekarang dalam catatan sejarah.
........................................
Malam beringsut dengan tata warna terang bulan yang menyinari lumut lumut tertoreh bersama tanaman liar yang tumbuh disepanjang tembok kokoh nan arogan Benteng Willem I Ambarawa. Bunyi jangkrik dan kodok saling bersahutan menciptakan harmoni alam diantara desing lantunan dzikir, tahmid dan tahlil yang mengalun konstan diantara rongga rongga menimbulkan energi dalam pengembaraan spritual mencari Ridlo Sang Pencipta dengan unggingan doa tercurah semoga Sang Maha Khalik mengangjar para Aulia Kusuma Bangsa yang terkubur dibalik Tembok Benteng diberi tempat yang jauh lebih layak dari pada kenikmatan apapun di dunia ini.
Malam semakin larut bintang gumintang bergemerlapan bersama alunan doa yang diurai KH. Sonwasi Ridwan (Rois Syuriah PCNU Salatiga) mengiris qolbu dengan menyisakan haraf tak berkesudahan dalam satu waktu.
........................................
"..siapa, wahai
bikin kubur bagi segala cinta mengubah negeri
jadi mata air airmata
“cinta,” katamu, “yang kautumpas dari Jiwa!”
........................................
" Kuburan menjadi referensi yang dianggap penting untuk menggerakan hati manusia dalam mengingat firman-firman Allah khususnya kematian "**
........................................
Lahul Fatihah
Semoga bermanfaat
Wallahu a'lam bish-shawabi
Allah Mahatahu yang benar/yang sebenarnya.
Disari dari berbagai sumber dan Biografi maupun informasi berasal dari Dzuriah KH. Mahfudh Salam
Puisi ditulis M. Faizi yang berjudul “Suatu Malam Melintasi Kuburan”
@.Penulis adalah Ketua LPBHNU Kota Salatiga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar