JAKARTA, suarakpk.com – Lagi, seorang ibu rumah tangga ditangkap polisi di Bogor. Tidak tanggung-tanggung, IRT bernama Zakria Dzatil itu diseret dari Bogor ke Polrestabes Surabaya. Pasalnya, wanita yang sedang dalam masa menyusui anaknya ini diadukan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, ke polisi dengan pasal penghinaan melalui media sosial. Alhasil, Zakria Dzatil harus menyusul korban UU ITE lainnya mendekam di balik jeruji besi.
Merespon hal tersebut, seorang alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, menyampaikan bahwa dirinya sungguh amat kecewa dengan sikap dan pola pikir, serta tingkah-laku kebanyakan pejabat di negeri ini. Menurut dia, seharusnya kritikan rakyat yang disampaikan, seberapapun keras dan brutalnya bahasa yang digunakan masyarakat, wajib diterima sebagai sesuatu yang positif dan menjadikannya sebagai energi dalam melaksakan tugasnya dengan lebih baik lagi.
“Saya benar-benar prihatin dan kecewa berat dengan cara pejabat-pejabat kita dalam merespon kritikan rakyatnya. Sungguh sesuatu yang diluar jangkauan nalar saya, mengapa mereka mau menjerumuskan diri untuk mengurusi hal-hal sepeleh seperti yang diunggah oleh netizen di Bogor itu. Seyogyanya, Walikota Surabaya itu berterima kasih dan mengundang netizen tersebut, meminta usulan, saran, dan bantuan lainnya, agar si walikota itu lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya,” jelas Wilson Lalengke yang merupakan Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia itu, Rabu, (5/2).
Wilson menambahkan bahwa sebenarnya, para pejabat itu semestinya merasa malu ketika kritikan rakyat, walaupun itu terkesan seperti hinaan, dilawan dengan menggunakan ‘alat tangkap’ jeratan hukum.
“Zakria Dzatil itu hanyalah seorang ibu rumah tangga, sama seperti rakyat kebanyakan lainnya. Bukan lawan tanding Walikota Surabaya dan para pejabat negeri. Malu sangatlah mempermasalahkan hal-hal recehan begitu. Cari lawan tanding yang sebanding. Jangan merendahkan martabat Anda dengan menjerat-jerat rakyat kecil. Pakai tangan polisi lagi,” imbuh Wilson dengan nada menyesalkan tindakan pejabat yang main tangkap warga seenaknya.
Lulusan pasca sarjana Global Ethics dari Birmingham University Inggris ini juga menyayangkan jika para pejabat memiliki sensitivitas yang cenderung negatif dalam merespon fenomena di masyarakat. Menurut dia, pejabat memang perlu sensitif terhadap suara rakyat. Tapi harus sensitivitas positif.
“Setiap orang yang ditakdirkan untuk jadi pejabat publik, mereka harus sensitif terhadap kebutuhan rakyat. Untuk mengetahui apa yang diperlukan masyarakat, pejabat harus mendengarkan suara rakyat. Aspirasi warga itu tidak harus disampaikan dengan cara yang Anda sukai, bahkan lebih banyak disampaikan dengan cara yang kasar, menyakitkan, dan sering juga melecehkan si pejabat. Yaa, jangan baperan dong, Anda sudah diberi makan oleh rakyat, hingga ke celana dalam Anda dibelikan rakyat, mengapa seenaknya pejabat gunakan tangan polisi untuk menangkapi rakyat karena celotehannya yang tidak enak didengar telinga?” jelas tokoh pers nasional yang getol membela wartawan dan netizen itu.
Di sisi lain, Wilson juga menyayangkan sikap pejabat Pemda Bogor yang membiarkan begitu saja warganya diseret ke Polrestabes Surabaya.
“Delik penghinaan itu adalah pasal karet yang sangat subyektif. Pasal itu lebih berfungsi memuaskan rasa sakit hati dan dendam manusia yang tidak ada ukuran keadilan yang pasti. Sehingga, hukum tentang UU ITE ini sangat tidak mungkin bisa menghasilkan keputusan yang adil. Untuk itu, sebagai rakyat Bogor, seharusnya Ibu Zakria mendapatkan pembelaan oleh Pemda Bogor dan Jawa Barat. Artinya, Pemda Bogor bertanggung jawab untuk membela warganya dari perlakuan tidak adil oleh pihak lain menggunakan pasal-pasal subyektif tadi,” urai Wilson yang juga menyelesaikan studi pasca sarjananya di bidang Applied Ethics di Utrecht University Belanda dan Linkoping University Swedia ini.
Wilson juga mengingatkan bahwa penangkapan dan pemenjaraan netizen akibat kicauan mereka di berbagai media sosial merupakan pelanggaran atas UUD 1945 dan TAP MPR No. 17 tahun 1998 tentang HAM.
“Negara ini sudah kacau-balau dalam penerapan hukumnya. Sudah terang-benderang Pasal 28F UUD 1945 mengatakan ‘Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia’. Tapi mengapa rakyat dikerangkeng ketika bersuara menyampaikan informasi menggunakan segala jenis saluran yang tersedia? Bagaimana logikanya UU ITE dan KUHPidana lebih tinggi dari UUD dan TAP MPR? Sudah tidak benar negara ini mengatur sistem hukumnya, struktur hukumnya terbolak-balik, sesuai kehendak penguasa dan aparat hukum saja,” jelas Wilson dengan mengutip isi pasal 28F UUD 1945.
Terakhir, sebagai seorang pendidik, Wilson mengatakan bahwa hakekatnya setiap pejabat dan para elit negara adalah guru yang akan digugu dan ditiru oleh segenap rakyat di negeri ini.
“Sikap, pola pikir, dan perilaku para pejabat dan elit, serta tokoh masyarakat menjadi contoh bagi masyarakat dalam bersikap, berpola pikir, dan bertindak di lingkungannya masing-masing. Ketika pejabatanya baperan, yaa rakyatnya ikut baperan juga. Pejabatnya suka tangkapi warga, rakyatnya doyan penjarakan tetangganya juga. Sikap arif, bijaksana, welas asih, dan gemar memaafkan, jauh dari kehidupan bangsa ini, karena pejabatnya memberikan contoh perilaku yang salah dan tidak bermoral,” pungkas Alumni Program Persahabatan Indonesia – Jepang Abad-21 tahun 2000 itu.
Sementara, Kepala Perwakilan Ombudsman Jatim, Agus Widiyarta saat dikonfirmasi Rabu (5/2), adanya masyarakat yang mengadukan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Kapolrestabes Surabaya pada Selasa (4/2). Keduanya dilaporkan dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang lantaran telah memidanakan penghinanya, Zikria atau ZKR.
"Iya benar (menerima aduan), saat ini kami lakukan verifikasi," kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jatim, Agus Widiyarta.
Namun Agus enggan membeberkan siapa pihak yang mengadukan tersebut. Ombudsman beralasan berkewajiban melindungi masyarakat yang melakukan pengaduan.
"Dalam surat tersebut, pengadu mengatakan memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31/PUU - XIII/2015 tentang Judisial Review Pasal 319 berisi penghinaan pada pejabat negara telah dihapus," tutur Agus.
Maka, kata dia, Kedudukan pejabat negara setara dengan masyarakat di mana pasal tentang penghinaan pejabat negara adalah delik aduan. Sehingga, pejabat itu harus melapor sendiri atau bersama kuasa hukumnya dengan biaya sendiri.
Dalam surat tersebut, bagi pengadu, Risma dianggap menyalahgunakan wewenang atas pelaporan hinaan akun Facebook Zakria Dzatil. Sebab hal itu, tak dilakukan Risma secara pribadi, melainkan Kabag Hukum Pemkot Surabaya, Ira Tursilowati, dan Pemkot Surabaya melalui instansinya.
"Berkaitan dengan pelaporan saudari Tri Rismaharini terkait penghinaan yang dirasakannya ternyata berdasarkan berita-berita yang beredar dikuasakan kepada Kabag Hukum Pemkot Surabaya saudari Ira Tursilowati, hal tersebut jelas melanggar aturan sebagai pejabat negara yang menyalahgunakan wewenang berdasarkan UU nomor 30 tahun 2004 pasal 10 dan 17 tentang administrasi pemerintahan," isi surat tersebut.
Dengan kata lain lanjut Agus, saudara Tri Rismaharini selaku Wali Kota telah melakukan penyalahgunaan wewenang jabatannya menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
Selain itu, diungkapkan Agus, pengadu juga menyebut Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Sandi Nugroho telah menyalahgunakan wewenang dan pelanggaran. Alasannya, penangkapan Zikria dilakukan tanpa landasan hukum.
Berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang tersebut, maka proses hukum pelaporan kasus penghinaan terhadap Risma ini dinilai cacat hukum. Pengadu pun meminta Ombudsman segera menindaklanjuti pelanggaran kedua pejabat negara tersebut.
"Untuk itu, Ombudsman harus menindaklanjuti pelanggaran wewenang kedua pejabat negara tersebut, yakni Kapolrestabes Surabaya dan Wali Kota Surabaya," jelas surat yang mengatasnamakan warga Kota Surabaya tersebut.
Terpisah, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini meminta kepada seluruh warga Surabaya agar memaafkan ZKR (43), pemilik akun facebook yang diduga telah menghina dan melakukan ujaran kebencian yang ditujukan padanya melalui media sosial.
“Saya berharap kepada seluruh warga saya kalau masih mencintai saya tolong dimaafkan. Karena sekali lagi, Tuhan pun memaafkan orang yang bersalah. Mari kita bersama-sama berbesar hati untuk bisa memaafkan,” kata Risma di rumah dinas wali kota, Jalan Sedap Malam, Rabu (5/2).
Risma mengaku telah menerima dua surat permintaan maaf dari ZKR yang ditujukan kepadanya dan seluruh warga Surabaya.
Surat tersebut disampaikan ZKR ke Wali Kota Risma melalui Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pol Sandi Nugroho. Dalam surat tersebut tertulis, jika ZKR telah meminta maaf serta mengakui kesalahannya atas apa yang dia lakukan. Karena pengaruh dunia maya, yang kemudian membuat ZKR terlena dengan bisikan setan.
Wali kota dua periode ini juga mengungkapkan alasan melaporkan ZKR ke kepolisian. Ia menilai, ZKR telah menghina dan merendahkannya dengan sebutan kata hewan. Selain itu, alasan lain karena adanya desakan dari warga Surabaya agar melaporkan pemilik akun tersebut.
“Saya melaporkan pribadi dan diperiksa pribadi. Jadi bukan atas nama siapa pun tapi saya tanda tangan pribadi. Tapi ada juga warga Surabaya yang ikut melaporkan,” terangnya.
Untuk proses hukum selanjutnya, ia telah menyerahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian.
“Untuk urusan hukum saya serahkan ke Pak Kapolres,” tuturnya.
Menanggapi persoalan tersbut, Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pol Sandi Nugroho, mengatakan, dirinya akan mendalami kelanjutan kasus dugaan penghinaan dan ujaran kebencian ini. Namun, ia berharap hal ini bisa menjadi pelajaran bagi semuanya.
“Untuk proses hukum akan kami dalami lebih dalam. Mudah-mudahan ini menjadi hal yang positif bagi kita semua, terutama saya pribadi dan pembelajaran bagi semua masyarakat,” katanya.
Ia berpesan kepada seluruh masyarakat agar lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Sebab, apapun yang di-share di grup atau media sosial, wajib untuk dipertanggungjawabkan.
“Maka dari itu pandai-pandailah untuk bisa men-sharing sebelum men-share,” pesannya.
Sandi juga mengimbau kepada warga Surabaya agar tidak mudah terprovokasi dengan isu-isu yang belum tentu kebenarannya. Apalagi isu tersebut dapat memicu ujaran kebencian maupun perpecahan anak bangsa. (Tim/red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar