(Menelusuri filosofi nilai sakral & profan dalam arstitektur bangunan Masjid Agung Kauman Kajoran Klaten)*
Oleh : Sofyan Mohammad
Hujan menjadi semacam pemandu perjalanan kami untuk menyusuri ruang waktu, air hujan yang menghujam dari langit dan jatuh di bumi menimbulkan aroma yang makin mendorong jejak kaki kami menuju dimensi ruang dan waktu. Bunyi gemuruh petir yang diikuti kilat dengan menampilkan cahaya singkat adalah bahan bakar untuk mensuplai energi bagi laju perjalanan kami menembus ruang dan waktu.
Dan itu hanya satu waktu dan kami tahu itu..........
itulah perjalanan kami malam itu untuk mencoba menyusuri jejak ulama - bangsawan yang mampu menorehkan kisah haru biru dikawasan pedalaman pulau Jawa yang kini masuk wilayah Klaten pada dekade abad 16 Masehi. Sambang yang hendak kami lakukan adalah untuk masrum pada ruang kaselahan seorang ulama Nusantara yang nyaris tidak tercacat sebagai seorang yang punya jasa besar dalam membangun peradaban dalam panji panji tauhid Islam yang rahmatan lil alamien pada transisi peralihan dari Kerajaan Pajang menuju dinasti Mataram Islam yang berpusat di Kota Gede Jogjakarta.
Rintik hujan menemani kami memasuki halaman masjid kuno nan artistik, begitu langkah kami mulai memasuki pintu gerbang maka telinga kami langsung disambut dengan lantunan ayat ayat suci al qur'an yang dibaca dengan cara 'jahr" (suara keras) oleh majlis yang duduk berjajar rapi dalam shof di serambi masjid. Bunyi bacaan Al Quran tersebut pada awalnya hanya lamat lamat lirih terdengar karena bersahutan dengan gemuruh hujan yang terus mengguyur, namun bunyi tersebut laksana medan magnet yang menarik kami untuk terus mendekat, qolbu kami seperti dituntun agar tidak mempedulikan air hujan yang bakal membasahi sekujur tubuh kami, dengan berlari lari kami menuju arah serambi masjid, namun sebelum sampai maka kami harus berhenti untuk melepas sepatu, karena jalan menuju serambi masjid harus meniti jembatan yang dibawahnya mengalir air kolam sebelum sampai pada teras serambi masjid tersebut.
Dengan bergegas kami melepaskan sepatu dan langsung berlari menuju padasan untuk kami berwudlu menyucikan diri, air kolah yang jernih memenuhi kolam yang membentang setengah melingkar dari ujung sebelah kiri, bagian depan dan ujung sebelah kanan serambi masjid sehingga untuk memasuki serambi kami harus meniti jembatan sepanjang 3 meteran yang terbuat dari plat besi yang ketika diinjak akan menimbulkan sensasi karena bunyi berderit mengikuti jejak langkah kaki.
Setelah sampai pada serambi masjid maka semakin jelas bacaan Al Qur'an yang terdengar sangat indah dengan bentuk bacaan semacam "Naghom" atau vocal suara indah tunggal (tanpa diiringi alat musik) dan tidak terikat dengan not balok yang biasanya sering dipergunakan untuk "Tazyin As-Shout bi tilawah Al-Qur'an Mujawwad" atau seni baca al-Qur'an yang menggunakan nada rendah sedang dan tinggi dengan irama yang khusus.
Bacaan Al Qur'an itu terus dilantunkan oleh seorang yang menjadi Imam dalam majlis tersebut, dengan berpeci hitam baju koko warna coklat dan bersarung motif batik duduk bersila di ujung serambi masjid bagian selatan dengan posisi menghadap pada puluhan jama'ah pria yang duduk rapi bersila membentuk shof, semua terlihat kompak dengan peci hitam dan sebagain ada yang berkopyah dan bersarung dengan motif batik.
Di bagian utara serambi juga terlihat puluhan jama'ah putri juga duduk bersimpuh secara rapi membentuk shof menghadap ke arah imam majlis tersebut, terlihat diantara para jama'ah perempuan tersebut tidak berkerudung karena terlihat rambut terurai, semantara yang lainya terlihat hanya membalutkan selandang tipis di kepala hingga leher dan tampak hanya wajah seperti yang sering digunakan oleh wanita wanita muslimah jaman dahulu sebelum populer fahsion jilbab syar'i seperti saat ini.
Para jama'ah putri terlihat terlihat sangat khuzuk menderas ayat suci Al Qur'an dengan mengikuti bacaan yang dilantunkan oleh imam majlis tersebut, demikian para jama'ah yang pria juga terlihat sangat khusuk hingga semua jama'ah termasuk imam majlis tersebut sama sekali tidak menghiraukan langkah kami yang berjalan ditengah tengah serambi menuju masjid utama.
Kami berjalan secara setengah membungkuk sebagai bagian penghormatan kami pada majlis karena kami berjalan ditengah tengah majlis tersebut berlangsung, setelah sampai pada pintu utama masjid maka kami lafadzkan doa "Allahummaf tahlii abwaaba rohmatik' dan setelah sampai didalam masjid maka kami bergegas mengambil posisi berdiri tepat disamping sebuah mimbar yang hampir serupa dengan mimbar dampar Kencono satu ukuran shof sebelum pada mighrab pengimaman, kami awali dengan menunaikan sholat tahyihat masjid yang dilanjutkan sholat isya berjamaah, dan sholat isya malam itu benar benar khusuk sajadah dilantai masjid menjadi titik pandangan kosentrasi dan sholat malam itu benar benar masrum untuk menghadirkan Allah didalam hati, karena kami menyadari jika sholat sesungguhnya adalah aktivitas hati (jiwa), bukan aktivitas pikiran, meski konsentrasi adalah aktivitas pikiran, seperti apa yang disampaikan oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib “Khusyu tempatnya ada di hati. Ia adalah perasaan di dalam jiwa yang nampak dari anggota badan dalam bentuk ketenangan dan ketawadhukan. Khusyu merupakan buah dari kokohnya keyakinan di dalam hati terhadap pertemuan dengan Allah.”
Selesai sholat maka dilanjutkan Dzikir dan ratapan doa, sementara hujan diluar masih terdengar gemuruhnya dan tartil Al Qur'an yang dibaca oleh Majlis di serambi masih berlangsung, sungguh malam itu adalah orkestra yang sangat harmoni bagi dahaga rohani.
Selesai sholat kami nanar menatap satu persatu kontruksi dan interior masjid tersebut, sungguh kami telah dibawa pada dimensi keagungan, kebijaksanaan dan kearifan para ulama pada waktu itu didalam menjalankan laku untuk mendakwahkan ajaran Islam yang bisa dilihat secara kasat mata melalui peninggalan bangunan masjid yang artististik dan kami didalamnya malam itu.
Masjid Agung Kauman Kajoran demikian tulisan setengah melingkar yang membentang diatas pintu gerbang masjid. Bermunajat di masjid seperti ini maka kita akan menemukan kesejukan dan kedamaian karena sambung sambang akan tercapai, dari masjid ini kita akan tahu jika masjid merupakan pertemuan dimensi sakral sekaligus profan, karena dimensi ini lekat dengan sifat transedental dalam upaya perjamuan jiwa manusia kepada Tuhan.
Kesakralan itu kemudian khas dengan identitas masjid yang biasa dijaga kesuciannya, diberi seperangkat aturan agar hening, beberapa masjid yang ekslusif bahkan tampak setara dengan bangunan kerajaan atau kompleks perkantoran elit sehingga nampak angkuh dan seakan akan berjarak dengan kaum papa yang terlantar dan menggelandang sehingga mereka jadi enggan hanya untuk singgah, namun tidak demikian dengan masjid ini karena keanggunan masjid juga berpadu dengan keramahan sehingga bisa menjadi magnet bagi kalangan siapapun untuk bisa masuk dan bermunajat didalamnya, sementara dalam prespektif profan maka masjid ini jelas mampu menawarkan kebahagian batin bagi manusia yang kering batin dan spritualnya jika bersungguh sungguh menjadikan masjid ini sebagai media perjamuan dengan sang pencipta.
Masjid Agung Kauman Kajoran adalah lenskap arstitektur bangunan pada awal masa kejayaan Islam di nusantara, masjid merupakan bagian paling menonjol dari arsitektur Islam yang fungsinya tidak hanya sebagai pusat kehidupan keagamaan, tetapi manifestasi nilai seni arsitektur Islam, karenanya masjid ini memiliki ciri khas dibanding masjid masjid lain yang dibuat pada era modern, masjid ini seakan memiliki unsur standar dan kualitas yang dapat dilihat dari bentuk kubah, mihrab, dan menara demikian masjid ini benar benar memperlihatkan kekhasan arsitektur dengan kualitas dan nilai seni tinggi yang kaya filosofi, karenanya di masjid ini dari segi morfologi akan terlihat jika waktu itu masjid ini benar benar berfungsi sebagai pusat keagamaan dan pembinaan umat.
Dari lenskap bangunan yang berdiri kokoh selama berabad abad maka dipastikan jika dahulu dasar pemikiran pembangunan masjid ini tentu didasari pada pemahaman yang utuh atas makna masjid sebagaj tempat untuk bersujud, secara terminologis diartikan sebagai tempat beribadah umat Islam, khususnya dalam menegakkan shalat karenanya masjid sering disebut sebagai Baitullah (rumah Allah) karena merupakan bangunan yang didirikan sebagai sarana mengabdi kepada Allah. Pada waktu hijrah dari Makkah ke Madinah ditemani beberapa shahabat maka pada saat itu Rasulullah SAW melewati daerah Quba di sana beliau mendirikan Masjid pertama sejak masa kenabiannya, yaitu Masjid Quba (QS 9:108, At Taubah). Setelah di Madinah Rasulullah juga mendirikan Masjid, tempat umat Islam melaksanakan shalat bisa berjama’ah dan melaksanakan aktivitas sosial lainnya, yang selanjutnya disebut dengan Masjid Nabawi, barang kali hal ini benar benar dipahami dan menjadi sumber inspirasi bagi Panembahan Agung Kajoran ketika membangung masjid ini
Dimasjid Agung Kauman Kajoran telah terpenuhi unsur unsur yang kuat sebagai sebuah masjid yang sakral dan profan dengan arstitektur yang menawan jika dilihat dari bentuk punden berundak yang selalu menjadi ciri khas dan melekat pada masjid-masjid yang dibangun pada masa kerajaan, bagian punden berundak atau teras berundak pada masjid sering tidak disadari maknanya dan dianggap sebagai tangga bertingkat biasa sehingga keberadaannya diabaikan begitu saja, padahal hal itu adalah cermin alkulturasi antara zaman megalitikum dan proses Islamisasi di Indonesia.
Punden, yang berasal dari bahasa Jawa yang artinya objek-objek pemujaan, makna filosofisnya, keberadaan tangga itu simbol media yang mengantarkan seseorang kepada Allah SWT melalui shalat lima waktu. Ciri lain adalah adanya atap berundak, pada masa kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha, bentuk atap bertingkat ini disebut meru yang dianggap sebagai bangunan suci tempat para dewa, penggunaan atap berundak pada sebuah masjid, di masa awal Islamisasi justru menimbulkan daya tarik tersendiri bagi pemeluk Buddha dan Hindu dari sinilah keluwesan itu terwujud karena tercipta akulturasi yang tepat sehingga tidak menimbulkan kekagetan budaya atau cultural shock, faktor penting lain dari segi teknik yang disesuaikan dengan ekologi bawah atap berundak ini memudahkan air meluncur ke bawah apabila hujan sekaligus sebagai ventilasi yang dapat memasukkan udara dingin ke dalam masjid apabila panas.
Dimasjid Agung Kauman Kajoran ini maka desain arsitekturnya juga menggunakan sistem struktur empat soko guru sebagai penopang utama atap yang membentuk gugusan yang merupakan simbol akulturasi didalam membumikan Tauhid. Keempat soko guru ini berdiri kokoh di ruang utama masjid yang dikonstruksi di empat penjuru arah, adapun untuk menopang tajug yang lebih rendah, juga masih terdapat tiang di sekeliling soko guru, ilmu arsitektur dengan membagi beban seperti ini menunjukkan teknologi dalam memakai struktur rumah joglo yang merupakan rumah khas Jawa sehingga Majid ini menjadi sakral karena desain arsitektur yang syarat makna yang merupakan representasi unsur tradisional Indonesia yang meskipun sederhana namun terkesan megah, anggun, indah, dan sangat berkarismatik. Atap serambi berbentuk linmas yang bersusun tiga merupakan gambaran akidah Islam yakni Iman, Islam, dan Ihsan.
Di depan Mihrab sebelah kanan terdapat mimbar untuk khotbah, yang masuk kualifikasi sebagai benda arkeolog yang dapat disetarakan dengan sebutan Dampar Kencono seperti halnya dimasjid agung Demak karena mimbar diamsjid ini hampir mirip dengan motif ukir yang berbentuk Maksurah yang merupakan artefak bangunan berukir peninggalan masa lampau yang memiliki nilai estetika unik dan indah yang menjadi bangunan bersejarah peninggalan era Panembahan Agung Kajoran yang hidup pada masa awal abad 16 M yaitu masa transisi kerajaan Pajang dengan Raja adalah Sultan Hadiwijoyo beralih ke masa dinasti Mataram Islam pada era Panembahan Senopati Ing Alogo.
Kajoran adalah sebuah permukiman di selatan Klaten sekarang, Jawa Tengah dan Panembahan Agung Kajoran adalah gabungan gelar kebangsawan dengan ulama Jawa sehingga maksud dari gelar "Panembahan Agung Kajoran" adalah identitas untuk menunjukkan statusnya sebagai kepala dari keluarga yang berkuasa sekaligus pimpinan keagamaan atau ulama di wilayah tersebut pada era itu.
Beberapa sumber menyebutkan leluhur dari pada Panembahan Agung Kajoran adalah Sayyid Kalkum yang merupakan adik dari Sunan Bayat atau Sunan Pandanaran salah satu anggota dewan dakwah Walisongo yang mendakwahkan agama Islam sampai akhir hayatnya di wilayah Bayat Klaten, Jawa Tengah.
Sayid Kalkum menempati dan menjadi penguasa di Kajoran pada awal abad ke-16 yang selanjutnya para anggota keluarga Sayid Kalkum menikah dengan anggota keluarga kerajaan Pajang dan Mataram, hingga pada akhirnya trah dari keluarga ini telah menjadi keluarga yang kuat dan berpengaruh di Mataram, karena statusnya sebagai pemuka agama Islam dan ikatan pernikahan dengan kerabat kerajaan.
Setelah menjadi komunitas dengan relasi kekerabatan yang kuat dengan keluarga kerajaan maupun trah keluarga ulama maka Kajoran era saat itu memiliki peran penting dalam berbagai dinamika sosial maupun politik di era kerajaan Mataram Islam.
Sebagai seorang tokoh yang berasal dari gabungan nasab bangsawan dan ulama maka tentu saja Panembahan Agung Kajoran membangun masjid agung Kajoran dimaksudkan adalah sebagai pusat dakwah dan pembinaan bagi umat pada saat itu.
Malam beringsut dengan cepat waktu telah menggelinding sedemikan jauh tanpa kami sadari, air hujan yang jatuh diatas genteng masjid sudah tidak terdengar, deru angin bercampur gemuruh hujan sudah tak terdengar, tilawah Qur'an dari Majlis yang berada di serambi masjid sudah tak terdengar...sepi dan sunyi malam itu seperti mewangi rajutan mimpi berlecut dengan kabut yang menyampaikan apa yang tak terlisankan dalam terang, sunyi malam itu memiliki gaduhnya sendiri dengan ruang jiwa yang kosong namun tak selalu dapat disinggahi.
Malam itu bagaikan selimut kesunyian untuk menghangatkan sisi kedalaman batin untuk berbicara pada diri sendiri diruang hampa menuju perjamuan.
Malam itu kami masrum dalam keakralan bercampur dalam profan di dalam masjid Agung Kauman Kajoran, kami bersimpuh bermunajat dalam bingkai perjamuan diruang dan waktu yang tak dapat kami urai sebagai sebuah tempat yang tak mampu teraba dengan wadag kami, malam itu kami masuk kedalam ruang tak berjarak dengan rumah mimpi.
Sekilat waktu apa yang kami alami malam itu adalah lecutan anak panah dalam dimensi kesakralan dan profan ...dan dalam unggingan senyum merekah kami teringat sebuah sajak
................
Dalam tiga waktu,
Apa lagikah yang mesti diucapkan
dalam gaung waktu bersautan?
Di empat penjuru
malaikat pun berlagu, lewat kabut dan terasa
hari berbisik.
Ada sekali peristiwa
di relung-relung sunyi Hira terdengar seru:
"bacalah dengan nama Tuhanmu."
Maka terbacalah,
Tapi terbaca juga sepi ini kembali, menggetar, pada senyum penghabisan
dan jatuh dalam sajak,
sajak yang melambaikan tangan, terbuka
dan bicara dengan senja di atas cakrawala,
ada sesuatu yang terpandang bening
dalam diriku, antara dinding, dimana terbunuh nama-Mu yang menjanjikan damai itu.
Bila langit pun kosong, dan berserakan bintang
mengisinya, tidakkah akan kami gelisahkan, Tuhan segala ini? Tidakkah semacam duka
untuk memburu setiap kata, setiap justa
tentang kejauhan-Mu, tentang rahasia?
Sebab Engkaulah arah singgah yang penuh penjuru seperti bumi, hati dan mungkin puisi
yang berkata lewat sepi, lewat usia kepadaku.
Maka siapkan waktu,
dengan suara-Mu tegap
yang sediam lembut
detik-detik darah tersekap sementara baringkan kota dalam tidur jauh, malam.
Berikan pula kami antara diam ini percakapan tiada sedih. Hanyalah malam yang makin tebal bila larut. Hanyalah lengang yang tertentang di ruang kusut. Tapi kami yang diam bisa bicara, Tuhan, dalam selaksa warna-warni dan tidak ada perlunya sorga, dalam kemerdekaan
seperti ini.
Yang terhuni suara suara bersendiri tak ada perlunya sorga yang jauh
yang pasti dingin menyentuh,
tanah yang dijanjikan
dan telah ditinggalkan***
.....................
Aku masih terkantuk kantuk ketika dibangunkan oleh ta'mir masjid...."mas bangun sudah adzan subuh.."
................
Lahul Fatihah.
Semoga Allah SWT Meridloi
Semoga bermanfaat
Kajoran, 23/02/20
* Diolah dari berbagai sumber dan wawancara dengan Juru Kunci Makam
** Sofyan Mohammad
Alumni Pesantren Kilat dahulu sewaktu masih bersekolah, sekarang sehari hari tinggal didesa.
*** Meditasi karya Goenawan Mohammad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar