Foto : Imam Supaat
Sejak revolusi perancis dan sejak umat manusia disadarkan akan arti pentingnya kebebasan melalui proyek renaissance dan aufklarung,
maka tak satupun manusia di alam semesta ini yang mau dijajah,
ditindas, diinjak – injak, dibohongi dan tidak dimanusiakan oleh manusia
lain. Selain karena manusia sudah kian mengerti arti kebebasan dan
kesadaran diri di hadapan manusia maupun alam semesta, juga karena
manusia kian memahami arti penting harkat dan martabat sebagai manusia.
Manusia kian memahami, dirinya dilahirkan dalam keadaan bebas dan
merdeka.
Namun berikut bila kita masih menyaksikan betapa
penjajahan, baik dalam bentuk fisik dan terutama nonfisik dewasa ini,
tentu saja ini harus dilacak lagi dengan memahami peluang manusia untuk
serakah dan menindas orang lain. Eric Fromm mengatakan, unsur dasar
manusia adalah keserakahan, karena itu mereka senang bertindak di luar
kewajaran, seperti kekerasan (violence). Kenyataan dewasa ini
benar seperti ditegaskan Fromm, bahwa masih ada manusia atau kelompok
yang ingin menguasai orang lain dengan menekan, memaksa dan
mengintervensi urusan orang lain yang bukan kewenangannya.
Kekuasaan
berkaitan erat dengan kepentingan, dan kemudian bentuk – bentuk
penguasaan ada dalam penguasaan uang, penguasaan corong media masa (untuk menguasai opini dan jagat pemikiran masyarakat),
serta otoritas atau wewenang itu sendiri dari yang berwujud pada jaringan
sederhana sampai pada jaringan ekonomi global; dari wewenang yang paling
suci di tangan tokoh keagamaan untuk mengatakan ini perbuatan baik dan
itu tidak baik sampai pada kekuasaan fisik dengan senjata menuju
kekuasaan kepakaran ilmu, pemilikan iptek; dari daerah wilayah parkir
ditangan satpam sampai pada wilayah teretorial seorang pejabat setempat
ataupun pejabat Negara; bisakah kekuasaan – kekuasaan riil materiil
ini, ketika masuk dalam konflik kepentingan, diselesaikan secara
moralis dengan anjuran moral, sementara persolaannya riil ada dalam
pertentangan kepentingan antara yang punya kekuasaan dan yang tidak
punya kekuasaan?
Manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka. Tetapi
kenyataannya tidak seperti manusia yang dilahirkan di Indonesia hari
ini. Bayi – bayi yang dilahirkan saat ini tidak merdeka alias
menanggung beban utang.
Mental bangsa ini sudah keropos karena
pendidikan hanya menghasilkan manusia instan. Mental kerja keras dan
berani hidup dalam persaingan belum menjadi bagian kultur bangsa ini. Apalagi
berani menderita demi bangsa. Kultur ini agaknya sulit diterapkan
karena selama ini kita terbiasa hidup dalam pola yang mudah. Mentalitas
bangsa ini lebih suka menjadi pengemis, mental menodong, dan menipu.
Baik secara tersembunyi maupun secara terang – terangan, kita berani
menjadi perampok melalui pelbagai kebijakan politik dan ekonomi.
Mentalitas seperti ini amat ironis dimiliki bangsa yang berbudaya dan
beragama seperti Indonesia, membudaya disemua lapisan masyarakat dari
kelas teri sampai atas.
Kita kini menghadapi realitas bahwa kita
hidup karena belas kasihan bangsa lain. Realitas ini harus menjadi
cermin untuk mengadakan refleksi menyeluruh dengan melihat akar budaya
yang kita miliki. Mengapa hal ini terus terjadi? Apakah ada kaitannya
bahwa kita sebenarnya belum siap menjadi bangsa yang mandiri? Ketidak
siapan yang kerap membuat elit politik dan ekonomi telat melihat
realitas yang ada kini.
Namun kita harus melihat kegugupan –
kegugupan seperti ini merupakan bagian dari proses pembelajaran bangsa
ini. Tanpa perlu mengutuk yang lain, namun belajar dari sebuah
kesalahan yang pernah diperbuat. Intinya, daripada sekedar mengutuk,
mencemooh, bukankah lebih baik kita berpikir mengapa pembangunan yang
kita lakukan selalu tidak pernah berhasil memuaskan? Proses berjalan
bangsa ini belum final. Apa yang harus kita buat? Jelas kita harus mau
meretas harga diri agar tidak sekedar identik dengan sebuah gelar,
kekayaan, dan jabatan. Harga diri lebih banyak ditentukan oleh kualitas
dibidang moral, kebijaksanaan, dan keadilan. Dan hal tersebut dapat
dicapai dengan beberapa langkah.
Langkah pertama, yang harus
dijernihkan adalah asumsi kita secara naïf menganggap semua orang
berkehendak baik dan beriktikad baik pasti mempunyai kepentingan baik
pula. Penjernihan ini menurut Habermas, harus dibuka secara terang –
terangan dalam debat transparan dan dalam posisi sejajar untuk bebas
berpendapat sehingga masing – masing kepentingan bisa diadu, dan dengan
demikian memungkinkan orang membuat konsesus untuk mengorbankan
sebagian kepentingan egonya sendiri untuk menyepakati kepentingan
bersama yang bernama kesejahteraan atau kebaikan bersama. Untuk itulah
kita mengenal peradaban hidup bersama entah dalam bentuk tata
masyarakat atau hidup bernegara berdasar kontrak atau perjanjian.
Perjanjian itu ditegaskan dan dipositifkan dalam aturan main, yaitu
hukum. Maka, sanksinya akan diberikan ketika dasar perjanjian bersama
dalam aturan dilanggar. Disini kepentingan ego yang mau menguntungkan
diri sediri dibatasi secara sadar dan jernih oleh aturan main bersama.
Disini pula kehendak untuk menguasai segalanya dikontrol oleh
perjanjian dalam konsesus hukum yang disepakati bersama untuk ditaati.
Langkah
kedua, kaitan antara kepentingan dan kekuasaan harus diletakkan secara
konkret pada konteks masyarakat, dimana kolusi dan rebutan kekuasaan
yang dimotivasi oleh macam – macam manipulasi kepentingan ego yang
purba harus diterima sebagai kenyataan nyata sehari – hari yang
telanjang. Artinya, naluri liar untuk memiliki segalanya sebagai naluri
purba, manusia yang tak pernah puas harus dilihat sebagai sesuatu yang
nyata ada lantaran peradaban yang mengontrol dan yang memanusiakan
naluri liar itu belum lama disadari oleh kita semua.
Langkah
ketiga, kepentingan yang diwujudkan dalam bahasa penguasaan itulah arah
berpikir dan logika mega kekuatan ekonomi global dengan gurita
kapitalis dan monopolistis serta logika mau menata secara tertib dengan
todongan senjata atasnama harmoni dan tata Negara. Apa artinya? Logika
kehidupan yang amat menghargai jatuh bangunnya proses, menghayati
kehidupan dengan kepentingan untuk menjadi semakin dewasa secara
individual maupun kolektif yang pada saat ini banyak dikalahkan oleh
logika kekuasaan yang mau menang sendiri serta mau menaklukan segalanya
dalam sebuah sistem yang seragam, yang membuat tiap manusia sekedar
robot atau alat bagi kemajemukan iptek, bagi tumbal kebersamaan
pembangunan, atau bagi logika otoritarianisme. Berhadapan dengan
situasi peradaban yang semakin menomorsatukan logika kekuasaan itu,
kita diajak untuk bersikap sangat kritis dalam pembelajaran memahami
betapa eratnya kaitan antara kepentingan dan kekuasaan.
Maka dari
itu, hanya bila peradaban disumberkan pada dinamika kepentingan
pemerdekaan manusia dari kebodohan, ketidak adilan, maka perjalanan
peradaban akan terjamin kepentingannya dalam wajah “kekuasaan” untuk
usaha – usaha pemanusiawian yang tiap kali akan berani mengkritisi
korupsi kuasa dan kolusi kepentingan yang terjadi dalam hidup bersama.
Medan untuk menguji transparansi masing – masing kepentingan hanya
satu, yaitu dialog terbuka, debat rasional terbuka. Itu tidak lain
adalah proses menghargai keterbukaan hak berpendapat dalam perbedaan
pendapat.
Jadi bila hal ini sudah menjadi karakter bangsa, barulah kita mengatakan, kita siap mandiri.
Ditulis oleh : Imam Supaat,
Latar Belakang Organisasi dan Profesi
1. Pencetus dan Ketua Umum Gerakan Terbuka
Garda Amanah Indonesia
2. Pencetus Gerakan Terbuka Pemuda Retooling
Aparatur Negara
3. Pencetus Gerakan REVOLUSI SISTEM MORAL BANGSA
4. Ketua Umum Paguyuban Eksponen Rakyat Terlatih
periode (2001 – sekarang)
5. Pendiri, Penanggungjawab, Pimpinan
Umum/Redaksi Surat Kabar Investigasi dan Harian Online SUARAKPK
6. Pendiri/Penanggungjawab, Harian Online NUSANTARA7.COM
7. PKetua Dewan Pengurus Daerah Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Prov.Jawa Tengah
8. Sekretaris Perwakilan Komisi Nasional Perlindungan
Anak Provinsi Jawa Tengah Periode 2018 – 2023