SUDAH MANDIRIKAH PIKIRAN KITA SEBAGAI BANGSA? - SUARAKPK

BERITA HARI INI

Home Top Ad


Penghargaan dari Kedubes Maroko


 

17 Juni 2017

SUDAH MANDIRIKAH PIKIRAN KITA SEBAGAI BANGSA?


 
Foto : Imam Supaat


Sejak revolusi perancis dan sejak umat manusia disadarkan akan arti pentingnya kebebasan melalui proyek renaissance dan aufklarung, maka tak satupun manusia di alam semesta ini yang mau dijajah, ditindas, diinjak – injak, dibohongi dan tidak dimanusiakan oleh manusia lain. Selain karena manusia sudah kian mengerti arti kebebasan dan kesadaran diri di hadapan manusia maupun alam semesta, juga karena manusia kian memahami arti penting harkat dan martabat sebagai manusia. Manusia kian memahami, dirinya dilahirkan dalam keadaan bebas dan merdeka.
Namun berikut bila kita masih menyaksikan betapa penjajahan, baik dalam bentuk fisik dan terutama nonfisik dewasa ini, tentu saja ini harus dilacak lagi dengan memahami peluang manusia untuk serakah dan menindas orang lain. Eric Fromm mengatakan, unsur dasar manusia adalah keserakahan, karena itu mereka senang bertindak di luar kewajaran, seperti kekerasan (violence). Kenyataan dewasa ini benar seperti ditegaskan Fromm, bahwa masih ada manusia atau kelompok yang ingin menguasai orang lain dengan menekan, memaksa dan mengintervensi urusan orang lain yang bukan kewenangannya.
Kekuasaan berkaitan erat dengan kepentingan, dan kemudian bentuk – bentuk penguasaan ada dalam penguasaan uang, penguasaan corong media masa (untuk menguasai opini dan jagat pemikiran masyarakat), serta otoritas atau wewenang itu sendiri dari yang berwujud pada jaringan sederhana sampai pada jaringan ekonomi global; dari wewenang yang paling suci di tangan tokoh keagamaan untuk mengatakan ini perbuatan baik dan itu tidak baik sampai pada kekuasaan fisik dengan senjata menuju kekuasaan kepakaran ilmu, pemilikan iptek; dari daerah wilayah parkir ditangan satpam sampai pada wilayah teretorial seorang pejabat setempat ataupun pejabat Negara; bisakah kekuasaan – kekuasaan riil materiil ini, ketika masuk dalam konflik kepentingan, diselesaikan secara moralis dengan anjuran moral, sementara persolaannya riil ada dalam pertentangan kepentingan antara yang punya kekuasaan dan yang tidak punya kekuasaan?
Manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka. Tetapi kenyataannya tidak seperti manusia yang dilahirkan di Indonesia hari ini. Bayi – bayi yang dilahirkan saat ini tidak merdeka alias menanggung beban utang.
Mental bangsa ini sudah keropos karena pendidikan hanya menghasilkan manusia instan. Mental kerja keras dan berani hidup dalam persaingan belum menjadi bagian kultur bangsa ini. Apalagi berani menderita demi bangsa. Kultur ini agaknya sulit diterapkan karena selama ini kita terbiasa hidup dalam pola yang mudah. Mentalitas bangsa ini lebih suka menjadi pengemis, mental menodong, dan menipu. Baik secara tersembunyi maupun secara terang – terangan, kita berani menjadi perampok melalui pelbagai kebijakan politik dan ekonomi. Mentalitas seperti ini amat ironis dimiliki bangsa yang berbudaya dan beragama seperti Indonesia, membudaya disemua lapisan masyarakat dari kelas teri sampai atas.
Kita kini menghadapi realitas bahwa kita hidup karena belas kasihan bangsa lain. Realitas ini harus menjadi cermin untuk mengadakan refleksi menyeluruh dengan melihat akar budaya yang kita miliki. Mengapa hal ini terus terjadi? Apakah ada kaitannya bahwa kita sebenarnya belum siap menjadi bangsa yang mandiri? Ketidak siapan yang kerap membuat elit politik dan ekonomi telat melihat realitas yang ada kini.
Namun kita harus melihat kegugupan – kegugupan seperti ini merupakan bagian dari proses pembelajaran bangsa ini. Tanpa perlu mengutuk yang lain, namun belajar dari sebuah kesalahan yang pernah diperbuat. Intinya, daripada sekedar mengutuk, mencemooh, bukankah lebih baik kita berpikir mengapa pembangunan yang kita lakukan selalu tidak pernah berhasil memuaskan? Proses berjalan bangsa ini belum final. Apa yang harus kita buat? Jelas kita harus mau meretas harga diri agar tidak sekedar identik dengan sebuah gelar, kekayaan, dan jabatan. Harga diri lebih banyak ditentukan oleh kualitas dibidang moral, kebijaksanaan, dan keadilan. Dan hal tersebut dapat dicapai dengan beberapa langkah.
Langkah pertama, yang harus dijernihkan adalah asumsi kita secara naïf menganggap semua orang berkehendak baik dan beriktikad baik pasti mempunyai kepentingan baik pula. Penjernihan ini menurut Habermas, harus dibuka secara terang – terangan dalam debat transparan dan dalam posisi sejajar untuk bebas berpendapat sehingga masing – masing kepentingan bisa diadu, dan dengan demikian memungkinkan orang membuat konsesus untuk mengorbankan sebagian kepentingan egonya sendiri untuk menyepakati kepentingan bersama yang bernama kesejahteraan atau kebaikan bersama. Untuk itulah kita mengenal peradaban hidup bersama entah dalam bentuk tata masyarakat atau hidup bernegara berdasar kontrak atau perjanjian. Perjanjian itu ditegaskan dan dipositifkan dalam aturan main, yaitu hukum. Maka, sanksinya akan diberikan ketika dasar perjanjian bersama dalam aturan dilanggar. Disini kepentingan ego yang mau menguntungkan diri sediri dibatasi secara sadar dan jernih oleh aturan main bersama. Disini pula kehendak untuk menguasai segalanya dikontrol oleh perjanjian dalam konsesus hukum yang disepakati bersama untuk ditaati.
Langkah kedua, kaitan antara kepentingan dan kekuasaan harus diletakkan secara konkret pada konteks masyarakat, dimana kolusi dan rebutan kekuasaan yang dimotivasi oleh macam – macam manipulasi kepentingan ego yang purba harus diterima sebagai kenyataan nyata sehari – hari yang telanjang. Artinya, naluri liar untuk memiliki segalanya sebagai naluri purba, manusia yang tak pernah puas harus dilihat sebagai sesuatu yang nyata ada lantaran peradaban yang mengontrol dan yang memanusiakan naluri liar itu belum lama disadari oleh kita semua.
Langkah ketiga, kepentingan yang diwujudkan dalam bahasa penguasaan itulah arah berpikir dan logika mega kekuatan ekonomi global dengan gurita kapitalis dan monopolistis serta logika mau menata secara tertib dengan todongan senjata atasnama harmoni dan tata Negara. Apa artinya? Logika kehidupan yang amat menghargai jatuh bangunnya proses, menghayati kehidupan dengan kepentingan untuk menjadi semakin dewasa secara individual maupun kolektif yang pada saat ini banyak dikalahkan oleh logika kekuasaan yang mau menang sendiri serta mau menaklukan segalanya dalam sebuah sistem yang seragam, yang membuat tiap manusia sekedar robot atau alat bagi kemajemukan iptek, bagi tumbal kebersamaan pembangunan, atau bagi logika otoritarianisme. Berhadapan dengan situasi peradaban yang semakin menomorsatukan logika kekuasaan itu, kita diajak untuk bersikap sangat kritis dalam pembelajaran memahami betapa eratnya kaitan antara kepentingan dan kekuasaan.
Maka dari itu, hanya bila peradaban disumberkan pada dinamika kepentingan pemerdekaan manusia dari kebodohan, ketidak adilan, maka perjalanan peradaban akan terjamin kepentingannya dalam wajah “kekuasaan” untuk usaha – usaha pemanusiawian yang tiap kali akan berani mengkritisi korupsi kuasa dan kolusi kepentingan yang terjadi dalam hidup bersama. Medan untuk menguji transparansi masing – masing kepentingan hanya satu, yaitu dialog terbuka, debat rasional terbuka. Itu tidak lain adalah proses menghargai keterbukaan hak berpendapat dalam perbedaan pendapat.
Jadi bila hal ini sudah menjadi karakter bangsa, barulah kita mengatakan, kita siap mandiri.



Ditulis oleh : Imam Supaat, 
Latar Belakang Organisasi dan Profesi 
1. Pencetus dan Ketua Umum Gerakan Terbuka Garda Amanah Indonesia
2. Pencetus Gerakan Terbuka Pemuda Retooling Aparatur Negara
3. Pencetus Gerakan REVOLUSI SISTEM MORAL BANGSA
4. Ketua Umum Paguyuban Eksponen Rakyat Terlatih periode (2001 – sekarang)
5. Pendiri, Penanggungjawab, Pimpinan Umum/Redaksi Surat Kabar Investigasi dan Harian Online SUARAKPK
6. Pendiri/Penanggungjawab, Harian Online NUSANTARA7.COM
7. PKetua Dewan Pengurus Daerah Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Prov.Jawa Tengah
8. Sekretaris Perwakilan Komisi Nasional Perlindungan Anak Provinsi Jawa Tengah Periode 2018 – 2023

HUT SUARAKPK Ke 9 (2018)