Redaksi suarakpk.com - Melonjaknya
harga obat yang dijual melalui resep ternyata tak lepas dari peranserta sang dokter
nakal.
Disinyalir,
atas kongkalikong penjualan obat ternyata menguntungkan semua pihak yang
terlibat.
Bonus
hingga fee untuk Dokter sangat menggiyurkan dan menjanjikan, selain bonus,
setiap resep dokter akan mendapat jatah 10-30 persen dari harga obat yang
diberikan perusahaan farmasi.
Sementara
sales marketing yang menjembatani transaksi juga kecipratan bonus gaji
berlipat.
Konspirasi
selama ini berlangsung secara terbuka di setiap transaksi. Sales perusahaan
farmasi beramai-ramai mendatangi tempat praktik dokter membawa brosur obat dan
penawaran kerjasama.
Dokter
tugasnya hanya menuliskan resep obat mahal produksi perusahaan tersebut.
Bila
penjualan berlangsung lancar, perusahaan farmasi juga dengan mudah memenuhi
permintaan dokter.
"Bisa
sampai puluhan juta keluarkan uang untuk kebutuhan oknum dokter. Uang itu
diperoleh dari jumlah obat yang laku dijual oleh dokter. Mau mobil baru,
tinggal telepon," ujar seorang sales distributor perusahaan farmasi pada suarakpk.com belum berapa lama ini.
Bonus
atau dana sponsor yang diberikan kepada oknum dokter tersebut dihitung
berdasarkan keuntungan penjualan obat.
"Kami
juga tidak sembarangan kasih. Kami hitung apakah dokter itu berhasil menjual
obat dari kita dengan jumlah yang disepakati atau tidak. Kalau berhasil, baru
kami berani kasih bantuan sponsorship," ungkapnya.
Hal
tersebut juga diakui oleh seorang dokter yang enggan disebutkan namanya,
kongkalikong ini tambah berjalan mulus apabila sales menjalin kerjasama dengan
dokter praktik yang langsung menyediakan obat untuk pasien (tidak dibeli di
apotek).
Bahkan,
ada satu oknum dokter yang hanya menulis resep obat hanya dari dua merek.
Dokter
harus menyediakan merek tertentu karena sebelumnya telah terjalin kesepakatan
dengan sales obat. Kerjasama itu bervariasi, mulai dari satu sampai lima tahun.
Sales
bisa memutuskan perjanjian apabila oknum dokter tak lagi mencantumkan obatnya
di resep.
Dampak
yang dirasakan misalnya, sales menarik dan menghentikan pembayaran kredit
mobil.
Menurut
dokter tersebut, sebenarnya setiap produsen obat itu telah memiliki buget
promosi.
Meski
tidak menjalin kesepakatan dengan sales obat, dia tetap dibantu ketika butuh
pinjaman mobil untuk menghadiri seminar di luar kota.
Bonus
atau dana sponsor yang diberikan kepada oknum dokter tersebut dihitung
berdasarkan keuntungan penjualan obat.
Dia
mengatakan, biasanya dokter minta tiket pesawat perjalanan ke luar kota dan
luar negeri, akomodasi tertentu seperti biaya sewa kendaraan operasional selama
berada di luar kota, penginapan hotel dengan tarif beragam.
Berbagai
keperluan ini juga termasuk kepentingan seminar atau pun workshop resmi yang
diselenggarakan lembaga tertentu.
"Biasanya
mereka (oknum dokter, Red) telepon atau ngabari ketika kita visit (ke tempat
praktik dokter). Kalau mereka butuh sponsor untuk keperluan tertentu di luar
kota, tidak pakai basa basi, langsung ngomong. Saya butuh Rp 10 juta misalnya,
atau saya butuh tiket nih," tuturnya.
Pertanyaan
muncul, kenapa para sales obat ini sanggup memberikan 'bantuan' dengan jumlah
yang besar? Dari mana dana mereka peroleh? Ternyata selisih penjualan obat
sangat signifikan. Perusahaan distributor tertentu memiliki angka diskon yang
berbeda yang diberikan kepada dokter sebagai user mereka.
Jumlah
diskon ini tidak seluruhnya dikeluarkan kepada sang dokter yang membeli obat
tersebut.
Marketing
biasa memainkan angka keuntungan pada selisih diskon tersebut. Misalnya untuk
satu merek obat mendapat diskon sebesar 50 persen dari perusahaan, jumlah itu
tidak diberikan sepenuhnya kepada dokter.
Marketing
hanya memberikan diskon harga 10, 15 hingga 30 persen.
Dengan
demikian, keuntungan yang diperoleh akan menjadi lebih besar. Dari keuntungan
inilah kemudian biaya 'servis' tadi diperoleh.
Sales
bisa memperoleh untung besar dengan sistem seperti ini. Ia akan lebih cepat
memenuhi target penjualan yang diberikan oleh perusahaan.
Keuntungan
yang diperolehnya bisa satu bulan gaji, bahkan lebih jika ia berhasil closing
sesuai yang ditargetkan oleh perusahaannya.
"Dokter
juga untung, mereka juga dapat sponsor dari kami. Kalau mau apa tinggal
kontak," terangnya.
Menyikapi
permainan tersebut, diperoleh informasi di lapangan, bahwa baru-baru ini,
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Indonesia membenarkan permainan
tersebut, pasalnya lembaga Pengawas ini memperoleh temuan yang cukup
mencengangkan.
KPPU
menyebut, para oknum dokter nakal, terutama yang bertugas di rumah sakit
swasta, klinik, ataupun dokter praktik, diketahui mendapat jatah setoran
sebanyak 30 persen dari hasil penjualan obat dari sejumlah perusahaan obat. Hal
ini diduga menjadi salah satu penyebab harga obat menjadi mahal.
“Ada
monopoli by agen. Agennya siapa? Ternyata agennya adalah dokter,” kata
Komisioner KPPU, Saidah Sakwan, kepada wartawan beberapa waktu yang lalu.
Menurut
Saidah, pihaknya telah membuat kajian di mana diketahui salah satu
komponen yang menyebabkan harga obat mahal adalah adanya konsentrasi
brand-brand dari tertentu. Sebagai contoh, saat dokter-dokter memberikan
referensi atau rujukan, secara asimetrik, antara dokter dan pasien tidak bisa
diputus. Karena referensi dari dokter itu menjadi referensi konsumen.
Dokter
menyebut brand obat tertentu untuk penyakit tertentu, sehingga mau tidak mau,
pasien membeli obat sesuai dengan rekomendasi dari dokter tersebut. “Kami juga
telah kroscek. Ternyata memang mereka menyiapkan 30 persen dengan dalih
marketing fee. Nah, 30 persen ini larinya ke mana? Ternyata larinya ke agen
dokter tadi,” terang Saidah.
Meski
demikian, untuk melakukan pengendalian, saat ini regulasi melalui
Permenkes Nomor 98 tahun 2015 tentang harga eceran tertinggi (HET) telah diubah
melalui Amandemen. Sekarang, apoteker wajib memberikan pilihan brand obat
kepada pasien. Baik dari obat paten maupun original, sehingga pasien bisa
menentukan sendiri pilihan obat sesuai dengan kemampuannya.
Sementara,
dikabarkan juga, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum berapa lama ini di
Kantor KPK juga memaparkan hasil kajian tata kelola obat dalam sistem Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Wakil Ketua KPK Basaria
Panjaitan mengungkapkan, dokter bisa mengantongi keuntungan sampai 30
persen dari resep obat yang dia buatkan untuk pasien.
“Karena pedagang yang farmasi harus kasih banyak biaya dokter, ada juga dokter yang dapat persentasi dari resep yang dia buat. Informasi yang kami terima, dokter bisa dapat sampai 30 persen,” ujar Basaria.
“Karena pedagang yang farmasi harus kasih banyak biaya dokter, ada juga dokter yang dapat persentasi dari resep yang dia buat. Informasi yang kami terima, dokter bisa dapat sampai 30 persen,” ujar Basaria.
Menurut
Basaria, kesehatan merupakan salah satu dari empat fokus pencegahan yang
dilakukan KPK sepanjang tahun 2016 yaitu infrastruktur, sumber daya alam
termasuk kehutanan dan lingkungan hidup, serta pendidikan.
“Yang
paling penting adalah pendidikan dan kesehatan,” ujar Basaria.
Basaria
menjelaskan, kajian kesehatan dilakukan tim pencegahan KPK fokus agar penjualan
obat untuk masyarakat tidak lagi mahal.
Basaria
mengakui, hasil kajian KPK terkait tata kelola obat dalam sistem JKN akan
mengalami resistensi yang kuat dari berbagai kalangan. Namun dia meyakini harus
ada perubahan di bidang kesehatan untuk menjamin kehidupan yang lebih baik bagi
masyarakat.
“Resisten
sudah pasti, karena sudah biasa dapat sesuatu. Kami akan mengawal terus, dan
otomatis harga obat turun karena mereka tidak perlu mengeluarkan biaya-biaya
yang tidak seharusnya,” tutur Basaria.
KPK
sebelumnya pernah meyelidiki dugaan aliran dana sekitar Rp.800 miliar dari
sebuah perusahaan farmasi kepada sejumlah dokter. Uang sebesar itu diduga
sebagai gratifikasi untuk dokter atas jasa penjualan produk kesehatan kepada
pasien.
penyelidikan
atas dugaan tersebut dilakukan untuk menyimpulkan ada atau tidak tindak pidana
korupsi yang dilakukan perusahaan dan pihak terkait lain.
Laporan
dugaan gratifikasi untuk dokter tersebut diterima KPK dari Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sekitar dua minggu lalu, berbarengan dengan
sejumlah temuan aliran dana di sektor kesehatan.
KPK
menduga aliran dana Rp.800 miliar yang dikucurkan oleh perusahaan farmasi
merupakan bentuk dukungan finansial bagi dokter. Selama ini, ujar Yuyuk,
dukungan finansial dari perusahaan diperbolehkan untuk kepentingan tertentu.
Namun
dukungan finansial yang diberikan oleh perusahaan farmasi harus dikontrol Kemenkes
dan lembaga yang menaungi dokter penerima dana. Soal transfer Rp800 miliar
dari perusahaan farmasi ke sejumlah dokter pertama kali dikemukakan oleh Ketua
KPK Agus Rahardjo.
Hingga
berita ini di turunkan, tim redaksi suarakpk.com
terus menelusuri permainan obat-obatan dan dugaan mafia BPJS yang menyajikan
data fiktif.
Pasalnya,
menurut aduan masyarakat, praktek obat tersebut bukan saja membuat harga obat
semakin mahal, namun lebih dari itu, masyarakat dijadikan kelinci percobaan dan
malpraktek atas obat-obatan. Tunggu di edisi 62 cetak, tim akan memberitakan
dari beberapa kota. (tim/red)