Bongkar Permainan Harga Obat Yang Semakin Mahal - SUARAKPK

BERITA HARI INI

Home Top Ad


Penghargaan dari Kedubes Maroko


 

20 Juni 2017

Bongkar Permainan Harga Obat Yang Semakin Mahal




Redaksi suarakpk.com - Melonjaknya harga obat yang dijual melalui resep ternyata tak lepas dari peranserta sang dokter nakal.
Disinyalir, atas kongkalikong penjualan obat ternyata menguntungkan semua pihak yang terlibat.
Bonus hingga fee untuk Dokter sangat menggiyurkan dan menjanjikan, selain bonus, setiap resep dokter akan mendapat jatah 10-30 persen dari harga obat yang diberikan perusahaan farmasi.
Sementara sales marketing yang menjembatani transaksi juga kecipratan bonus gaji berlipat.
Konspirasi selama ini berlangsung secara terbuka di setiap transaksi. Sales perusahaan farmasi beramai-ramai mendatangi tempat praktik dokter membawa brosur obat dan penawaran kerjasama.
Dokter tugasnya hanya menuliskan resep obat mahal produksi perusahaan tersebut.
Bila penjualan berlangsung lancar, perusahaan farmasi juga dengan mudah memenuhi permintaan dokter.
"Bisa sampai puluhan juta keluarkan uang untuk kebutuhan oknum dokter. Uang itu diperoleh dari jumlah obat yang laku dijual oleh dokter. Mau mobil baru, tinggal telepon," ujar seorang sales distributor perusahaan farmasi pada suarakpk.com belum berapa lama ini.
Bonus atau dana sponsor yang diberikan kepada oknum dokter tersebut dihitung berdasarkan keuntungan penjualan obat.
"Kami juga tidak sembarangan kasih. Kami hitung apakah dokter itu berhasil menjual obat dari kita dengan jumlah yang disepakati atau tidak. Kalau berhasil, baru kami berani kasih bantuan sponsorship," ungkapnya.
Hal tersebut juga diakui oleh seorang dokter yang enggan disebutkan namanya, kongkalikong ini tambah berjalan mulus apabila sales menjalin kerjasama dengan dokter praktik yang langsung menyediakan obat untuk pasien (tidak dibeli di apotek).
Bahkan, ada satu oknum dokter yang hanya menulis resep obat hanya dari dua merek.
Dokter harus menyediakan merek tertentu karena sebelumnya telah terjalin kesepakatan dengan sales obat. Kerjasama itu bervariasi, mulai dari satu sampai lima tahun.
Sales bisa memutuskan perjanjian apabila oknum dokter tak lagi mencantumkan obatnya di resep.
Dampak yang dirasakan misalnya, sales menarik dan menghentikan pembayaran kredit mobil.
Menurut dokter tersebut, sebenarnya setiap produsen obat itu telah memiliki buget promosi.
Meski tidak menjalin kesepakatan dengan sales obat, dia tetap dibantu ketika butuh pinjaman mobil untuk menghadiri seminar di luar kota.
Bonus atau dana sponsor yang diberikan kepada oknum dokter tersebut dihitung berdasarkan keuntungan penjualan obat.
Dia mengatakan, biasanya dokter minta tiket pesawat perjalanan ke luar kota dan luar negeri, akomodasi tertentu seperti biaya sewa kendaraan operasional selama berada di luar kota, penginapan hotel dengan tarif beragam.
Berbagai keperluan ini juga termasuk kepentingan seminar atau pun workshop resmi yang diselenggarakan lembaga tertentu.
"Biasanya mereka (oknum dokter, Red) telepon atau ngabari ketika kita visit (ke tempat praktik dokter). Kalau mereka butuh sponsor untuk keperluan tertentu di luar kota, tidak pakai basa basi, langsung ngomong. Saya butuh Rp 10 juta misalnya, atau saya butuh tiket nih," tuturnya.
Pertanyaan muncul, kenapa para sales obat ini sanggup memberikan 'bantuan' dengan jumlah yang besar? Dari mana dana mereka peroleh? Ternyata selisih penjualan obat sangat signifikan. Perusahaan distributor tertentu memiliki angka diskon yang berbeda yang diberikan kepada dokter sebagai user mereka.
Jumlah diskon ini tidak seluruhnya dikeluarkan kepada sang dokter yang membeli obat tersebut.
Marketing biasa memainkan angka keuntungan pada selisih diskon tersebut. Misalnya untuk satu merek obat mendapat diskon sebesar 50 persen dari perusahaan, jumlah itu tidak diberikan sepenuhnya kepada dokter.
Marketing hanya memberikan diskon harga 10, 15 hingga 30 persen.
Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh akan menjadi lebih besar. Dari keuntungan inilah kemudian biaya 'servis' tadi diperoleh.
Sales bisa memperoleh untung besar dengan sistem seperti ini. Ia akan lebih cepat memenuhi target penjualan yang diberikan oleh perusahaan.
Keuntungan yang diperolehnya bisa satu bulan gaji, bahkan lebih jika ia berhasil closing sesuai yang ditargetkan oleh perusahaannya.
"Dokter juga untung, mereka juga dapat sponsor dari kami. Kalau mau apa tinggal kontak," terangnya.
Menyikapi permainan tersebut, diperoleh informasi di lapangan, bahwa baru-baru ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Indonesia membenarkan permainan tersebut, pasalnya lembaga Pengawas ini memperoleh temuan yang cukup mencengangkan.
KPPU menyebut, para oknum dokter nakal, terutama yang bertugas di rumah sakit swasta, klinik, ataupun  dokter praktik, diketahui mendapat jatah setoran sebanyak 30 persen dari hasil penjualan obat dari sejumlah perusahaan obat. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab harga obat menjadi mahal.
“Ada monopoli by agen. Agennya siapa? Ternyata agennya adalah dokter,” kata Komisioner KPPU, Saidah Sakwan, kepada wartawan beberapa waktu yang lalu.
Menurut Saidah, pihaknya telah  membuat kajian di mana diketahui salah satu komponen yang menyebabkan harga obat mahal adalah adanya konsentrasi brand-brand dari tertentu. Sebagai contoh, saat dokter-dokter memberikan referensi atau rujukan, secara asimetrik, antara dokter dan pasien tidak bisa diputus. Karena referensi dari dokter itu menjadi referensi konsumen.
Dokter menyebut brand obat tertentu untuk penyakit tertentu, sehingga mau tidak mau, pasien membeli obat sesuai dengan rekomendasi dari dokter tersebut. “Kami juga telah kroscek. Ternyata memang  mereka menyiapkan 30 persen dengan dalih marketing fee. Nah, 30 persen ini larinya ke mana? Ternyata larinya ke agen dokter tadi,” terang Saidah.
Meski demikian, untuk melakukan pengendalian, saat ini regulasi melalui  Permenkes Nomor 98 tahun 2015 tentang harga eceran tertinggi (HET) telah diubah melalui Amandemen. Sekarang, apoteker wajib memberikan pilihan brand obat kepada pasien. Baik dari obat paten maupun original, sehingga pasien bisa menentukan sendiri pilihan obat sesuai dengan kemampuannya.
Sementara, dikabarkan juga, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum berapa lama ini di Kantor KPK juga memaparkan hasil kajian tata kelola obat dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengungkapkan, dokter bisa mengantongi keuntungan sampai 30 persen dari resep obat yang dia buatkan untuk pasien.
“Karena pedagang yang farmasi harus kasih banyak biaya dokter, ada juga dokter yang dapat persentasi dari resep yang dia buat. Informasi yang kami terima, dokter bisa dapat sampai 30 persen,” ujar Basaria.
Menurut Basaria, kesehatan merupakan salah satu dari empat fokus pencegahan yang dilakukan KPK sepanjang tahun 2016 yaitu infrastruktur, sumber daya alam termasuk kehutanan dan lingkungan hidup, serta pendidikan.
“Yang paling penting adalah pendidikan dan kesehatan,” ujar Basaria.
Basaria menjelaskan, kajian kesehatan dilakukan tim pencegahan KPK fokus agar penjualan obat untuk masyarakat tidak lagi mahal.
Basaria mengakui, hasil kajian KPK terkait tata kelola obat dalam sistem JKN akan mengalami resistensi yang kuat dari berbagai kalangan. Namun dia meyakini harus ada perubahan di bidang kesehatan untuk menjamin kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat.
“Resisten sudah pasti, karena sudah biasa dapat sesuatu. Kami akan mengawal terus, dan otomatis harga obat turun karena mereka tidak perlu mengeluarkan biaya-biaya yang tidak seharusnya,” tutur Basaria.
KPK sebelumnya pernah meyelidiki dugaan aliran dana sekitar Rp.800 miliar dari sebuah perusahaan farmasi kepada sejumlah dokter. Uang sebesar itu diduga sebagai gratifikasi untuk dokter atas jasa penjualan produk kesehatan kepada pasien.
penyelidikan atas dugaan tersebut dilakukan untuk menyimpulkan ada atau tidak tindak pidana korupsi yang dilakukan perusahaan dan pihak terkait lain.
Laporan dugaan gratifikasi untuk dokter tersebut diterima KPK dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sekitar dua minggu lalu, berbarengan dengan sejumlah temuan aliran dana di sektor kesehatan.
KPK menduga aliran dana Rp.800 miliar yang dikucurkan oleh perusahaan farmasi merupakan bentuk dukungan finansial bagi dokter. Selama ini, ujar Yuyuk, dukungan finansial dari perusahaan diperbolehkan untuk kepentingan tertentu.
Namun dukungan finansial yang diberikan oleh perusahaan farmasi harus dikontrol Kemenkes dan lembaga yang menaungi dokter penerima dana. Soal transfer Rp800 miliar dari perusahaan farmasi ke sejumlah dokter pertama kali dikemukakan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo.
Hingga berita ini di turunkan, tim redaksi suarakpk.com terus menelusuri permainan obat-obatan dan dugaan mafia BPJS yang menyajikan data fiktif.
Pasalnya, menurut aduan masyarakat, praktek obat tersebut bukan saja membuat harga obat semakin mahal, namun lebih dari itu, masyarakat dijadikan kelinci percobaan dan malpraktek atas obat-obatan. Tunggu di edisi 62 cetak, tim akan memberitakan dari beberapa kota. (tim/red)

HUT SUARAKPK Ke 9 (2018)