Dituturkan Bagas, bahwa Perjanjian Giati bisa saja dimaknai sebagai politik adu domba Belanda dalam rangka memecah belah persatuan rakyat.
“Namun di balik Perjanjian Giati ada misteri besar, dimana invesment VOC mendukung deklarasi Dinasti Paku Buwono di kapal VOC di Asem Arang atau Semarang, ternyata tidak sepenuhnya sukses,” tuturnya.
Ditandaskan Bagas, bahwa Trah Paku Buwono ternyata tetap berkomitmen pada keberpihakannya pada perjuangan rakyat melawan perbudakan VOC, Belanda.
“Perjanjian Gianti adalah produk hukum kolonial yang saat ini tidak perlu digubris lagi. Hanya menyisakan kekuatan budaya,” tandasnya.
Bagas mengungkapkan, bahwa Isi Perjanjian Gianti salah satunya adalah Jogja meneruskan budaya lama dan Sala membuat budaya baru. Menurutnya, Wilayah Surakarta dengan kekuatan budayanya, bisa menjadi Provinsi Surakarta dan menjadi Daerah Istimewa dengan epicentrumnya Kasunanan Surakarta.
“Kuncinya pada kekuatan budaya, kesejarahan dan dukungungan wilayah: Klaten, Boyolali, Sragen, Karangayar, Sala, Sukoharjo, dan Wonogiri,” ungkapnya.
Lebih lanjut Bagas menegaskan, untuk menjadikan Surakarta menjadi Provinsi baru, perlu pemikiran jernih, komprehensif, kooperatif dan sustainable dalam upaya mendisain Sala dan wilayah pendukungnya menjadi Provinsi Surakarta.
“Rahino kembar adalah luka lama yang harus dikubur dalam-dalam. Mikul dhuwur mendhem jero. Pelestarian kebudayaan adiluhung dalam frame Nastional Character Building adalah hal mulia yang dituju,” pungkasnya. (Rio/red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar