JAKARTA, suarakpk.com - Pentingnya
pengawalan dana desa sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa. Pemerintah 2017 ini menggelontorkan dana desa lebih dari Rp 60 triliun. Darisana,
KPK khawatir banyak pihak yang mencoba menyalahgunakan dana tersebut mulai dari
kewenangan hingga dana itu sampai ke masyarakat.
“KPK pun melakukan kajian
Sistem Pengelolaan Keuangan Desa agar implementasi UU Desa tersebut dapat
berjalan dengan baik dan lancar. Kajian ini untuk menghindari munculnya
pihak-pihak yang mencoba untuk menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan
sendiri atau golongan,” ujar sumber redaksi suarakpk.com di Komisi
Pemberantasan Korupsi, rabu (20/12) melalui selulernya.
Hasil kajian KPK sejumlah
potensi persoalan pengelolaan dana desa selama penyaluran tahap pertama di 63
kabupaten. Setidaknya ada 14 potensi persoalan. Salah satunya, persoalan
regulasi. Ada perubahan aturan dari PP No 60/2014 menjadi PP No 22/2015 yang
mengakibatkan formula pembagian dana desa berubah.
Di dalam Pasal 11 PP No
60/2014, formulasi penentuan besaran dana desa per kabupaten cukup transparan
yakni dengan mencantumkan bobot pada setiap variabel. Namun, pada PP yang baru,
yakni Pasal 11 PP No 22/2015, formula pembagian dihitung berdasar jumlah desa,
dengan bobot sebesar 90 persen. Sisanya, 10 persen dihitung menggunakan formula
jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan
geografis.
Dari contoh diatas, KPK
mengimbau agar patut diwaspadai dari hasil temuan KPK tersebut. Meski kebijakan
tidak bisa dikriminalisasi, namun ketika pejabat negara tersebut mengambil
kebijakan dengan sengaja menguntungkan orang lain atau melawan hukum, maka bisa
disebut korupsi.
“Jadi kebijakan tidak bisa
dikriminalisasi, tidak bisa kebijakannya (diusut) tetapi yang harus diusut
hukum adalah yang membuat kebijakan itu. Itu ada unsur-unsur yang memenuhi ga,
(mens rea, kerugian negara dan melawan hukum). Kalau ada, maka itu masuk
wilayah Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3,”
ujarnya.
Disisi lain, Sekjen
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (KDPDTT) Anwar
Sanusi mengaku telah memberikan fasilitas terkait beberapa hal yang akan
menjadi persoalan dalam proses pencairannya Dana Desa.
“Contohnya membuat RPJMDes
kemudian APBDes. Kami ketika melakukan beberapa rapat koordinasi, ternyata
problematika ada disitu, banyak sekali daerah-daerah yang mungkin tadi
kapasitas SDMnya belum terlalu terpenuhi,” ujar Anwar.
Anwar mengatakan dari 74.093
desa itu ada 5 kepala desa yang memiliki Ijasah S3. Tingkat pendidikan kepala
desa yang rendah menjadi persoalan untuk kebutuhan menyusun APBDes ini. Dari
Kemendes, kata Anwar, juga akan membuka pelatihan Grand Master untuk para
kepala desa.
“Jadi nanti kami akan
melatih para trainer-trainer ketika tenaga pendamping desa mulai desember 2017
lah, mereka melakukan tugas dan fungsinya,” ujar Anwar.
Adapun fasilitas
pendampingan bagi tiap kepala desa, Anwar mengaku tidak bisa memaksakan 1 orang
didampingi 1 pendamping. Sebab, permasalahannya adalah anggaran negara tidak
cukup untuk membiayai para pendamping tersebut.
“Keinginan kami satu desa
satu pendamping, tapi berdasarkan kekuatan anggaran sampai saat ini akan sangat
berat, sehingga sementara, 2 sampai 3 desa baru akan 1 pendamping,” ujar Anwar.
(IR.01/red)
Kami berharap dana desa utk dapat diperuntukkan sesuai aturan demi kemajuan desa. Kami mendukung utk dikawal pelaksanaannya. Maju terus Suara KPK maju terus Indonesia.
BalasHapuskami berharap kpk bnr hadir d kalangan desa
BalasHapus