DEMAK, suarakpk.com - Dugaan adanya kekerasan dalam dunia pendidikan di wilayah Kabupaten Demak mendapat perhatian serius dari Komnas Perlindungan Anak Provinsi Jawa Tengah.
Dikatakan oleh Sekretaris Komnas Perlindungan Anak Jawa Tengah, Imam Supaat, sore ini Minggu (17/2), bahwa Anak di dalam lingkungan sekolah ataupun di lembaga pendidikan manapun, wajib mendapatkan perlindungan atas tindak kekerasan dalam bentuk apapun dari pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
"bahwa memukul anak didik dapat digolongkan pada kekerasan terhadap anak dan dapat dipidana hal ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan telah diubah kedua kali dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang." tutur Imam, saat usai mengunjungi Pondok pesantren Miftahul Janah yang terletak di Desa Balerejo, Kecamatan Dempet, Kabupaten Demak.
Lebih lanjut, dirinya menjelaskan bahwa orang yang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 Juta.
Diungkapkan oleh Imam, jika adanya dugaan kekerasan terhadap anak yang terjadi pada lembaga pendidikan akan menambah catatan tersendiri, apalagi lembaga pendidikan dengan peserta didik yang usianya antara 6 tahun hingga 12 tahun.
"saya hadir di sini sebagai bentuk kepedulian kami pada anak anak di Jawa Tengah dan kami klarifikasi atas aduan wali santri yang diduga anaknya dan belasan temannya yang masih berusia 7 tahun sampai 11 tahun menjadi korban kekerasan dari pengasuh ponpes Miftahul Janah, Ali Muto'in." ujar Imam.
Dirinya menegaskan, jika Komnas Pelindungan Anak Provinsi Jawa Tengah, akan terus mendorong Aparat Penegak Hukum di Demak untuk dapat peka dengan setiap urusan kekerasan terhadap anak di wilayahnya.
Ditambahkan oleh Imam jika dirinya sangat menyayangkan perilaku pendidikan yang diterapkan di pondok tersebut, dimana hanya untuk makan sore, anak anak harus berjalan jongkok dan dia menilai pemberlakukan pendidikan pada anak kurang manusiawi.
Menurutnya, pola pendidikkan anak di usia dini demikian ini harus dihentikan dan Imam meminta untuk dirubah sistem pendidikkannya.
"saya berharap, pengasuh ponpes tersebut bisa lebih arif dan bijak dalam memberikan pola asuhan pada anak didiknya, dan bisa merubah sistem pendidikkannya." harapnya.
Jadi kesimpulannya, lanjut Imam, bahwa dalam mendidik anak dengan kekerasan dalam hukum dan ajaran agama islam sekalipun tidak diperbolehkan kecuali dalam kondisi darurat, namun itupun harus dengan syarat bahwa hukuman yang diberikan harus ringan dan tidak boleh menganiaya.
"Sebaliknya, Islam justru mengajurkan untuk mendidik anak dengan kasih sayang dan pehamanan nilai-nilai agama semenjak dini. Dengan demikian anak pun akan tumbuh secara baik serta menjadi generasi beraklakul karimah." ujar Imam.
"Sebaliknya, Islam justru mengajurkan untuk mendidik anak dengan kasih sayang dan pehamanan nilai-nilai agama semenjak dini. Dengan demikian anak pun akan tumbuh secara baik serta menjadi generasi beraklakul karimah." ujar Imam.
"saya mohon jangan dimuat dulu mas." pinta Muto'in.
Namun demikian, Muto'in mengaku jika dirinya mendidik dengan keras pada anak didiknya untuk bisa menghafal Alquran, hingga jika ada anak yang belum mampu, dirinya memerintahkan pada ustad dan ustajah untuk menghukum dan memukul anak tersebut dengan keras.
Selain itu dikabarkan, Ali Muto'in juga membenarkan jika dirinya pernah memberikan ganti rugi kepada wali santri berupa uang senilai Rp.20 juta dari kesepakatan senilai Rp.30 juta, penggantian rugi tersebut menurut wali santri sebagai penyelesaian kekeluargaan dan biaya pengobatan anaknya yang mengalami luka permanen di wajahnya.
"itu sekedar membatu pak." kata Ali melalui WhatsAppnya.
Ketika disebutkan 12 nama santri yang boyong (keluar) dari pondok, Ali membenarkan nama nama tersebut merupakan para santri dan sudah boyong (keluar) dari pondok sejak dua bulan lalu.
"njih leres niku santri mriki, sampun keluar dua bulan lalu, kulo boten ngertos alasanipun medal. (iya betul, itu santri sini, sudah keluar dua bulan lalu, saya tidak tahu alasannya keluar.)" jelas Ali Muto'in.
Terpisah, saat suarakpk.com bersama salah satu wali santri yang anaknya menjadi korban kekerasan pengasuh ponpes, diperoleh keterangan dari salah satu pendidik melalui selulernya, sang guru mengakui bahwa apa yang diceritakan anak tersebut benar adanya.
"njih ngoten niku pak, menopo yang diceritakan anak jenengan leres. (ya seperti itu pak, apa yang dikatakan anak jenengan benar)" kata sang guru yang enggan disebut namanya.
Pantauan di dalam pondok sore tadi minggu (17/2), terlihat anak anak di pondok tersebut seperti di dalam penjara, mulai dari cara mengambil makanan, dimana setiap anak yang masih berusia 6 tahun sampai 11 tahun itu harus berbaris, satu persatu anak berjalan jongkok untuk mengambil secangkir susu kecil yang berasa hambar diduga banyak campuran airnya, dengan satu roti kering kecil. Saat melihat kenyantaan cara mendidik anak anak seusia mereka, hati terasa miris dan kurang manusiawi untuk cara mendidik anak anak.
Hingga berita ini diturunkan, suarakpk.com belum mendapatkan konfirmasi dari Penegak Hukum terkait. (tim/red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar