JAKARTA,
suarakpk.com – Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) menilai adanya Uji
Kopetensi Wartawan (UKW) telah menjadi pemicu persoalan pers Indonesia secara
sistematis, terstruktur, dan massif. UKW telah menimbulkan dampak ikutan yang
fatal, yakni terkerangkengnya kemerdekaan pers dalam sekat-sekat birokrasi yang
menimbulkan ekses tersumbatnya kanal-kanal penyampaian informasi dari
masyarakat kepada publik maupun berbagai pihak berkepentingan dan aparat
berwenang. UKW telah menjadi penghambat terjalinnya sinergitas dan koordinasi
serta silahturahmi yang harmonis antara pelaku media dengan berbagai elemen
publik. UKW juga telah menyebabkan kemacetan dalam proses kontrol sosial dan
kebijakan publik yang menjadi tugas dan fungsi pers di negara demokrasi ini
demikian disampaikan oleh Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke kepada redaksi
melalui Pers Releasenya kemarin minggu (27/1).
Dikatakan oleh Wilson bahwa Poin utama perjuangan Persatuan
Pewarta Warga Indonesia (PPWI) bersama Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI)
menggungat Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Dewan Pers di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat adalah terkait kewajiban mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW).
Persidangan atas gugatan PMH itu telah berlangsung sejak Mei 2018 lalu dan
masih berlangsung hingga saat ini. Rabu, 30 Januari 2019, akan berlangsung
sidang ke-27 dengan materi mendengarkan kesimpulan dari penggugat PPWI dan SPRI
atas hasil 26 kali persidangan yang telah berlalu.
“Berdasarkan fakta lapangan,
PPWI meyakini bahwa UKW telah menihilkan potensi dan talenta jutaan warga yang
memiliki kemampuan berjurnalis yang sangat mumpuni, yang didapatkan dari bangku
kuliah dan pengalaman panjang sebagai jurnalis berbagai jaman. UKW juga telah
melahirkan para “terpidana kriminalisasi wartawan” di berbagai daerah di
Indonesia. Bukan hanya itu, UKW secara langsung maupun tidak langsung, telah
membunuh wartawan Kota Baru, Kalimantan Selatan, Muhammad Yusuf, 10 Juni 2018
lalu, hanya karena rekomendasi Dewan Pers yang menyatakan Muhammad Yusuf bukan
wartawan tersebab almarhum belum mengikuti UKW.” jelas Wilson.
Lebih lanjut Wilson mengungkapkan bahwa di tataran teknis, oleh
Dewan Pers UKW melahirkan puluhan, bahkan mungkin ratusan, rekomendasi yang
pada intinya menghambat kerja-kerja pers. UKW melahirkan diksriminasi yang
memecah-belah pekerja jurnalistik. Melalui rekomendasi yang diterbitkannya,
Dewan Pers dapat dengan sewenang-wenang menuduh seseorang sebagai ‘wartawan’
atau ‘bukan wartawan’ hanya berdasarkan ukuran ‘telah mengikuti UKW’ atau
‘belum mengikuti UKW’.
“Melalui rekomendasinya pula, Dewan Pers dengan leluasa, didukung
oleh MoU kong-kali-kong dengan institusi Polri, dapat menjustifikasi seseorang
untuk diadili berdasarkan aturan KUHP atau UU Nomor. 40 tahun 1999, hanya
dengan standar ‘yang bersangkutan telah ber-UKW’ atau ‘yang bersangkutan belum
ber-UKW’.” lanjutnya.
Sementara, masih menurut
Wilson, di tataran perundangan, UKW adalah sebuah akal-akalan Dewan Pers
bersama beberapa organisasi pers konstituennya yang bertentangan dengan
peraturan hukum yang ada.
“Kewajiban ber-UKW tidak diatur samasekali di dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sesuai Pasal 15 UU Pers itu, tidak ada satu
ayatpun yang memberikan kewenangan kepada lembaga ini untuk membuat dan/atau
menyelenggarakan uji kompetensi bagi wartawan. Sebaliknya, segala hal yang
terkait dengan keahlian (kompetensi) diatur negara melalui Undang-Undang No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, Dewan Pers secara sangat
meyakinkan telah melakukan pelanggaran hukum, mengeluarkan kebijakan melampaui
kewenangan yang diberikan Undang-Undang, itulah inti terpenting dari Gugatan
PMH Penggugat PPWI dan SPRI terhadap Tergugat Dewan Pers.” urainya.
Ditambahkan Wilson, bahwa dengan
sinyalemen terbaru, wartawan bakal dapat sertifikasi BNSP sebagaimana dilansir
oleh media online Tempo.Co tertanggal 25 Januari 2019, PPWI menilai bahwa
perkembangan ini cukup baik ke masa depan.
Sehingga dalam konteks menyikapi perkembangan tersebut di atas,
dan dikaitkan dengan hal-hal yang menjadi poin perjuangan wartawan seluruh
Indonesia selama ini, Wilson yang merupakan Ketua Umum PPWI Nasional
berkesimpaulan dan memberikan pernyataan bahwa
1. UKW Dewan Pers itu illegal
alias haram secara hukum, karena bertentangan atau melawan UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, sertifikat UKW tidak boleh digunakan
dan harus ditarik oleh lembaga yang mengeluarkannya. Dewan Pers harus
bertanggung jawab atas penerbitan sertifikat haram tersebut, termasuk
mengembalikan dana penyelenggaraan UKW yang sudah dikeluarkan oleh peserta
sertifikasi illegal tersebut.
2. Pihak-pihak yang menggunakan
sertifikat UKW sebagai acuan dalam aktivitas kegiatan resmi di lapangan
merupakan penjahat jurnalistik, pengguna (penadah) barang haram. Selain
wartawan lulusan UKW, pihak Pemda maupun swasta yang selama ini mempersyaratkan
setiap calon mitra publikasi di unit-unit kerja di lingkungan instansi setempat,
mereka termasuk dalam kategori pengguna barang ilegal, haram secara hukum, dan
bisa dilaporkan ke polisi atas dugaan pelanggaran pasal 18 ayat (1) UU No. 40
tahun 1999, dan UU Ketenagakerjaan, serta PP No. 10 tahun 2018 junto PP No. 23
tahun 2004.
3. Kepada seluruh wartawan
Indonesia, kami himbau untuk segera melakukan gerakan class action menggungat
secara hukum dan meminta pertanggungjawaban Dewan Pers atas kebijakan UKW yang
bertentangan dengan UU selama ini. Kebijakan tersebut tidak hanya merugikan
para wartawan lulusan UKW abal-abal, ilegal dan haram secara hukum nasional
Indonesia, namun lebih daripada itu, kebijakan tersebut telah merusak tatanan
hukum dan peraturan di negeri ini. Kebijakan Dewan Pers terkait UKW dan diikuti
sejumlah rekomendasi yang menghambat kerja-kerja para wartawan non-UKW, bahkan
telah memakan korban kriminalisasi wartawan di mana-mana, dan lebih parah lagi
telah merenggut nyawa wartawan Kota Baru, Kalsel, Muhammad Yusuf, adalah sebuah
perilaku inkonstitusional Dewan Pers yang mesti diminta pertanggungjawabannya,
baik secara moral, administratif, maupun secara hukum positif.
4. Kepada pengurus Dewan Pers,
PPWI mendesak supaya Anda meletakan jabatan segera, dan laporkan diri ke pihak
berwajib untuk menunjukkan pertanggungjawaban hukum Anda semua atas segala
kebijakan yang telah merugikan wartawan dan masyarakat Indonesia selama ini.
Selayaknya sebagai warga negara yang baik, seluruh anggota Dewan Pers perlu
memberikan contoh yang baik dengan sikap dan perilaku taat azas dan taat hukum.
5. Kepada semua
Kementerian/Lembaga (K/L) dan institusi pemerintahan (pusat dan daerah) maupun
swasta, lembaga pers dan non-pers, serta masyarakat umum di seluruh Indonesia,
PPWI menyampaikan bahwa Dewan Pers telah melakukan tindakan mal-praktek
birokrasi terkait UKW dan penerbitan rekomendasi-rekomendasi selama ini. Oleh
karena itu, PPWI dengan ini menyatakan mosi tidak percaya kepada lembaga dewan
pers. Kepada semua K/L dan institusi pemerintahan maupun swasta, lembaga pers
dan non-pers, serta masyarakat umum di seluruh Indonesia kami himbau untuk
tidak mengakui, tidak menggunakan dan/atau tidak menjadikan persyaratan, semua
bentuk sertifikat UKW illegal, haram secara hukum, yang dikeluarkan Dewan Pers
bersama lembaga-lembaga penyelenggara UKW-nya selama ini.
6. Kepada Presiden Republik
Indonesia, baik periode saat ini, maupun Presiden terpilih melalui Pilpres 17
April 2019 mendatang, PPWI mendesak untuk membekukan kepengurusan Dewan Pers
periode 2016-2019 ini, dan tidak menerbitkan Kepres baru tentang Kepengurusan
Dewan Pers periode 2019-2022, sebelum dilakukannya penataan dan perbaikan
kembali sistim jurnalisme di negara ini.
7. Kepada lembaga legislatif
(DPR/DPD RI), PPWI mengharapkan agar para anggota legislatif dapat memberikan
perhatian serius terhadap masalah yang amat krusial ini. Sebagai Ketua
Pelaksana Musyawarah Besar Pers Indonesia, 18 Desember 2018 lalu, atas nama
lebih dari 2000 wartawan dan pewarta warga peserta Mubes yang dating dari
seluruh nusantara, Ketua Umum PPWI menghimbau agar lembaga DPR RI dapat
menginisiasi atau memfasilitasi penyusunan RUU tentang Jurnalisme Indonesia,
baik melalui amandemen UU No. 40 tahun 1999 maupun pembuatan UU yang baru. (001/red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar