GBPH Yudhaningrat : Putusan MK Tidak Bisa Membuka Peluang Sultan Perempuan - SUARAKPK

BERITA HARI INI

Home Top Ad


Penghargaan dari Kedubes Maroko


 

29 Januari 2018

GBPH Yudhaningrat : Putusan MK Tidak Bisa Membuka Peluang Sultan Perempuan



YOGYAKARTA, suarakpk.com – Atas dikabulkannya gugatan judicial review pasal 18 ayat 1 huruf m UU KDIY pada hari kamis (31/82017) yang lalu oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menjadikan kisruh di dalam istana Kraton Kasultanan DIY. Pasalnya dengan dikabulkannya gugatan tersebut, baik laki-laki maupun perempuan bisa menjadi Gubernur DI Yogyakarta dengan tahta Sultan Hamengku Buwono.
Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY berbunyi:
Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.
Menurut hakim, frasa tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab syarat untuk menjadi cagub dan cawagub bersifat kumulatif, artinya semua persyaratan dalam pasal 18 tersebut harus dipenuhi.
"Oleh karena itu, menurut penalaran yang wajar, potensi terjadinya ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh adanya keragu-raguan tersebut sangatlah besar. Ketidakpastian hukum demikian bahkan dapat berkembang menjadi krisis politik yang berbahaya karena terjadi kebuntuan dalam pengisian jabatan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur DIY," ujarnya.
Hingga hari ini, dikabarkan para rayi dalem atau putra Sultan Hamengku Buwono IX, telah menyatakan sikap menentang Sabda Raja dan Dawuh Raja yang dikeluarkan Sultan Hamengku Bawono X beberapa waktu lalu.
GBPH Yudhaningrat saat ditemui di Ndalem Yudanegaran, mengatakan, ungkapan mengenai sikap tersebut sudah disepakati bersama. Hasilnya diserahkan kepada KGPH Hadiwinoto selaku saudara tertua untuk disampaikan pada Sultan HB X.
GBPH Yudhaningrat mengatakan, meskipun isi sikap para rayi dalem tersebut adalah materi untuk kalangan internal keluarga, namun, ada sedikit hal yang dirasa perlu diketahui publik.
“Bahwa apa yang diucapkan HB X ini adalah hal-hal yang cacat hukum sekaligus batal demi hukum. Alasannya tidak sesuai paugeran pokok yang ada. Ibaratnya kalau kereta api, itu sudah keluar dari rel,” kata GBPH Yudhaningrat
Sebelas pangeran tersebut berasal dari tiga ibu, dari KRAy Ciptamurti antara lain GBPH Pakuningrat, GBPH Cakraningrat, GBPH Suryodiningrat, GBPH Suryomataram, GBPH Hadinegoro, GBPH Suryonegoro. Dari KRAy Hastungkara antara lain, GBPH Condrodiningrat, GBPH Yudhaningrat, GBPH Prabukusumo. Sedangkan dari KRAy Pintoku Purnomo yaitu GBPH Hadisuryo, dan dari Ibu KRAy Windyaningrum adalah KGPH Hadiwinoto (saudara kandung HB X).
GBPH Yudhaningrat mengaku tidak khawatir dengan adanya ancaman risiko buruk akibat menentang dan tidak melaksanakan Sabda Raja. Menurut dia, meskipun nantinya ada risiko, kadarnya tidak terlalu besar.
“Saya kira resikonya tidak berat kalau tak dilaksanakan. Karena itu jelas keluar dari paugeran pokok, adat, dan Mataram Islam,” kata dia.
Ia juga menegaskan, pengangkatan GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi yang adalah putri mahkota yang selanjutnya naik tahta menjadi Sultan, dikhawatirkan akan memutus silsilah Hamengku Buwono. Karena silsilah ini sudah terjaga sejak ratusan tahun lalu.
Jika ada perubahan gelar dan perubahan silsilah dari keturunan bukan laki-laki, maka silsilah tersebut akan terputus dan hilang.
“Ini bahaya bagi silsilahnya. Silsilahnya akan menurunkan putra-putra GKR Mangkubumi, silsilah Hamengku Buwono akan hilang. Sebab kita ini kan patriarki bukan matriarki,” kata dia.
GBPH Yudhaningrat juga menegaskan, langkah para rayi dalem ini memiliki tujuan mengingatkan pada Sultan HB X untuk kembali menghayati amanat leluhur yang ada selama ini.
“Langkah kita akan menyadarkan ngarso dalem (Sultan HB X), supaya beliau sadar bahwa langkahnya salah. Tapi malah kita yang disuruh sadar, jadi dibolak-balik,” ucapnya saat ditemui di kediamannya kemarin Jumat (5/1/2018)
Pria yang akrab disapa Gusti Yudho ini tegas menolak kepu­tusan MK jika menghalalkan se­orang putri menjadi Raja Yogya. Menurut tafsir Gusti Yudho, pu­tusan MK bisa jadi hanya masuk dalam wilayah syarat gubernur dan wagub Yogya, bukan pada ranah penetapan Raja Yogya. Sebab, kata dia, khusus untuk penetapan Raja Yogya, Undang-Undang Kekhususan DIY dari mulai pasal 1 sampai akhir jelas-jelas menitahkan, mewajibkan bahwa yang jumeneng (bertahta) itu adalah laki-laki. Berikut pen­jelasannya.
Pasal 18 ayat 1 huruf m Undang-Undang 13/2012 Tentang Keistimewaan DIY memberikan batasan bahwa yang berhak menjadi Gubernur DIY hanyalah laki-laki, itu kan hanya menjadi salah satu syarat saja dan tidak mengikat oleh hukum. Tapi masalah raja keraton ini tidak bisa serta merta perempuan bisa naik tahta begitu. Karena kita ini kan kekhalifahan. Kemudian di Undang-Undang Keistimewaan juga nggak bisa, karena ada syarat lainnya.” terangnya.
Lebih lanjut, gusti Yudhoningrat mengunkapkan, ada aturan kalau gubernur tidak bisa serta merta dijabat oleh sultan, ketika sultan tidak memenuhi syarat jadi gu­bernur.
“Jadi dalam hal ini akan dijabat oleh wakil gubernur, Sri Paku Alam. Kalau dua-duanya tidak bisa, maka nanti akan ada pejabat yang ditunjuk oleh pusat untuk menjadi gubernur DIY sambil menunggu Sultan dan Sri Paku Alam yang memenuhi syarat untuk menjadi gubernur dan wagub. Jadi jangan berpikir bahwa sultan Yogyakarta itu otomatis bisa jadi gubernur.” ungkapnya.
Menurtnya, putusan MK ini menjadi bahan pembicaraan polemik di lingkungan keraton Yogya?
“Iya tentu kita bicarakan dan sudah bicarakan dengan ahli hu­kum ini maunya bagaimana, ya sampai di situ saja, baru syarat­nya saja. Tidak mulai mengarah ke keraton, karena keraton sudah ada kodratnya sendiri.” tutur adik lain ibu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Hamengkubuwana X
Ketika ditanya terkait adanya pihak yang merasa keberatan dengan adan­ya keputusan dari MK tersebut, Gusti Yudho menjelaskan, jika dirinya tidak memper­masalahkan.
“ya, karena kan sudah jelas-jelas aturannya di dalam Undang-Undang Keistimewaan. Jadi kalau sultannya perem­puan, maka semuanya batal de­mi hukum. Kalau rakyat Yogya yang sudah sepuh itu pasti tahu masalah ini, namun mereka hanya tertawa di dalam hati saja, kalau tertawa di depan Sultan pada enggak berani.” jelasnya.
Memang ibunya kanjeng ratu waktu itu pernah berucap ingin seperti Putri Elizabeth (Ratu Inggris), lalu hal itu dibantah oleh sepupunya sultan, 'ini kan kesultanan, kekhalifahan masa dipimpin oleh perempuan'. Terus dia mengatakan 'ah bisaan saja'.
“Teruslah dia ngeyel, 'nanti yang ngomong kan sultan, nggak ada yang berani'. Tapi ternyata banyak yang tidak mendukung, bahkan sudah mengirim surat ke lembaga-lembaga pemerintah, bahkan sampai ke Presiden.” ungkap gusti Yudho.
Sekarang DIY ini memang tidak bisa membedakan mana kemauan pribadi dan mana ke­mauan kesultanan. Dan ini terus menjadi polemik yang membuat panas orang-orang Yogya. Nanti ini tangan Tuhan lho yang ber­jalan. Kan kita sudah beri tahu bahwa, kalau rajanya dipimpin oleh putri itu nasabnya hilang, habis. Setelah HB X terus hi­lang. Perjuangan mendirikan dan menjaga keraton hilang. Selanjutnya yang tidak ada hubungannya dengan keraton, nantinya malah akan mendapatkannya (menjadi pemimpin keraton Yogya).
“Tentu kami menolak, karena itu merusak keraton dan enggak ada programnya. Kebudayaannya nanti akan lain-lain. Masalah struktural, ini juga soal agama, ke­betulan ini kan yang meminta juga ada dari pihak-pihak beda agama, jadi melegalkan. Kalau pun tidak beda agama kan memang nggak bisa menaikkan seorang putri menjadi raja. “ tegasnya.
Menurutnya, keputusan MK tersebut hubungannya dengan jabatan Gubernur. Dan yang digugat adalah syarat sebagai Gubernur pasal 18 ayat 1 huruf m. Di mana ada penjelasan bahwa orang yang lahir di DIY baik laki-laki atau perempuan tidak bisa menjadi Gubernur seusai UUK DIY apabila tidak bisa menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono yang bergelar Senopati Ing-Ngalogo Ngabdurahman Sayiddin Panotogomo Khalifatullah.
"Putusan MK ini tidak bisa membuka peluang Sultan perempuan. Karena syarat yang digugat adalah syarat menjadi Gubernur DIY. Jadi tidak serta merta untuk jadi Sultan," tegasnya.
Menanggapi putusan ini, pihaknya berharap warga Yogyakarta tidak emosional karena masalah bisa dibicarakan. Kepada Sri Sultan, ia meminta untuk membuka diri untuk berembuk. Ia mengingatkan bahwa keluar dari paugeran itu risikonya besar.
"Berharap masyarakat Yogya tidak emosional menanggapi ini. Ono rembuk dirembuk. Kepada Sri Sultan agar mau membuka diri ada rembuk dirembuk," kata adik Sri Sultan HB X ini.
Gusti Pangeran Haryo Yudhaningrat atau Bendara Raden Mas Sulaksamana merupakan adik lain ibu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Hamengkubuwana X. Di dalam struktur Karaton Yogyakarta, GBPH Yudhaningrat menjabat sebagai Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Puro Budaya sekaligus Manggalayudha (Panglima) Prajurit. Pangeran ini memiliki hobi berkuda. Ia merupakan salah satu pejabat tinggi di Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.(Tim/001/red/DIY)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HUT SUARAKPK Ke 9 (2018)