Jakarta, suarakpk.com - Opini Wajar tanpa
pengecualian (biasa disingkat WTP) adalah opini audit yang akan diterbitkan
jika laporan keuangan dianggap memberikan informasi yang bebas dari salah saji
material. Jika laporan keuangan diberikan opini jenis ini, artinya auditor
meyakini berdasarkan bukti-bukti audit yang dikumpulkan, perusahaan/pemerintah
dianggap telah menyelenggarakan prinsip akuntansi yang berlaku umum dengan
baik, dan kalaupun ada kesalahan, kesalahannya dianggap tidak material dan
tidak berpengaruh signifikan terhadap pengambilan keputusan.
Selain
opini WTP ada pula opini WTP Dengan
Paragraf Penjelasan (biasa disingkat WTP-DPP). Opini WTP-DPP dikeluarkan karena dalam keadaan tertentu
auditor harus menambahkan suatu paragraf penjelasan dalam laporan audit,
meskipun tidak mempengaruhi pendapat wajar tanpa pengecualian atas laporannya.
Ada beberapa keadaan yang menyebabkan ditambahkannya paragraf penjelasan.
Keadaan itu, misalnya, adanya ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi,
adanya keraguan tentang kelangsungan hidup lembaga pengelola keuangan. Salain
itu, bisa juga karena auditor setuju dengan suatu penyimpangan dari prinsip
akuntansi yang dikeluarkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan atau adanya
penekanan atas suatu hal. Dan bisa juga karena laporan audit yang melibatkan
auditor lain
Penangkapan Auditor Utama Badan
Pemeriksa Keuanga (BPK) dengan pejabat Inspektur Jenderal (Irjen) dari
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
(Kemendesa) oleh KPK, menjadi insiden buruk bagi lembaga auditor negara
itu.
Hal itu dikemukakan Forum Indonesia
untuk Transparansi Anggaran (FITRA), yang menurutnya, ada permainan proses
audit untuk jual beli predikat Wajar Tanpa Pengencualian (WTP).
"Bagaimana tidak, baru
seminggu BPK serahkan LKPP 2016 kepada Presiden, sekarang Auditor Utama nya
ditangkap KPK. Predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang diberikan ke
Presiden pun semakin yakin diragukan keabsahannya," ujar Sekjen Fitra
Yenny Sucipto dalam rilisnya.
Fitra mengemukakan, penangkapan
auditor BPK ini memecahkan mitos bahwa memang benar ada jual beli WTP. Ataupun
permainan dalam proses audit keuangan negara. Dalam kasus E-ktp juga ditemukan
auditor yang mendapat aliran dana.
Dengan kejadian itu, katanya,
metodologi audit BPK harus dirubah, outputnya bukan asal predikat WTP yang
justru menjadi lahan basah korupsi. "Tetapi selain menemukan kerugian
negara, juga perlu audit kinerja dan impact dari anggaran
pembangunan," ujarnya.
"Harus dilakukan reformasi
total BPK. Reformasi ini dalam dua hal, pertama perkuat integritas internal
auditor dan kedua, bersihkan BPK dari Pimpinan yang berlatar belakang
politikus," ujar Yenny.
Di sisi lain, sejumlah anggota Komisi XI
DPR menaruh kecurigaan cukup lama terhadap pemberian opini Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), terkait laporan keuangan kementerian atau lembaga. Hal ini
karena ada celah untuk melakukan tindakan korupsi.
Anggota
Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno mengatakan, BPK dalam setiap rapat kerja
selalu diberondong pertanyaan oleh anggota dewan terkait parameter apa yang
dilakukan dalam menyatakan pemberian opini tersebut. Sebab, ada dugaan praktik
jual beli opini, di lingkungan kementerian dan lembaga.
"Karena
opini BPK ini memiliki indikasi sangat koruptif. Tapi saya terkejut juga,"
ujar Hendrawan, Sabtu (27/5).
Terkait
adanya OTT KPK terhadap auditor BPK ini, ia justru bersyukur, sebab lembaga
yang dikepalai oleh Agus Rahardjo ini, bisa mengungkap tabir praktik jual-beli
laporan keuangan. Ia tak bisa membayangkan jika hal ini praktik culas ini terus
berjalan.
"Apa
yang dilakukan KPK ini merupakan kabar gembira juga buat DPR," tuturnya.
Dengan
adanya kasus ini, ia berharap, ke depan BPK bisa memperbaiki kinerjanya dalam
memberikan opini terhadap kementerian atau lembaga. Sehingga tidak ada lagi
produk transaksi jual beli opini.
"Harus
membangun tata kelola yang baik, yang cirinya adalah transparan, terbuka dan
akuntabel," tegasnya.
Terpisah,
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memastikan, laporan keuangan kementerian dan
lembaga yang telah mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) bukan berarti
terbebas dari tindak korupsi.
Hal
tersebut diungkapkan oleh Anggota II BPK Agus Joko Pramono saat acara
Penyerahan LKKP Tahun 2016 kepada pemerintah di Kantor Pusat BPK, Jakarta,
Jumat (26/5/2017).
Agus
menyampaikan, opini merupakan sekadar pernyataan BPK terhadap suatu pengelolaan
keuangan negara. Opini adalah ukuran akuntabilitas dari pengelolaan keuangan
yang ada di masing-masing Kementerian/Lembaga (K/L), dengan opini maka menjadi
suatu ukuran proses penyusunan laporan keuangan suatu K/L telah transparansi
dan akuntabilitas.
“Opini
ini memberikan atas keyakinan yang wajar atas nilai-nilai yang ada, dengan
anggapan nilai-nilai tersebut terbebas dalam salah saji. Apakah opini menjamin
tidak adanya tindak pidana dalam laporan keuangan, saya tegaskan opini ini
tidak menjamin bahwa tidak terjadinya tindak pidana dalam laporan keuangan,”
tegas Agus.
“Tindak
pidana adalah satu aktivitas satu orang atau sekelompok orang di mana
mempersiapkan diri atau merancang yang melanggar UU hukum pidana untuk
kepentingan diri sendiri dan orang lain,” jelasnya.
Dia
memastikan, audit yang dilakukan BPK pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
(LKKP) bukan bertujuan mencari kecurangan yang telah dilakukan pemerintah.
“Perlu
dicatat, pemeriksaan dalam menyampaikan opini tidak dirancang untuk mencari ada
atau tidak adanya fraud. Pemeriksaan yang dibuat untuk menghasilkan opini atas
laporan keuangan untuk melihat kesesuaian dengan standar yang telah
disepakati,” tambahnya.
Hanya
saja, lanjut Agus, untuk mengetahui proses kecurangan dalam menyusun laporan
keuangan bisa dilakukan dengan audit investigasi. “Bisa saja semua proses bukti
terkelabui, proses sistem terjadi kolusi dan sebagainya yang enggak bisa
dilihat dari audit dalam penyusunan laporan keuangan. Untuk dapat melihat ini
harus dilihat audit frensi, audit investigasi dan sebagainya,” jelasnya. (irfan/red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar